Barusan saja kami diliputi kabar duka. Seorang anak dari karyawan meninggal dunia. Sebutkanlah namanya Andika, usianya baru 6,5 tahun. Yang lebih menakutkan lagi adalah vonis dokter. Andika mengidap Gagal Ginjal Akut (GGA).
Saya terperangah. Sebabnya baru dua minggu lalu diriku melihat Andika hadir di toko. Ia lincah dan tidak menunjukkan gejala kesehatan yang merisaukan. Kekhwatiran yang sama juga melanda seluruh pegawai toko, khususnya yang memiliki anak balita.
Anni (nama samaran) malah menangis tersedu-sedu. Anaknya sedang demam di rumah. Sementara ia tidak tahu mau berbuat apa. Ke dokter enggan dan obat pun masih samar.
GGA memang mengerikan. Merengut nyawa dengan begitu cepatnya. Marak pemberitaan tidak jelas. Apalagi kini kejadiannya di depan mata. Iya, kisah si Andika kami ikuti sejak pertama kali ia masuk ke rumah sakit. Dan itu baru saja empat hari yang lalu.
Awalnya Andika terindikasi DBD. Pada hari pertama di rumah sakit trombositnya turun drastis. Hari kedua kondisinya sudah membaik, tapi kadar Hemogoblin (Hb darah) turun signifikan. Dari 10 menjadi 6.
Dokter lalu mengidentifikasi adanya pendarahan. Sehari sebelumnya gusi dan bibirnya memang bedarah. Tapi, kondisi si anak masih baik, kecuali sakit perut yang mendera.
Hari ketiga, situasi bertambah runyam. Andika terus berteriak-teriak kesakitan, mengeluhkan rasa sakit di perutnya yang tak tertahankan. Lalu, dokter pun memberi rujukan ke rumah sakit yang lebih besar, milik pemerintah.
Penyebabnya karena lambung si Andika berdarah. Dan sehari sesudahnya berita mengejutkan pun kami dengar. Andika menghembuskan napas terakhirnya. Penyebabnya GGA.
Untuk meredakan kerisauan pegawai, saya pun menelpon seorang dokter kenalan. Hasil percakapannya benar-benar menyadarkanku. Apa yang saya ketahui selama ini ternyata belum sepenuhnya benar.
Memang dua hari yang lalu, saya sudah menelpon si dokter. Menanyakan kondisi si Andika yang masuk rumah sakit gegara DBD dan Hbnya turun drastis. Si dokter menyarankan untuk tetap memantau perkembangan anak sesuai petunjuk dokter.
Setelah si Andika meninggal, begini kira-kira isi pesanku kepadanya;
"Dok... Si Andika meninggal karena GGA. Apa yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama, jika ada indikasi demam? Lalu apa saja gejalanya?"
Tidak perlu panjang lebar, menurut saya si dokter juga tahu riwayat Andika yang Terindikasi DBD dan kemudian divonis GGA.
Tapi balasan si dokter sepertinya kurang relevan. Ia menjawab singkat, "kalau demam, kita harus mencari tahu penyebabnya. Termasuk kemungkinan DBD."
Si dokter lalu melanjutkan, "Kalau gejala awal DBD terutama demam tinggi 3 hari, sakit kepala hebat, ada gejala khas nyeri retrobulbar (sakit di belakang mata), fatigue, home within 100m range of other DBD case."
"DBD umumya cuma itu, tidak ada gejala kelainan saluran pernapasan seperti batuk, beringus, sakit tenggorokan, etc."
Tentu saja saya tidak puas. DBD sudah bukan lagi masalah. Kurang menakutkan dibandingkan dengan GGA yang menimpa si anak. Saya lalu bertanya lagi, khwatir jika si dokter tidak ngeh kalau saya bertanya tentang GGA.
Si dokter masih lanjut menjelaskan cara untuk membersihkan lingkungan dari jentik-jentik nyamuk. Namun setelah saya mendesaknya untuk menjelaskan saja tentang GGA, si dokter pun membalas pertanyaanku.
Pernyataannya sungguh membuatku shock;
"GGA adalah fase terakhir dari DBDnya. Shock hemorrhagic. Perdarahan hebat, bocor-bocor pembuluh darahnya. Tidak ada yang pergi ke ginjal."
Saya terdiam. Artinya GGA sudah ada sejak DBD itu dikenal. Itulah yang terjadi kepada si Andika. Dan kini ibunya sedang menderita dengan mengira bahwa anaknya meninggal karena GGA.
"Ini harus diluruskan," demikian dalam benak saya.
Saya tidak menyalahkan dokter. Andika memang meninggal dunia karena kehilangan fungsi ginjal yang disebut dengan shock hemorrhagic. Rawan menyebabkan kematian pada anak karena fungsi ginjalnya belum sekuat orang dewasa.
Jadi benar, ginjalnya gagal akut. Tetapi, apakah itu termasuk dalam kategori GGA? Karena yang saya pahami, penyebab GGA hanya satu -- Disebabkan karena minum obat yang sekarang ditarik dari peredaran.
Jika memang seperti itu, alangkah eloknya jika tidak menambahkan istilah yang sedang viral, GGA. Si dokter cukup mengatakan bahwa shock hemorrhagic penyebabnya. Menambah kata GGA hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Tidak heran jika karyawan saya semakin khwatir dengan persediaan obat-obatan yang berada di rumahnya.
Saya kemudian lanjut bertanya. "Jadi, apa GGA itu identik dengan DBD ya?"
Si dokter menjawab pertanyaanku, "shok dehidrasi saja bisa bikin gagal ginjal, tapi dalam kondisi terbaru keracunan juga menjadi salah satu penyebab. Seperti anak yang barusan karena obat sirup."
Si dokter melanjutkan, "tapi, ada juga Weil syndrome, karena kencing tikus waktu hujan dan banjir. Fase akhirnya juga bikin gagal fungsi ginjal dan liver shut down."
Sebagai informasi, Weil Syndrome juga dikenal sebagai penyakit Leptospirosis. Ia disebabkan oleh bakteri Leptospira Interrogans yang menyebar melalui darah atau urin hewan yang terkontaminasi. Bisa sapi, tikus, babi, atau anjing.
Lepotosporosis menyebar ke manusia melalui air atau tanah yang telah terkontaminasi. Gejalanya mirip flu, namun sangat fatal. Jika tidak ditangani secara tepat maka akan merusak organ dalam, termasuk ginjal hingga mengancam nyawa.
Dengan demikian, kehilangan fungsi ginjal (atau GGA) bukan saja berasal dari konsumsi obat dengan kandungan EG dan DEG. Tapi, bisa juga berasal karena Shock hemorrhagic, shock dehidrasi, dan weil syndrome.
Lalu jika anak demam, apa yang harus dilakukan?
1. Jangan Panik dan Tetap Percaya Dokter
Jika anak demam, dokter selalu menjadi rujukan. Lakukan pemeriksaan darah termasuk kemungkinan DBD. Jika sudah terindikasi penyebabnya, lakukanlah penanganan sesuai dengan saran dokter termasuk obat yang diberikan.
2. Berikan Obat yang Sudah Diapprove oleh Kementerian Kesehatan
Pada hari Kamis (27.10.2022), pemerintah sudah mengeluarkan daftar obat yang aman untuk dikonsumsi. Seharusnya itu bisa menjadi rujukan. Segera beli dan simpan di rumah.
3. Jangan Menyimpan Obat yang Sudah Kadaluarsa.
Secara berkala, istri saya melakukan audit persediaan obat. Semua yang sudah kadaluarsa dibuang. Begitu pula dengan obat cair yang sudah terbuka setengah. Sebaiknya tidak lagi disimpan.
4. Jangan Membeli Obat Tanpa Resep Dokter
Obat yang sama jangan pernah dibeli kembali tanpa resep dokter. Meskipun obat tersebut termasuk label dijual bebas, sebaiknya konsultasikan kembali ke dokter.
5. Membersihkan lingkungan dari ancaman DBD
Dokter sahabatku berkata bahwa ia selalu menyediakan abate di rumahnya. Jika sudah tersiar kabar ada wabah DBD dalam radius 100m dari rumahnya, ia akan mulai menebarkan abate di selokan-selokan kompleks rumahnya.
Selain itu, ada juga beberapa cara lain untuk pencegahan DBD, seperti penyemprotan jentik nyamuk dan membersihkan air dalam genangan. Apapun itu, lakukanlah.
6. Gosokkan Lotion Anti Nyamuk pada Anak.
Lotion ini namanya Mosquito Repellent. Bisa dibeli di toko atau supermarket terdekat. Sediakan di rumah dan gunakan pada balita terkhusus pada sore hari.
7. Jaga Kebersihan Anak
Jangan biarkan anak bermain pada lingkungan kotor. Kalaupun sudah terlanjur, pastikan kebersihan anak melalui cuci tangan dan mandi.
8. Pastikan Asupan Bernutrisi Pada Anak
Jangan biarkan anak terkena dehidrasi. Selalu memberikannya air minum setiap beberapa saat. Lebih bagus lagi jika air hangat. Pastikan urinnya juga mengalir normal. Feses pun harus diperhatikan. Berikanlah anak makanan bergizi. Kurangi jajan dari makanan yang belum tentu sehat.
Ini adalah delapan hal yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit, khususnya GGA yang saat ini sedang ditakuti. Lakukanlah secara disiplin. Jangan mendengarkan disinformasi yang tersebar di medsos. GGA sudah menyerang lingkungan, sebaiknya melakukan langkah antisipasi daripada nantinya panik sendiri.
Selamat jalan Ananda, Semoga engkau terlahir di alam yang bahagia.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI