Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Para Pesohor yang Kaya Raya dari Menangis

8 September 2022   06:51 Diperbarui: 8 September 2022   06:59 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Mereka yang Kaya Raya dari Menangis (asiaone.com)

Liu Chun-lin tinggal di Taiwan. Dulunya ia adalah seorang anak yatim piatu yang harus bekerja apa saja untuk melunasi utang yang diwariskan oleh orangtuanya.

Tidak heran jika hidup Liu selalu diliputi kesedihan. Ia bisa menangis meraung-raung setiap saat dibutuhkan. Dan banyak orang yang menyukainya.

Ada pula seorang yang bernama Mao di China. Dulunya ia adalah seorang karyawan yang dipecat dari perusahaan. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bekerja. Dalam 10 tahun terakhir, kerjanya hanya menangis. Tangisannya menggugah, bahkan bisa sampai berteriak histeris.

Akan tetapi, dari tangisannya mereka bisa menjadi pesohor. Liu tidak saja bisa melunasi utang orangtuanya, kini ia bisa hidup mewah. Mao di China sendiri bisa menjalani hidupnya layaknya sosialita.

Liu dan Mao menjalani sebuah pekerjaan yang unik tapi mentereng. Mereka adalah pelayat professional yang dibayar hingga jutaan rupiah untuk sekali berkunjung.

Begitu pentingkah menangis dalam prosesi kematian? Paling tidak kisah Mao dan Liu sudah membuktikannya. Mereka tidak akan dibayar mahal untuk menangis.

Sejatinya, pelayat professional sudah dikenal di China sejak zaman Dinasti Han. (206-220 SM). Upacara pemakaman bisa menjadi sebuah tontonan politik. Anggota keluarga yang tidak menangis akan digunjing oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan tidak sedikit yang kehilangan nyawa, seandainya yang meninggal adalah seseorang yang memiliki posisi yang tinggi di masyarakat.

Meskipun tradisi ini pernah dilarang di zaman Revolusi Kebudayaan, akhir-akhir ini profesi tersebut kembali diminati. Sepertinya bagi orang China, tidak afdol rasanya jika tidak menangis di pemakaman.

Di Kongo, Afrika kisahnya beda lagi. Konon jika sanak keluarga tidak menangis saat prosesi pemakaman, maka arwah mendiang akan menjadi hantu penasaran dan datang menghantui keluarganya.

Tidak heran jika Gilbert Kubali menjadi kaya dengan mengumpulkan bakat-bakat penangis professional di sana. Di Goma, kota kelahirannya Kubali mendirikan perusahaan jasa makelar (EO) penyedia pelayat professional.

Tidak susah baginya, banyak permintaan, banyak pula pasokan. Goma yang terletak di bagian timur Kongo, Afrika adalah kota yang memiliki banyak penduduk miskin.

Mungkin karena terlalu banyak penderitaan di sana, sehingga Kubali tidak terlalu susah mendapatkan talenta yang terbiasa menangis. Bagi warga Goma, pendapatan US$2 (30.000 rupiah) per hari saja sudah cukup untuk membiayai hidup mereka.

Dengan bisnis yang digeluti Kubali, para pelayat professional bisa dibayar hingga US$ 150 selama seminggu. Tidak heran jika Kubali menjadi terkenal. Penduduk Goma berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan darinya.

Di Ghana sendiri, upacara pemakaman adalah hal yang sakral. Bahkan jauh lebih penting daripada acara pernikahan. Orang-orang berduit bisa menghabiskan anggaran sekitar US$15.000 -- 20.000 untuk seluruh prosesi upacara pemakaman yang bisa berlangsung berhari-hari.

Kubali tidak pernah kekurangan order. Hampir tiap hari ada saja permintaan. Di Kinshasa, ibu kota Kongo bahkan lebih banyak lagi. Dilansir dari CNN, sebuah EO di sana bisa menangani 30 upacara pemakaman dalam sehari.

Sementara bangsa Yunani sudah lama menganggap jika menangis pada prosesi pemakaman adalah hal yang penting. Semakin keras tangisan sanak saudara, semakin mulus jalan mendiang ke surga.

Di sana pelayat professional memiliki gelarnya tersendiri. Mereka disebut dengan Moirolog yang berasal dari kata Moiro (takdir) dan logos (pidato). Profesi ini biasanya ditekuni oleh para wanita.

Tugas utama mereka adalah menyanyikan tembang duka. Lagu yang mereka bawakan berisikan kisah perjalanan almarhum yang dikemas dalam bentuk teaterikal. Isinya menyentuh hati dan harus membuat para pelayat menangis meraung-raung.

Para Moirolog juga wajib menemani anggota keluarga yang dirudung kesedihan. Atau lebih tepatnya mengajar para anggota keluarga untuk menangis.

Mereka juga dibayar untuk mengarahkan anggota keluarga dalam ritual tradisi Yunani yang rumit. Tujuannya agar sanak keluarga yang meninggal dapat dengan cepat mencapai surga.

Jangan kira hanya negara dengan tradisi kuno yang kuat yang membutuhkan jasa pelayat professional. Terilhami dari jasa pelayat professional di China, seorang pria dari Inggris mendirikan bisnis yang ia beri nama "Rent a Mourner."

Ian Robertson menyediakan jasa pelayat professional dengan patokan harga 45 poundsterling per jam. Bisnisnya laris manis, Ian berkata jika dalam waktu setahun ia bisa menerima 52 pesanan. Artinya setiap minggu ada saja yang membutuhkan jasa perusahaannya.

Jumlah tersebut terus meningkat pada tahun kedua. Ian bahkan harus menolak sekitar 60an pesanan gegara terkendala jarak. Pesanan tidak saja datang dari tempat tinggalnya, tapi dari seantero Inggris Raya.

Di Amerika Serikat, sebuah rumah pemakaman yang berlokasi di Fort Worth, Texas menambah daftar produknya berupa penyewaan pelayat professional. Tugas mereka menangis dan memancing kesedihan. Bayarannya juga tidak murah. Konon dipatok beberapa puluh hingga ratusan dollar AS per satu kali acara.

Dengan demikian, apakah menangis pada acara pemakaman benar-benar penting? Jika iya, tujuannya untuk apa.

Marilyn Mendoza yang menulis buku "We Do Not Die Alone (2008)" mengatakan jika pekerjaan pelayat professional sudah ada sejak era Romawi Kuno. Pada masa itu tugas mereka lebih berat lagi. Bukan hanya menangis sejadi-jadinya, tapi juga melukai dirinya sendiri. Seperti merobek baju hingga mencakar muka sendiri.

Semakin banyak pelayat professional yang datang, semakin terpandang status keluarga. Setelah 2000 tahun berlalu, sepertinya tujuan menyewa pelayat professional juga tidak berubah.

Menangis mewakili simbol status keluarga. Ternyata manusia yang sudah mati pun masih peduli pada gengsi dan melekat pada ketenaran. Benar gak ya?

**

Acek Rudy for Kompasiana

Referensi: 1 2 3 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun