Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Keharmonisan Hubungan Rumah Tangga, Dewa Pun Bisa Salah

4 November 2022   05:21 Diperbarui: 4 November 2022   05:32 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keharmonisan Hubungan Rumah Tangga, Dewa Pun Bisa Salah (gambar: daydaynews.cc, diolah pribadi)

Apa sih yang paling ditakuti dalam kehidupan perkawinan? Banyak hal, tetapi ending yang paling mengerikan adalah perceraian.

Lantas, mengapa ada pasangan yang sampai bercerai? Sekali lagi, banyak. Dan mungkin saja kamu, kamu, dan kamu akan menempatkan perselingkuhan dalam daftar amygdala teratas.

Nyatanya, menurut data Badan Peradilan Agama, zina hanya berada di urutan ke-10 penyebab perceraian di Indonesia pada 2021 lalu. (Ini sumbernya).

Beberapa hal yang terlihat lebih "sepele", justru menempati urutan lebih atas. Seperti mabuk (nomor 5), murtad (6), dan pergi tanpa sebab (3). Yang lebih mengejutkan, ternyata faktor perselisihan dan pertengkaran menempati urutan pertama. Masih di bawah "jagoanku", yakni faktor ekonomi yang hanya berada pada urutan ke-2.

Meskipun demikian, bagi saya defenisi "pertengkaran dan perselisihan" wilayahnya masih abu-abu. Sebelum itu terjadi, tentunya banyak penyebab yang lebih spesifik.

Faktor ini menjadi lebih abu-abu lagi, seiring dengan fakta bahwa tidak ada pasangan suami istri yang tidak pernah bertengkar. Hanya saja, adakah hitungan sebatas mana pertengkaran yang bisa ditolerir?

Untuk itu, marilah kita mengambil contoh kasus Mart (nama samaran). Meskipun pada akhirnya kasus ini berakhir damai, saya akan menggunakannya untuk memberikan contoh betapa perselisihan bisa menimbulkan masalah runyam.

**

Mart baru saja menelpon istri saya. Ia menangis tersedu-sedu karena perkataan suaminya yang dianggap melecehkan martabatnya,

"kamu hanya menghabiskan uangku," demikian pungkas si suami.   

Mart punya pembelaan. Dia bekerja paruh waktu sebagai agen asuransi. Meskipun pendapatannya tidak besar, tetapi cukup untuk membiayai kebutuhan sederhananya.

Mart juga berdalih bahwa dia sudah banyak berhemat. Suaminya hanya tidak tahu saja.

Tentu saja istri saya membela Mart, dengan mengatakan jika suaminya tidak tahu diri. Sebagai sesama golongan berkumis, saya tidak melakukan pembelaan apa-apa. Bahaya, istri saya sudah emosi dan saya bisa saja jadi sasaran.

Lagipula ungkapan "tahu diri" cukup untuk membuatku terdiam. Karena memang hal ini yang akan saya bahas pada artikel ini.

Dalam prahara rumah tangga Mart dan suaminya, saya menafsirkan masalah ekonomi menjadi penyebabnya. Sebabnya sudah ada cerita terdahulu yang saya dengar. Namun, faktanya itu hanya salah satu saja. Masih banyak rangkaian penyebab lainnya.

Meremehkan Pasangan

Sejak suaminya kehilangan pekerjaan, si Mart selalu "mendorongnya" untuk mencari sumber pendapatan baru. Terkadang saya mendengarkan percakapan di telpon, tentang bagaimana Mart berkata jika sekarang ia harus mencari pundi-pundi tambahan. Mengambil alih peranan suaminya yang sudah "tidak berfungsi" lagi.

Entah apakah suami si Mart mendengarkan percakapannya dengan istriku. Sejujurnya, sebagai seorang suami saya juga merasa was-was. Mart mungkin tidak menyadari jika ungkapannya itu bisa berstandar ganda. Di satu sisi ia ingin agar suaminya bersemangat kembali, di sisi lain itu adalah ungkapan "meremehkan."

Seringkali pula saya mendengarkannya berujar, "seandainya saya jadi kamu..." atau semacam itu. Sekilas, jika disikapi dengan kepala dingin, pernyataan tersebut hanyalah terdengar semacam nasihat kepada pasangan.

Namun, jika kepala sudah memanas, membuat perbandingan semacam itu bisa saja dipahami dengan sikap yang meremehkan, lho. Nyatanya setiap manusia memang merupakan individu yang berbeda-beda. Kita tidak bisa mengandaikan orang lain dengan diri kita sendiri.

Dugaan saya, suami si Mart merasa jika nasihat istrinya itu semacam sebuah pernyataan sikap, "kamu gak bisa apa-apa." Emosi dipendam dan menunggu hingga ia meledak.

Menolak Konflik Sekaligus Solusi

Si suami sepertinya sadar diri tapi belum tahu diri. Dalam setiap percakapan ia selalu menghentikan atau menolak untuk membahas permasalahannya. Sejujurnya, saya terkadang juga bersikap seperti itu.

Ada perbedaan antara cara kerja emosi pria dan wanita. Umumnya wanita akan mencari pasangan atau orang-orang dekatnya untuk membahas masalah. Sementara pria itu sebaliknya. Masalah bukan untuk dibagi, menyelesaikannya sendiri adalah solusi.

Saya termasuk orang yang enggan berbagi permasalahan dengan istri. Tidak terlalu gentle rasanya. Lagipula, dalam beberapa pengalaman seringkali permasalahan yang sudah pernah kuungkapkan dibahas kembali pada waktu yang kurang tepat. Benar,wanita adalah pengingat sejati.

Nyatanya saya salah...

Terbuka kepada pasangan bukan berarti lemah. Membahas permasalahan dengan istri bukan berarti berkeluh kesah. Sikap yang perkasa adalah membahas problema beserta opsi-opsi jalan keluar yang mungkin ada. Jika didengarkan secara baik, bisa saja omelan istri adalah solusi bagi permasalahan.

Mart merasa jika keengganan suaminya berdiskusi adalah sebuah penolakan. Mart merasa diremehkan, merasa tidak dihargai. Sekali lagi karena cara kerja emosi pria dan wanita memang berbeda.

Ada sebuah penelitian yang pernah dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family (2013). Disebutkan jika kebiasaan melarikan diri dari konflik akan meningkatkan resiko perceraian. Tidak ada pasangan yang bahagia dengan kebiasaan ini.  

Playing Victim

Puncaknya terjadi pada saat Mart sudah pindah ke rumah orangtuanya. Ia sudah secara resmi menyebarkan kisah sedihnya kepada lingkar terdekat. Termasuk kepada istriku.

Istri saya bak corong kepanasan. Ia lantas menceritakan semua keburukan suami Mart. Sembari membela Mart dan menceritakan bagaimana tabahnya Mart dalam mempertahankan hubungan mereka.

Kuping ini ikut-ikutan kepanasan. Bagaimanapun juga kaum lelaki punya empati kepada sesama tertuduh. Saya sih tidak pernah mendengarkan versi kisah suaminya. Tapi, bagi saya sedikit banyak Mart telah menceritakan sesuatu yang berlebihan.

"She is playing victim," ujarku singkat.

"Mengapa?" Istriku berujar penuh emosi.

Saya menjawab sederhana, "karena jika hubungan mereka baik-baik saja maka si istri tidak pernah merasa menjadi korban."

Playing victim adalah ungkapan kekesalan. Berharap timbulnya empati dan mendapatkan dukungan. Namun, seringkali cara ini justru bisa memperkeruh suasana.

Kisah berakhir sampai di sini. Saya tidak pernah lagi membahas tentang kondisi Mart, hingga kabar baik yang kudengarkan. Mereka tidak jadi bercerai.

Sebagai seorang suami, saya merasa tidak berhak untuk menggurui pembaca tentang bagaimana bersikap kepada pasangan agar keluarga bisa hidup harmonis. Itu seharusnya dikembalikan kepada setiap pribadi. Ada yang namanya kedewasaan hubungan.

Namun, menarik untuk melihat prinsip orang Tionghoa. Sebelum menikah, hitungan fengshui nasib (ba-zhe) harus dilakukan terlebih dahulu. Jika chiong alias tidak hoki, sebaiknya jangan menikah.

Oke, sekilas ini terdengar seperti klenik. Tapi, memang itulah yang terjadi. Katanya sih, tingkat akurasinya cukup tinggi.

Tapi, jangan menganggap jika hitungan semacam itu selalu benar. Ada juga yang meleset. Beberapa kasus yang saya temukan, perkawinan dengan perbedaan usia 6 tahun dalam metodologi Ba-zhe disebut dengan "chiong besar." Konon pasangan seperti itu hampir pasti berakhir perceraian. Nyatanya ada yang aman-aman saja. Saya mengenal beberapa kawan yang seperti itu.

Maknanya apa?

Pernikahan adalah sebuah misteri, bahkan dewa pun terkadang takabur. Kembali lagi... adalah keputusan dari setiap pasangan untuk melihat sejauh mana pentingnya sebuah hubungan. Itu aja sih...

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun