Tapi, orang Tionghoa menganggap tulosan merah jauh lebih buruk dari sekadar kemarahan. Tulisan merah adalah kutukan. Di zaman kerajaan kuno, keputusan hukuman mati bagi para terdakwa selalu ditorehkan dalam tinta merah. Melambangkan darah yang sebentar lagi akan tercecer.
Lama kelamaan kebiasan ini terus berlanjut. Orang China menggunakan tinta merah dalam menulis surat perpisahan, mengabarkan berita duka cita, atau membeberkan kutukan kematian.
Dunia arwah juga tidak menyukai warna merah.
Kembali kepada legenda Imlek. Tentang asal-usul warna merah yang dianggap sebagai hoki. Jauh sebelum masyarakat Tionghoa mengenal perayaan imlek seperti saat ini, hiduplah sesosok monster yang bernama Nian.
Nian ini hanya menampakkan diri setahun sekali. Kurang ajarnya, si moster ini memilih hari Imlek sebagai waktu kehadirannya. Ia datang menebarkan teror. Menculik warga desa untuk dijadikan persediaan santapan selama setahun.
Hingga seorang tua bijaksana datang mengusirnya. Si orang tua tersebut menggunakan tiga instrumen yang ditakuti oleh si monster, yaitu: api, kebisingan, dan warna merah.
Sejak saat itu warna merah pun dianggap sebagai warna pembawa keberuntungan. Atau dengan kata lain, hoki bagi manusia ternyata merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh kaum setan.
Nah, saya kemudian menghubungkan warna merah dengan jimat pengusir setan (Fu). Tinta merah yang menyala, ditorehkan di atas kertas kuning. Ditempelkan di depan rumah atau disisipkan ke dalam dompet. Konon hantu akan takut mendekati.
Tidak heran jika hantu bergaun merah hidupnya resah. Ia menggunakan warna merah yang memang tidak disenangi oleh kaumnya. Lalu apakah ini adalah alasan utama mengapa si gaun merah adalah hantu yang membahayakan?
Entahlah... Karena bagi saya, warna merah bukanlah penyebab. Ia hanyalah pengingat saja.
**
Acek Rudy for Kompasiana