Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berdansa dengan Kematian: Jangan Buka Halaman 277

10 Desember 2022   08:49 Diperbarui: 11 Desember 2022   20:20 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ghost Writer: "Jangan Buka Halaman 277" (gambar: abebooks.com)

"Kalau saya bilang ada 'Ghost Writer', kamu pasti kira setan yang nulis, kan? HAHAHAHAHA..." Ivan tertawa keras di hadapan Cindy, sekretarisnya.

"Ah, semua orang sama. Bodoh semua! Ghost writer itu adalah seseorang yang dibayar untuk menulis, nantinya yang bayar yang ditulis namanya... HAHAHAHAHA," Ivan kembali tertawa tergelak-gelak, senang melihat kebodohan Cindy.

Saat itu Cindy merasa dirinya seperti Bunga Citra Lestari dalam lakon "My Stupid Boss." Bedanya di hadapannya bukanlah Reza Rahardian yang menyamar. Tapi, Ivan bosnya yang narsis dan sadis.

Tentu saja Cindy tahu istilah Ghost Writer, ia adalah penulis di Kompasiana. Meskipun bukan penulis aktif, namun Cindy sering membaca tulisan-tulisan di platform blog terbesar di Indonesia itu. Banyak penulis-penulis hebat di sana.

Dan baru kali ini ia merasa beruntung, sebab tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan passionnya. Perintah selanjutnya dari Ivan adalah menyuruhnya mencari ghost writer, penulis yang bisa dibayar untuk menulis.

"Jadi, begini Cindy. Semua orang sudah tahu kehebatanku. Daku adalah pengusaha sukses, pandai menyanyi, pintar main piano, jago badminton, dan masih banyak lagi. Tapi, kata teman-temanku bilang, aku belum bisa menulis."

"Bukannya tak mau, tapi daku hanya tidak punya waktu saja. Bukankah setiap orang sukses punya biografi dan mereka bisa klaim dirinya sebagai penulis..." Ivan terus menyerocos.

"Tapi, pak...."

"Tidak ada tapi-tapian. Aku mau buat buku kisah hidupku, dan carilah kau si penulis setan itu..."

"Baik, pak." Cindy keluar sambil bersungut-sungut.

Sudah lama dirinya bekerja untuk Ivan. Jika dihitung sudah hampir satu dasawarsa. Terhitung lama dibandingkan teman-teman lainnya. Ivan bukanlah bos yang mudah untuk dilayani.

Cindy juga tahu jika si bosnya ini penuh kepalsuan. Nyanyi di medsos, padahal suara didubbing. Kadang mirip Judika, sesekali Virzha. Main badminton sambil disyuting dari jauh, terlihat hebat padahal menggunakan aktor. Seseorang yang mirip dengannya.

**

Ketik, "Ghost Writer", Enter.

Cindy mulai mencari sumber di dunia maya. Setelah beberapa kali menelesuri laman demi laman, akhirnya ia tertarik dengan sebuah tulisan. "Ghost Writer yang bisa mengubah hidup Anda."

Ah, inilah yang dibutuhkan Bos. Seseorang yang bisa membuat publikasi, menjadikan Ivan semakin besar kepala. Ada nomor kontak tertera di sudut kanan.

Cindy mulai mengetik pesan, "Selamat malam, saya butuh jasa ghost writer."

Tidak terlalu lama kemudian, balasan muncul, "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"

Belum sempat mengetik balasan lagi, hape Cindy berdering. "Selamat malam, bu Cindy..." terdengar suara dari seberang. Suara berat seorang lelaki

"Eh... selamat malam," Cindy menjawab telpon dengan kikuk.

"Iya, bu Cindy, Anda menghubungi orang yang tepat..."

"Begini, saya butuh jasa ghost writer untuk bos saya, tapi saya mau tahu pengalaman Anda dulu..."

"Boleh, bu Cindy. Saya akan memberikan bonus menulis kisah hidup singkat ibu. Coba ibu ceritakan sepenggal pengalaman mengesankan ibu," suara tersebut terdengar meyakinkan.

"Hmmm... Coba saya ingat dulu ya, baiklah..."

Cindy lalu menceritakan kisahnya bersama teman-teman menyelamatkan kucing-kucing jalanan. Peristiwa yang dia ingat betul, pernah ia tulis di Kompasiana dan menjadi headline.

Tidak terlalu lama kemudian, sebuah pesan masuk ke gawainya. Dari si ghost writer. Cindy membaca dengan seksama tulisan itu. Kata demi kata, kalimatnya begitu indah.

Cindy tahu, penulis yang hebat pasti memiliki kekuatan imajinasi, tetapi imajinasi si penulis ini sungguh "di luar batas." Peristiwa dituliskan secara detil, seolah-olah ia sedang berada di sana.

Yang lebih mengherankan lagi, si penulis berhasil menerjemahkan perasaan Cindy. Bahkan sesuatu yang terkesan "bumbu," nyata adanya.

Cindy langsung menelpon si penulis. "Oke Mas, tulisan kamu mengagumkan. Nanti saya akan menghubungi bos saya..."

Cindy puas, ia sudah menemukan orang yang tepat. Meskipun ada sedikit rasa heran, "kok dia tahu nama saya, ya? Ah, sekarang kan ada aplikasi caller id," Cindy membatin.

**

"Bla... bla... bla.... HAHAHAHAHA... Bla... bla... bla... HAHAHAHAHA," suara Ivan terdengar dari dalam kantornya. Tidak jelas, kecuali suara tertawanya yang khas.

"Cindy, kamu hebat. Si penulis itu bisa membaca pikiranku... HAHAHAHAHA," Ivan puas.

Seminggu kemudian, sebuah paket diterima Cindy. Isinya 25 eksemplar buku biografi Ivan. Ada rasa kagum melihat sampulnya, kualitas tinggi dengan desain warna yang bagus. Ada rasa jijik melihat foto Ivan yang terlihat lebih muda. Terlebih lagi judulnya yang terkesan murahan, "Gali Lubang Tutup Lubang." Tapi, Cindy bisa memaklumi karena ia tahu persis selera si bos yang emang murahan.

"HAHAHAHAHA... Baca nih, baca nih..." Ivan keluar dari kantornya.

"Hari ini, pokoknya semua staf kantor harus membaca buku ini. Sampai tuntas... tas... tas... HAHAHAHAHA."

Cindy tidak terlalu memedulikan ucapan bosnya itu. Dia memang berkeinginan membaca buku itu. Bukan tertarik dengan kisah hidup Ivan, tetapi penasaran bagaimana si ghost writer itu mengolah kata.

Cindy mengabaikan bagian kata pengantar, ia menelusuri bab demi bab secara acak, melihat bagian mana yang menarik untuk dibaca. Jarinya terhenti pada halaman 177. Bab itu berjudul, "Cindy Sekretarisku."

Perasaan Cindy tidak terlalu enak, mengapa bosnya itu menempatkan satu bab khusus membahas dirinya. Dengan perlahan ia mulai membaca dari alinea pertama.

Mata Cindy terbelalak, emosinya memuncak bercampur dengan perasaan khwatir. Bagaimana mungkin bosnya tahu laku privasi dirinya? Bagaimana ia pernah berpacaran dengan mantan teman kerjanya, dan menggunakan sofa di ruang Ivan untuk memadu kasih. Di bagian itu juga, tertulis bagaimana Cindy putus karena dikhianati pacarnya.

"Bagaimana si bos bisa tahu?" Perasaan Cindy campur aduk antara heran dan perasaan was-was.

Ia lalu melihat ke arah teman-temannya. Takut jika ada yang membaca bagian itu. Tidak ada suara, semua sibuk membaca buku dengan ekspresi wajah yang serius.

Tiba-tiba Sonya yang duduk di samping Cindy terisak-isak. "Ada apa, Sonya?"

"Brengsek! Brengsek!!!" Sonya marah tapi mencoba menahan suaranya.

"Kasus itu, Cin... Yang waktu dia paksa aku ke hotel."

"Ha... ditulis juga?" Cindy terkejut.

Sesaat kemudian, giliran Paul yang menyelutuk. "Ya, gila nih si bos... Masa dia bilang kalau gue pecundang, ngandalin otot doang."

Cindy masih diliputi rasa heran. Belum lagi hilang rasa kagetnya, Tino melemparkan buku yang ia pegang ke arah tembok. "Brengsek, ternyata si Setan itu biang keladinya. Beran-beraninya dia ngakuuuu..."

Ayah si Tino adalah mantan partner Ivan di perusahaan. Tapi, sekarang ia berada di penjara karena dituduh membunuh orang. Sekarang Tino tahu, karena buku itu mengisahkan semuanya dengan gamblang. Semuanya sudah diskenariokan oleh Ivan.

"Brengsekkkk...." Teriak Tino sekali lagi sebelum ia pergi meninggalkan kantor. Suasana masih hening, semua yang berada di ruangan itu terdiam, sibuk membaca buku biografi si Ivan.

Cindy yang semakin penasaran langsung membuka bab terakhir. Penasaran apa yang akan dikisahkan lagi. Halaman 277, Bab Penutup.

"[...] ... Setelah kematian Ivan, istrinya tidak bisa lagi memercayai siapa-siapa. Akhirnya ia pun memutuskan mengangkat Cindy, sekretarisnya menjadi Direktur Utama. Menggantikan posisi suaminya yang mati terbunuh. Cindy adalah orang yang paling dipercayai oleh keluarga almarhum Ivan Sostrowijoyo... [...]."

Mata Cindy terbelalak, "Ivan mati dibunuh?" Buku itu sudah tidak mirip biografi lagi, lebih kepada cerita fiksi. "Apakah memang maunya bos seperti itu?"

Cindy teringat dengan karya Daeng Khrisna Pabichara. Novel Sepatu Dahlan yang dibuat berdasarkan kisah hidup Dahlan Iskan. Tapi, buku Gali Lubang Tutup Lubang ini berakhir sadis. Benar-benar di luar nalar.

"Hei, baca halaman 277," Paul tiba-tiba berteriak.

"Di sana disebutkan jika saya dipecat karena bikin kegaduhan di kantor! Eh kurang ajar benar si bos ini..."

Baru lima detik Paul mengakhiri omongannya, Ivan tetiba keluar dari dalam kantornya dan menghardik dirinya.

"Hei Paul, kamu kupecat! Sudah kubilang kalau semuanya duduk tenang baca buku ini, engkau malah bikin gaduh. Keluar sekarang... keluar... atau kupanggil satpam mengusirmu... Dan kalian semua, diam dan baca!!!" teriak Ivan sambil membanting pintu kantornya.

"Lha, kok... Bos bercanda ya? Apakah cerita di buku ini sudah dirancang?"

Semua pegawai hanya bisa bengong. Satu persatu membuka halaman 277. "Lha, punyaku kok berbeda ya?" seru Novi pegawai baru.

"Iya, aku juga beda," Sonya menimpali.

"Sini aku lihat..." Cindy mengambil buku yang digenggam Sonya.

"Sama saja dengan punyaku kok, di sini disebutkan jika pak Ivan meninggal dibunuh," pungkas Cindy.

"Ah, gila lo. Baca baik-baik, di sana tertulis kalau aku mengundurkan diri dan menikah dengan seorang pria tampan, kok..."

Cindy tidak percaya, ia membacanya sekali lagi. Sama persis, tidak berubah. Ivan mati terbunuh. Cindy merasa mual, bagaimana mungkin si ghost writer bisa membuat buku yang sama dengan versi yang berbeda-beda. Dalam waktu seminggu pula.

Diliputi perasaan panik, Cindy mengambil telponnya dan menelpon nomor si ghost writer. Tidak ada jawaban, nomornya tidak menjawab.

"Gubrak.... Ah, tolong... jangan... jangannnn..." suara Ivan terdengar mengerikan dari dalam kantornya.

Suasana menjadi tegang. Tino keluar dari dalam kantor Ivan, tubuhnya berlumuran darah. Wajahnya terlihat menyeramkan. Tangannya mengenggam sebilah belati. Ia baru saja menusuk Ivan berkali-kali hingga tewas, mengenaskan!

Sonya berteriak histeris, wajah Paul memucat, Novi jatuh pingsan. Tino melangkah dengan gontai keluar ruangan. Semuanya panik, hanya Cindy yang masih bisa tenang.

Dengan perlahan ia meraih buku Tino yang dilemparnya tadi. Membuka halaman 277. Wajah Cindy memucat... isinya ternyata....

**

Acek Rudy for Kompasiana

Disklaimer: kisah ini hanya fiktif, kesamaan tokoh dan tempat hanya kebetulan saja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun