Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Pentingnya Usaha Warung Kecil di Mata Perusahaan Besar

29 November 2022   14:38 Diperbarui: 12 Desember 2022   12:18 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang, saya jadi teringat pengalamanku dulu. Masa dimana saya masih aktif bekerja pada perusahaan distribusi Fast Moving Consumer Goods. (Distributor FMCG)

Dalam artikel tersebut, bang Irwan memberi alasan mengapa warung kelontong tidak tumbang digempur Mini Market [nasional]? Isinya bernas, dan saya sangat setuju. Tulisan itu berdasarkan pengamatan dan analisis yang cadas. (baca di sini)

Sekitar awal 2010an, tersiar kabar jika dua gerai minimarket nasional, Alfamart dan Indomaret akan berinvestasi di kota Makassar. Untuk menyambutnya, strategi pun disusun. Sebagai distributor beberapa produk FMCG, saya duduk bersama dengan para produsen (disebut principal) dari head office Jakarta.

Beberapa hal harus dilakukan. Seperti menaikkan level stok produk di gudang, menambah armada pengantaran, membentuk tim tenaga penjual, hingga pengurusan administrasi yang lumayan ribet.

Dalam pengkategorian industri FMCG, kedua gerai ini tiada bedanya dengan hypermarket dan supermarket nasional lainnya, seperti Carrefour, Lotte, atau Giant. Mereka tergabung dalam sebuah kategori besar yang disebut dengan National Key Account.

Kategori "lawannya" adalah para pelaku usaha lokal. Bentuknya macam-macam. Mulai dari supermarket, minimarket lokal, grosir, semigrosir, toko retail, hingga warung.

Saya menyebutnya dengan "lawan" bukan berarti saingan. Tetapi, karena kedua kategori ini memiliki karakteristik yang benar-benar berbeda. Sehingga penanganan distribusi produknya pun memerlukan cara yang berbeda.

Sebagai gambaran. Untuk menangangi kategori National Key Account, para produsen (pemilik pabrik) akan melakukan negosiasi secara nasional. Baik dari sisi produk yang boleh disupply, harga, promo, hingga kuantitas yang ingin dipesan.

Sebagai distributor (perwakilan daerah dari produsen), Perusahaan saya cukup menyediakan tenaga deliveri saja. Langsung diantar ke lokasi, di gudang pusat masing-masing gerai. Selanjutnya, hanya urusan administratif.

Bagaimana dengan kategori kedua? Para pelaku usaha lokal?

Tentunya penanganan pun tidak sama. Untuk kategori grosir, semigrosir, hingga retail, perusahaan saya memerlukan tenaga penjual yang dinamakan Sales Taking Order (STO). Kerjanya berkunjung dari toko ke toko, menyampaikan informasi, dan mencatat pesanan langsung dari pemilik toko. Sehari kemudian, barang yang dipesan langsung di antar ke tempat.

Untuk kategori yang lebih kecil lagi, semacam warung kelontong, maka sistem distribusinya menggunakan Sales Motoris. Alias salesman yang membawa semacam tas atau box berisikan produk-produk yang akan dijual langsung ke toko yang dikunjungi. Sistemnya COD.

Tentu saja tujuan menjadi pengusaha adalah mengejar keutungan. Rumusnya sederhana, naikkan omzet turunkan biaya.

Omzet National Key Account itu besar. Sekali order bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara biaya deliveri yang dikeluarkan untuk melayani termasuk efisien. Cukup satu dua buah mobil yang sekali jalan bolak balik.

Outlet tipe grosir dan semigrosir masih termasuk lumayan. Omzetnya mungkin tidak sebesar perusahaan raksasa. Tapi mobil deliveri yang mengantar cukup sekali jalan, singgah sekaligus ke beberapa tempat. Tenaga penjual yang menangani juga tidak perlu banyak, dalam sehari hanya melayani sekitar 10an outlet.

Bagaimana dengan retail kecil, warung di pinggir jalan, hingga gerobak kelontong?

Diperlukan salesman khusus, yang menyisir sekitar 30 sd 40 outlet per hari. Dan itu baru satu wilayah kecil. Perhitungan kasarku, untuk melayani seluruh wilayah kota Makassar, dibutuhkan sekitar 15 sd 20 tenaga penjual.

Biaya? Sisa dikalikan saja dengan UMP plus tunjangan lainnya, semisal uang bensin dan uang makan.

Omzetnya? Dalam sehari hanya nol koma nol nol persen dari omzet National Key Account.

Jelas pemborosan! Tapi, tetap harus dilakukan. Mengapa?

Produsen punya kepentingan. Barang yang diproduksi harus tersedia dimana-mana. Kalau tidak, maka pelanggan akan kecewa dan beralih ke produk pesaing. Menggelontorkan uang iklan hingga puluhan miliar akan terbuang percuma jika konsumen tidak bisa menemukannya di pasaran.

Dan inilah tugas perusahaan distribusi.

Memang benar, secara hirearki seharusnya warung kelontong membeli langsung ke pedagang grosir. Harganya lebih murah dan seleksinya lengkap. Akan tetapi, grosir ini punya tabiat yang aneh. Mereka tidak mau menyediakan barang jika belum dicari pelanggan.

Teknik distribusi ala sales motoris kemudian memiliki dua fungsi. Yang pertama, agar produk yang dijual dekat dalam jangkauan masyarakat. Yang kedua, menggerakkan permintaan pasar dari level paling bawah.

Jika ternyata banyak diminati pelanggan maka para pemilik warung kelontong akan mencarinya di grosir langganan. Jika sudah demikian, para grosir pun akan panik. Dengan segera mereka menghubungi agen distribusi untuk membeli. Omzet pun naik. Jadi, jelas bukan, fungsi warung itu penting dalam industri FMCG.

Lalu bagaimana produsen tahu jika distribusi mereka tidak maksimal?

Mereka bekerja sama dengan perusahaan riset. Yang paling terkenal adalah Nielsen. Para produsen akan membeli data. Isinya tentang berapa market share yang ditinjau dari faktor distribusi. Alias ketersediaan produk di pasar.

Harganya riset tersebut tidak murah. Tapi pantas dibeli, tersebab informasinya sangat berharga. Bagi produsen, pertempuran di lapangan sangatlah krusial. Barang yang sudah diproduksi harus laku terjual. Untuk itu, semua upaya akan dikerahkan melalui distribusi.

Ketersediaan produk di retail raksasa, sama pentingnya dengan yang ada di warung kecil. Karena standar perhitungan market share dari Nielsen akan memperhitungkan semua.  

Bagaimana nasib warung kelontong di zaman now?

Saya mencoba melakukan riset kecil-kecilan. Alhasil, hingga Oktober 2022, Indomaret sudah memiliki 20.853 gerai di seluruh Indonesia. Jumlah ini belum termasuk gerai Alfamart, yang  "di mana lu ada, di situ gue buka." Jumlah yang fantastis!

Lalu berapa banyak warung kelontong yang masih eksis? Entahlah, tapi sepanjang jalan yang kutelusuri setiap hari, sepertinya semakin banyak. Bahkan lebih banyak dari minimarket nasional yang kutemui.

Sekarang keraguan saya sudah tidak beralasan lagi. Meskipun dulu santer terdengar bahwa keberadaan retail semacam Indomaret dan Alfamart akan menggerus eksistensi UMKM. Nyatanya sampai sekarang pun tidak.

Tentu saja warung kelontong punya keunggulan yang tidak dimiliki oleh minimarket nasional. Tulisan Kompasianer Irwan sudah mengupasnya dengan komprehensif.

Saya hanya ingin menambahkan satu hal saja. UMKM adalah bagian penting dari struktur ekonomi Indonesia. Tentu saja demikian, jika tidak maka pemerintah tidak akan repot-repot mengeluarkan aturan yang mendukung keberadaan UMKM.

Demikian pula dengan para produsen. Dalam industri yang kompetitif, memenangkan peperangan adalah hal yang harus dilakoni. Keberadaa warung kelontong adalah wilayah strategis yang harus dimenangkan.

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun