Sebagai catatan pada era 90an, penanganan kredit macet tidak dilakukan berdasarkan aturan pemerintah. Bank yang tidak mau rugi cenderung menggunakan cara kekerasan untuk menagih kredit macet. Terkadang aparat hingga mafia juga dilibatkan. Tahun 1995 menjadi era puncak kredit macet. Rasio yang terjadi sudah mendekati angka 5% dari batasan 2% yang tergolong "wajar."
Penyebab utamanya karena ambisi para konglomerat yang tidak bisa dipadamkan. Alih-alih pengucuran kredit diberikan kepada proyek yang memberikan dampak ekonomi strategis, alokasi dana dilakukan untuk proyek prestisius yang tidak menghasilkan. Lapangan golf yang terbengkalai, gedung perkantoran yang kosong, higga perumahan mewah yang mubazir.
Lebih parahnya lagi, untuk mendapatkan modal menjalankan bisnis perbankan, para pemodal memanfaatkan pinjaman valuta asing. Bunganya rendah, hanya sekitar 2-3% saja. Tapi, tidak diiringi dengan pengamanan lindung nilai (hedging). Sehingga pada saat tsunami ekonomi melibas pada 1998, fundamental bisnis bank yang bobrok pun semakin memperparah krisis.
Pelajaran Dari Masa Lalu
Krisis Ekonomi 98 menjadi puncak dari segala warisan buruk di masa lalu. Kita patut bersyukur, saat ini sistem perbankan kita sudah jauh lebih baik. Dengan berbagai regulasi yang ketat, sebagian dari pengusaha mungkin tidak akan lagi merasakan keleluasan yang sama denga para pendahulunya.
Kendati demikian, azas kehati-hatian tetap merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Perbankan nasional adalah garda terdepan dalam menjaga stabilitas moneter negara.
Apa yang bisa dilakukan oleh seorang warga negara yang baik?
Tetap memberikan kepercayaan kepada sistem perbankan nasional. Sehingga jika ada yang pernah mengatakan, "jangan percaya bank di Indonesia" maka abaikan saja. Menurut saya sih, itu tiada bedanya dengan tidak mempercayai NKRI.
Semoga Bermanfaat
**
**
Acek Rudy for Kompasiana