Lazarus adalah karyawanku yang sudah bekerja selama lebih dari dua dekade. Tugasnya serabutan, dari tukang kebun, supir, hingga menghabiskan makanan di lemari. Mungkin karena itu, ia bisa disebut sebagai entrepreneur.
Lha, kok bisa?
Sebabnya begini sobat. Beberapa saat yang lalu saya pernah memelihara sepasang ayam kate. Namun, karena merasa kurang mampu mengurusinya, saya pun menghibahkan ayam-ayam manis tersebut kepada Lazarus.
Beberapa bulan setelahnya, saya mendengar kabar jika Lazarus menjual ayam-ayam katenya. "Lha, kalau gak mau pelihara kenapa dijual?" tanyaku sedikit mencekam.
"Tidak, Koh. Itu anak-anaknya," jelasnya.
Barulah kusadari, ternyata Lazarus berternak ayam kate. Ketika saya bertanya lebih dalam lagi, hasil penjualan ayam-ayam katenya lumayan. Minimal bisa melebihi gaji bulanannya.
Jadi, jelas. Lazarus adalah seorang entrepreneur
Dalam bahasa Indonesia, entrepreneur adalah wirausaha. Lazarus memang bukan pengusaha, tetapi ia telah memiliki beberapa persyaratan yang dapat dikategorikan sebagai seorang wirausaha, yakni:
- Menciptakan bisnis baru.
- Menanggung resiko dalam berproses.
- Memecahkan masalah hambatan dalam berproses.
- Menikmati sebagian besar keuntungannya.
Lazarus hanya salah satu contoh entrepreneur di sekitarku. Daeng Bahar adalah yang kedua. Sebagai keturunan Raja-raja Gowa, supir pribadiku ini mewarisi berbagai ilmu kuno, termasuk pengobatan.
Andalannya adalah Kopi yang dicampur dengan air rebusan dari sejenis akar pohon. Fungsinya untuk vitalitas (demikian asumsiku). Rasanya pekat-pekat manis, enak di lidah. Saya menjadi salah satu penikmatnya. Setiap pagi, tiada hari tanpa kopi yang saya namakan Kobar (Kopi Bahar).
Hingga suatu hari, entah setan mana yang merasukinya, saya melihat Daeng Bahar bercuap-cuap di Facebook. "Kopi Kobar, cocok untuk mengembalikan stamina tubuh... [...]."