Dalam sebuah perjalanan darat menuju luar kota, saya berbincang dengan shohibku. Ia tampak sibuk dengan gawainya, sehingga percakapan kita beberapa kali tertunda.
Saya bisa memahami, sebabnya ia sudah minta izin dulu. "Kalau saya tidak menghubungi mereka, urusan tidak selesai." Alasan yang bagus, jadi saya memilih diam saja.
Lalu, pikiran ini kembali ke masa lalu. Pada saat usiaku masih seumur shohibku itu. Persisnya awal 90an. Tidak ada hape! Itu yang pertama kali terlintas.
Saya membandingkan dengan perjalananku ke Jakarta yang pada saat itu cukup sering. Apa yang kulakukan? Kok bisa ya semua urusan beres, tanpa harus ada pesan "otw" di gawai.
Jadi, memang setiap zaman dibentuk dengan masanya sendiri. Apa yang sekarang kita anggap sebagai keterbatasan, di zaman dulu adalah kemewahan. Ya, tentu. Memiliki pager adalah kemewahan, Memiliki mesin facsimile adalah kemewahan. Bahkan telpon rumah pun juga kemewahan.
Jadilah saya tidak takut berangkat ke Jakarta dengan segala "kemewahan" tersebut.
Langkah pertama yang kulakukan adalah menyusun agenda. Siapa yang akan saya temui, jam berapa, dan lokasi di mana. Sehari atau dua hari sebelumnya, saya masih menelpon mereka. Megingatkan saja jika ada appointment yang sudah dibuat.
Jika sifatnya resmi, maka mesin facsimile akan sangat berguna. Tidak lupa juga menyertakan skedul dan nomor penerbangan yang akan digunakan. Untuk dikabarkan kepada teman yang mengatur penjemputan.
Setibanya di bandara, saya langsung menuju ke lokasi kedatangan. Teman yang menjemput sudah ada di sana, tersenyum sumrigah. Urusan beres.
Tapi, kalaupun ia belum hadir, tidak perlulah saya panik. Cukup duduk di kursi, tidak beranjak, dan tak lupa juga mata mengawasi. Untuk urusan yang satu ini, tentulah mudah. Karena internet belum lahir, jadi perhatian tidak akan terganggu. Â