Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pakto 88, Sisi Kelam di Masa Keemasan Perbankan Indonesia

9 Oktober 2022   04:17 Diperbarui: 9 Oktober 2022   05:12 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bank (shutterstock.com)

Seorang sahabat, ia adalah pengusaha sukses Indonesia. Di usianya yang ke-83 ia tampak masih segar, bugar, dan semangatnya masih cetar.

Dalam setiap pertemuan, ia selalu menceritakan kisah suksesnya. Bergerak di berbagai bidang industri, si kawan itu mengaku jika bisnisnya dimulai dari nol.

"Kunci suksesku adalah modal kepercayaan," begitu imbuhnya.

Si kawan mengaku, modal pertamanya ia dapatkan dari sebuah bank swasta. Kala itu ia tidak memiliki apa-apa, termasuk harta yang bisa dijadikan agunan. Untungnya, salah seorang sahabat baiknya mengenal bos pemilik bank.

Syahdan ia pun datang menghadap. Si bos tertarik dengan proporsal bisnisnya, mengimpor sejumlah produk yang kala itu masih jarang dilirik. Modal pun diberikan tanpa agunan, hanya selembar giro yang dijadikan sebagai jaminan. Lengkap dengan jumlah dan tanggalnya.

"Lha, kok si bos mau?" Aku bertanya, teriring di benakku berbagi aturan perbankan dan OJK yang seharusnya membatasi.

"Kan ada teman yang jamin," jawabnya enteng.

Melihat keraguan di wajahku, si sahabat buru-buru memberi penjelasan, "kala itu kredit bank masih murah, pengusaha pun masih jujur, ekonomi berkembang pesat... [...]"

"Tahun berapa itu, Pak?" Tanyaku penasaran.

"Sekitar awal 80an," sambutnya.

Sebelum melakukan riset untuk tulisan ini, memori saya membawaku ke masa lalu. Di zaman Orde Baru, Soeharto telah berhasil mengubah wajah perekonomian Indonesia melalui investasi dan pembangunan di segala lini. Ia memberikan kemudahan kepada seluruh investor, baik dari dalam maupun luar negeri.

Manis-manisnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tingginya harga minyak dunia pada era 70-80an. Namun meskipun pemerintah Indonesia sudah surplus, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Soeharto masih belum maksimal.

Dalam kenyataanya, tim ekonomi era Order Baru masih belum kehabisan akal. Indonesia sedang menikmati masa keemasan. Lirik lagu kolam susu dari Koes Ploes pun seolah-olah menjadi jargon pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu, "ikan menghampirimu, tongkat dan kayu jadi tanaman."

Alhasil, segala lini industri dan perdagangan pun digenjot. Soeharto lalu mencanangkan pertumbuha ekonomi melalui sektor non migas. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah pun menelurkan paket stimulus ekonomi. Menderegulasi aturan jelimet di bidang finansial dan perbankan.

Pakjun 83 pun lahir

Istilahnya keren, berasal dari singkatan - Paket Kebijakan Juni 1983. Pakjun 83 menandai awal "keberkahan" dari ambisi Soeharto. Penyaluran kredit perbankan dimudahkan. Pagu suku bunga ditiadakan, batasan kredit dihilangkan.

Dalam ingatan saya, suku bunga pada awal 90an masih berkisar pada rate 16-20% per tahun. Tidak masalah, sebabnya ekonomi Indonesia memang sedang manis-manisnya.

Kebijakan ini tidak disosialisasi, tersebab dikeluarkan dalam situasi mendesak. Meskipun pihak perbankan tidak diajak berdiskusi, Soeharto penuh percaya diri. Nyatanya memang demikian. Bisnis perbankan berkembang pesat, otoritas berada penuh di bawah kekuasan pemilik bank. Sebagaimana situasi yang digambarkan oleh kawan saya tersebut.

Sayangnya Soeharto belum puas...

Mungkin karena tidak ada sosialisasi, kinerja perbankan tidak membukukan harapan dari Soeharto. Meskipun angka penyaluran kredit perbankan naik sebesar 40% pada tahun buku 1982/1983 dengan total 11,27 trilun, Soeharto tetap tidak puas.

Beberapa paket stimulus ekonomi pun digelontorkan lagi. Puncak yang paling fenomenal akhirnya ditelurkan pada 27 Oktober 1988.

Paket Kebikajan ini dinamakan Pakto 88

Jika Pakjun menghilangkan seluruh kesulitan dalam penyaluran kredit, Pakto 88 lebih "kejam" lagi -- membabat habis kesulitan untuk mendirikan bank.

Paket Kebijakan ini bak angin segar dan sekaligus menjadi tonggak perubahan industri perbankan nasional. Siapapun bisa mendirikan bank, sepanjang memiliki modal yang cukup. Persyaratan lainnya bisa diatur! Demikian yang terjadi kala itu.

Modal yang cukup itu adalah 10 miliar untuk kategori bank umum. Sementara untuk kategori Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya 50 juta rupiah saja. Sebagai perbandingan, kurs dollar AS pada 1988 adalah Rp1.686 per 1 dollar AS.

Artinya dengan asumsi 1 dollar AS = Rp.15.000 per saat ini, modal minimal yang disyaratkan hanya kurang lebih 89 miliar rupiah saja.

Bandingkan dengan syarat dalam Peraturan OJK saat ini. Nomor 12/POJK. 03/2021 tentang Bank Umum. Dalam Peraturan tersebut, pendirian Bank Berbadan Hukum Indonesia harus memiliki syarat modal minimum 10 triliun rupiah.

Pertumbuhan Bank

Tidak heran jika bank bertumbuh bak jamur di musim hujan. Sebagai perbandingan dari catatan Bank Indonesia:

Ada 66 Bank Swasta yang tercatat pada 1988. Setahun kemudian, jumlah ini meningkat menjadi 91. Empat tahun kemudian (1992) menjadi 144. Dan tiga tahun berikutnya lagi menjadi 165.

Hal yang sama juga untuk Bank Umum. Dari 111 pada tahun 1988, setahun kemudian menjadi 136. Lalu pada 1992 menjadi 208 unit dan akhirnya 240 di tahun 1995.

Sementara pergerakan untuk bank campuran (joint venture), dari 11 di tahun 1988, menjadi 30 (1992) dan 41 (1995).

Ini belum termasuk kategori BPR yang menjadi sektor paling bergairah. Dari 27 unit BPD di 1988 pada tingkat provinsi, menjadi 9.196 unit BPR pada akhir tahun fiskal 1995 yang berada hingga ke tingkat kecamatan. Secara umum, puncak kejayaan bank mencatat rekor baru. Total 234 bank di seluruh Indonesia (tidak termasuk BPD dan BPR) dengan total cabang mencapai 1.525 unit

Mujizat Pakto 88

Apa dampak ekonomi dari paket kebijakan ini? Target pertumbuhan ekonomi tercapai, Soeharto senyum-senyum sendiri.

Dari catatan Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 5,8%, 7,5%, 7,1%, selama tiga tahun berturut-turut (1988-1991). Puncaknya berada pada tahun 1995 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 8,3%.

Berkah di Sektor Swasta

Bank Swasta juga mendapat berkah. Bukan hanya dari pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit, tetapi juga Banknya sendiri.

Pada zaman itu, tidak ada konglomerat yang tidak memiliki bank. Sebutkanlah keluarga Riady (Lippo), keluarga Soeryadjaja (Summa). Juga ada Bank Dagang Negara Indonesia milik Syamsul Nursalim (bos Gajah Tunggal). Lalu Aburizal Bakrie dengan Bank Nusa Nasional.

Tidak ketinggalan Keluarga Cendana. Bambang Tri dengan Bank Andromeda, Mba Tutut punya Bank Yama, dan Tommy Soeharto hadir sebagai pemilik Bank Pesona Utama.

Dampak Pakto 88

Hingga sekarang masih sering terjadi perdebatan terhadap paket kebijakan ini. Yang kontra tentunya menuduh Pakto 88 sebagai penyebab runtuhnya ekonomi Indonesia, 10 tahun kemudian.

Namun, yang pro juga tidak mau ketinggalan kereta. Mereka berargumen, tanpa pakto 88 perbankan Indonesia tidak akan masuk ke tahap modern. Pun Indonesia juga tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang fantastis yang mewariskan pembangunan di zaman Soeharto.

Terkait kontrol yang terlihat kurang matang dan analisis risiko yang terkesan memble, perlu diketahui bahwa Indonesia sedang dalam tahap belajar. Lagipula, krisis ekonomi melanda banyak negara di Asia Tenggara, sehingga perbankan bukan satu-satunya penyebab.

Akal Bulus Pakto 88

Seoharto adalah seorang Presiden. Tentu saja kita harus melihat bahwa kebijakan yang ia ambil adalah untuk kepentingan negara. Namun, sayangnya di zaman Orde Baru kekuasaan sangat rentan dimanfaatkan oleh segelintir oknum.

Membuka bank sama seperti membuka toko. Kira-kira begitu kondisi yang terjadi. Sejatinya bank memiliki misi mulia. Meningkatkan derajat ekonomi rakyat. Akan tetapi alih-alih menjaga kepercayaan pelanggan, pemilik bank dadakan buru-buru memperkaya diri sendiri dengan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya.

Karena ketatnya persaingan, pemberian kredit dilakukan secara ugal-ugalan. Analisis risiko yang seharusnya menjadi garda terdepan sudah tidak dipedulikan lagi. UMKM sebagai penggerak ekonomi justru tidak menikmati buah yang segar.

Ulah Para Konglomerat Kotor

Para konglomerat pemilik bank, ramai-ramai memberikan pendanaan untuk grup sendiri. Untuk "mengelabui" aturan pemerintah, dilakukanlah teknik insider lending. Alias pemberian kredit untuk kelompok usaha sendiri.

Para pemilik bank hanya mengejar cuan saja. Praktik pembiayaan dengan bunga tinggi marak terjadi. Lalu, karena tidak adanya batasan pengalokasian kredit, pasar semakin menjadi tidak sempurna. 

Kredit Macet Bertumpuk

Sebagai catatan pada era 90an, penanganan kredit macet tidak dilakukan berdasarkan aturan pemerintah. Bank yang tidak mau rugi cenderung menggunakan cara kekerasan untuk menagih kredit macet. Terkadang aparat hingga mafia juga dilibatkan. Tahun 1995 menjadi era puncak kredit macet. Rasio yang terjadi sudah mendekati angka 5% dari batasan 2% yang tergolong "wajar."

Penyebab utamanya karena ambisi para konglomerat yang tidak bisa dipadamkan. Alih-alih pengucuran kredit diberikan kepada proyek yang memberikan dampak ekonomi strategis, alokasi dana dilakukan untuk proyek prestisius yang tidak menghasilkan. Lapangan golf yang terbengkalai, gedung perkantoran yang kosong, higga perumahan mewah yang mubazir.

Lebih parahnya lagi, untuk mendapatkan modal menjalankan bisnis perbankan, para pemodal memanfaatkan pinjaman valuta asing. Bunganya rendah, hanya sekitar 2-3% saja. Tapi, tidak diiringi dengan pengamanan lindung nilai (hedging). Sehingga pada saat tsunami ekonomi melibas pada 1998, fundamental bisnis bank yang bobrok pun semakin memperparah krisis.

Pelajaran Dari Masa Lalu

Krisis Ekonomi 98 menjadi puncak dari segala warisan buruk di masa lalu. Kita patut bersyukur, saat ini sistem perbankan kita sudah jauh lebih baik. Dengan berbagai regulasi yang ketat, sebagian dari pengusaha mungkin tidak akan lagi merasakan keleluasan yang sama denga para pendahulunya.

Kendati demikian, azas kehati-hatian tetap merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Perbankan nasional adalah garda terdepan dalam menjaga stabilitas moneter negara.

Apa yang bisa dilakukan oleh seorang warga negara yang baik?

Tetap memberikan kepercayaan kepada sistem perbankan nasional. Sehingga jika ada yang pernah mengatakan, "jangan percaya bank di Indonesia" maka abaikan saja. Menurut saya sih, itu tiada bedanya dengan tidak mempercayai NKRI.

Semoga Bermanfaat

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun