Beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk ke lini masaku. "Indrian Safka Fauzi telah mengikuti Anda. Ah, satu lagi korban dari Kompasiana. Akun diblokir. Begitu diri ini membatin.
Dugaan itu seiring dengan ingatanku bahwa Kompasianer Indrian sudah 4x terkena peringatan. Info itu aku dapat pada kolom komentar salah satu Kompasianer (tidak ingat lagi yang mana).
Tapi, ternyata diriku salah...
Dalam satu artikel terbaru dek Rian (demikian aku memanggilnya), menulis keterangan "akun saya masih eksis di Kompasiana."
Lha...
Aku pun lanjut membaca tulisan tersebut. Ternyata keputusan Rian membuat akun baru karena ia merasa terlalu banyak emosi negatif yang bertebaran di akunnya yang lama. Akun barunya sebagai bentuk transformasi diri.
Saya lalu merenung sembari mengunjungi akun lamanya. Sudah ada 422 tulisan dan 274 followers. Akun yang dibuat per 23 Februari 2022 itu juga sudah berpangkat "Penjelajah."
Saya rasa ini adalah sebuah keputusan yang tidak mudah. Entah, apa karena emosi sesaat atau dengan pertimbangan matang. Saya belum mendiskusikannya dengan Rian.
Tapi, mungkin tidak perlu lagi...
Thus, tulisan ini pun kubuat. Saya juga memulai jejak di Kompasiana dengan "sampah." Tentu saja itu berasal dari sebuah proses. Kemampuan nge-blog di Kompasiana tidak didapatkan begitu saja. Harus berani melakoni sebelum mencapai tahap kedewasaan.
Tulisan yang tidak bermutu, konten yang tidak berkualitas, bahkan disinformasi atas syarat dan ketentuan di Kompasiana. Akibatnya, beberapa pelanggaran berat dan ringan kini mengendap di statusku.
Jumlahnya sih saya tidak tahu pasti. Tapi, sudah dalam tahap membahayakan! Mau tahu kenapa? Karena akunku sudah tidak eligible lagi terdaftar sebagai peserta Infinite Kompasiana. Wkwkwkwk
Awalnya saya merasa jika ini tidak terlalu fair.
Sebabnya kebanyakan kesalahan tersebut kudapatkan pada masa awal-awal ngeblog. Terutama gambar yang tidak disensor (baca: tidak disertai sumber).
Perasaan ini seperti anak sekolahan yang melihat kawan-kawan kelas naik bis menuju tempat wisata. Lambaian tangan mereka memberiku kode keras. "Kamu tidak pantas, karena sebentar lagi kamu akan di-DO dari pentas Kompasiana)
"Ha? Dipecat?"
Iya, ini bukan mengada-ada atau mau mendramatisir kondisi. Dugaan saya, akun yang sudah mendapatkan minimal 4 peringatan itu bahaya. Bak tubuh yang sudah terkena stroke. Penyakit jantung akan mencabut nyawa sewaktu-waktu.
Alias diblokir...
Yup, pemblokiran di Kompasiana memang mengerikan. Cerita-cerita dari para pejuang yang gugur itu mendebarkan. Pak Tjiptadinata saja sampai ketar-ketir. Ada yang akunnya sudah satu dasawarsa, ada yang tulisannya sudah ribuan, bahkan ada yang pangkatnya sudah top level.
Tetap saja, "Akun Anda Diblokir Karena Telah Melanggar Syarat dan Ketentuan di Kompasiana."
Mungkin bagi Kompasianer, hal ini sudah lumrah. Tapi, bagaimana dengan pembaca lainnya. Tulisan "melanggar syarat dan ketentuan" itu luas.
Plagiat sudah pasti dosa besar. Lalu ada juga yang berbau SARA dan konten hoax. Jadi, jika suatu waktu akun ini diblokir, maka siap-siap saja menerima penjenamaan yang tidak pasti.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Mungkin saran saya kepada pengelola Kompasiana, jadikanlah tulisan pada pengumuman itu lebih soft. Mungkin cukup gambar gembok tanpa keterangan menakutkan. Biarlah mereka yang gugur masih bisa bernapas dalam kuburnya.
Jejak literasi itu sepanjang masa... Dan itu sangat mengerikan...
Dari sisi penulis, ya tentu saja saya harus berhati-hati. Syarat dan Ketentuan di Kompasiana itu adalah hak yang harus dipatuhi, apapun yang terjadi.
Hingga suatu saat nanti...
Bersiap-siaplah jika akun Anda benar-benar diblokir. Karena kalaupun tidak, Anda juga akan lebih dulu mati. Artinya, tidak ada yang abadi di dunia ini. Perubahan pasti terjadi.
Yang terjadi di Kompasiana
Saya mengenal beberapa akun yang pernah diblokir lalu bangkit kembali. Hormat saya setinggi-tingginya kepada Kompasianer EfWe. Akunnya kena suspend saat posisinya sudah ribuan artikel (kalau gak salah). Tapi, cobalah lihat kini. Sudah centang biru, bokkk... Cia You!
Lalu ada uda Merza Gamal. Satu dasawarsa terbuang begitu saja. Tapi, akhirnya kembali menulis dengan status "sering AU." Taglinenya: Tetap Semangat.
Tidak pula juga Kompasianer Sigit Eka Pribadi. Saya bahkan tidak tahu kalau akunnya pernah diblokir jika si Headliners ini tidak mengaku sendiri. Nah, apa lagi...
Setelah hampir 3 tahun menulis di Kompasiana (per 1 Desember nanti), sudah 1.243 tulisan kutelurkan, dengan 84.894 poin, viewersnya sudah 4.366.356 (per tulisan ini dibuat). Sebentar lagi sudah jadi Senior. Prakiraan saya tidak sampai enam bulan lagi, jika konsisten menulis.
Apa arti semua itu? Tidak ada. Bisa saja akunku kena blokir. Meskipun tidak mengharapkan, tetap harus juga kupersiapkan. Sehingga suatu waktu jika benar-benar terjadi, tulisan ini sudah tercatat. Laksana membeli tanah kuburan, niscaya kematian itu tidak lagi mengerikan.
Apa yang saya senangi di Kompasiana?
Pertemanan tentunya. Blogwalking kesana kemari itu asyik lho. Bagaikan hidup di kompleks perumahan dan tetangganya tidak toksik.
Saya banyak belajar dari komunitas yang kuikuti. Ada KPB sebagai tempat pertamaku berlabuh (dan bukan yang terakhir). Ada juga Eskabers, Inspirasiana, dan yang rada kangenan, K-Ngawur.
Terakhir saya, Dr. Toni Yoyo, Koh Fendy, dan Bu Muljawati membentuk komunitas Mettasik. Tujuannya untuk mengajak sahabat seiman menyebarkan kebajikan dalam bentuk literasi. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Hasilnya lumayan, paling tidak sudah ada dua Kompasianer yang jadi centang biru dalam waktu yang relatif singkat. Kalau mau tahu, mereka adalah Prajna Dewi dan Wiili Andy.
Ini belum termasuk belasan lainnya yang sudah mulai membuka akun sendiri di Kompasiana.
Apa yang saya pelajari?
Rasa puas bahwa keyakinanku benar. Melalui literasi kita dapat membawa perubahan. Bukan saja kepada orang-orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri. Tulisan-tulisan yang berseliweran membawa manfaat. Semunya terwakili dengan pilihan vote pada laman paling bawah.
Rasa puas bahwa diri sudah sampai hari ini. Menjadi bagian dari Kompasiana yang bukan kaleng-kaleng. Dikenal bukan karena status diri, tapi karena karya literasi. Setidaknya tidak ada perbedaan di antara, saya, kamu, kamu, dan dia.
Nah, mumpung ada event KJOG tentang pengalaman asyik selama menjadi Kompasianer. Mengapa tidak ada perimbangan, bagaimana jika kita tidak melupakan juga yang tidak menarik selama ngeblog?
Ah, ini bukan provokasi ya. Tapi, hanya pernyataan biasa agar kita senantiasa sadar diri, tidak semuanya sempurna adanya. Tapi, justru itu bisa menjadi "kisah manis menjadi Kompasianer" lho. Â Â
Akhir kata Selamat Ulang Tahun Kompasiana. Semoga terus berjaya dan menjadi ruang berekspresi bagi para pencinta literasi di Indonesia.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H