Gelaran Piala Dunia kembali membuat geger. Para pencinta bola kini punya gacoan baru, tim kuda hitam Maroko.
Tim Singa Atlas ini muncul sebagai juara grup F. Pada babak penyisihan berhasil mengalahkan Canada, menahan imbang Kroasia, dan mempermalukan tim unggulan Belgia.
Pada babak 16 besar, Maroko kembali membuat kejutan dengan mengalahkan Spanyol. Lalu melaju ke semifinal dengan mengalahkan tim raksasa Portugal.
Pertandingan yang berlangsung di stadium Al Thumama itu membuat publik sepak bola heran. Tim Portugal diperkuat dengan mega bintangnya, sepertinya tidak berdaya.
Sayangnya langkah Maroko harus terhenti. Mereka harus mengakui kehebatan timnas Prancis. Kalah dengan skor 2-0.
Apa yang terjadi? Saya melihat ada perubahan strategi yang dilakukan oleh Maroko. Melawan Prancis, mereka cenderung agresif, bermain menyerang. Sementara sedari awal hingga babak semifinal, Maroko telah menerapkan strategi yang senada; membangun tembok bertahan.
Akibatnya, meskipun tampil dominan di lini tengah, mereka tidak berhasil menyelesaikan tantangan di lini depan. Tidak ada serangan yang mematikan, para penyerang Maroko malah terlihat seperti orang kebingungan.
Mungkin karena mereka tidak punya penyerang pembeda, seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, atau Kylian Mbappe. Sehingga strategi menyerang Maroko lebih terlihat sebagai tontonan hiburan belaka. Tidak berbahaya.
Seharusnya mereka belajar dari Tim Yunani pada Euro 2004 silam.
Sama seperti Maroko, tim Yunani juga tidak diunggulkan. Pada laga pembuka, secara mengejutkan mereka mengalahkan tim Portugal dengan skor 2-1. Pada babak selanjutnya, menahan imbang Spanyol.
Pada babak terakhir, Yunani hampir tidak lolos karena kalah oleh Rusia. Tapi, pada saat yang sama, Spanyol harus tersingkir karena kalah dari Portugal.
Pada babak perempat final, Yunani menghadapi Prancis yang lebih diunggulkan. Tapi, satu gol yang tercipta dari sundulan Angelos Charisteas cukup untuk menghentikan langkah juara Piala Eropa 2000 itu.
Di semifinal, lawan mereka adalah Republik Ceko yang sedang bersinar terang. Menjadi tim yang tak pernah terkalahkan, plus statistik yang mencengangkan, 10 torehan gol. Tapi, sekali lagi Yunani bermain bertahan. Gol akhirnya tercipta pada babak perpanjangan waktu.
Meskipun sudah pernah mengalahkan Portugal di fase grup, Yunani tetap tidak diunggulkan. Banyak yang menilai, prestasi Yunani hanya sebagai finalis saja. Itu yang terbaik.
Tapi, Yunani dapat membuktikan bahwa mereka adalah tim yang berbeda. Menjadi pembeda dengan mengalahkan tuan rumah dengan skor tipis 1-0.
Selama pertandingan, Yunani tidak mempertontonkan sepak bola indah. Strategi mereka pragmatis, menempatkan seluruh pemain di lini belakang, membentuk benteng pertahanan yang solid. Membuat frustasi pemain lawan, membuat pemain bintang seolah tidak memiliki harapan.
Nyatanya mereka berhasil, memenangkan pertandingan melalui peluang serangan balik, atau lewat sepak pojok.
Strategi ini kemudian menorehkan sejarah. Sebuah istilah yang kemudian muncul dan menjadi populer; Parkir Bis.
Bagi sebagian orang, strategi bertahan Yunani adalah kejahatan, cara licik untuk memenangkan pertandingan. Sebabnya sepak bola yang baik seharusnya tentang tim mana yang dominan mencetak gol-gol indah, bukan yang diam-diam mencuri kemenangan.
Masalahnya, taktik tersebut sama sekali tidak dilarang. FIFA tidak pernah mengharamkan sebuah tim untuk bermain bertahan. Dan Yunani pada edisi 2004 muncul sebagai pembeda, menjadikan lini pertahanan sebagai pemenang.
Yunani cukup sadar diri. Kala itu mereka tidak memiliki pemain bintang. Tidak ada striker yang ditakuti, tidak ada gelandang yang mumpuni, dan tidak ada pemain bertahan dengan kualitas tinggi.
Banyak yang mencibir, sepak bola adalah permainan acak. Tim Yunani menang karena hoki. Tapi, jika melihat konsistensi strategi yang dilakukan sedari awal, sepertinya kemenangan mereka tidak hanya sekadar kebetulan.
Sejarah telah tercipta, para dewa Olympus sudah menunjukkan keajaiban, bahwasanya keberadaan mereka bukan sekadar mitos. Mereka hadir di tengah perhelatan Euro 2004.
Andaikan saja, Maroko yang tidak diunggulkan bermain konsisten, tidak mengubah strategi. Tetap menerapkan taktik Parkir Bis melawan Prancis, bisa saja hasilnya beda. Mereka akan masuk ke babak final dan membuat kejutan.
Kesalahan Maroko adalah tidak belajar dari sejarah. Mereka lupa, meski bergelar Singa, di sepak bola mereka adalah kelinci. Dan untuk menang lawan elang, bukan membunuhnya. Tapi, cukup dengan tidak menjadi mangsa empuk.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H