Menjadi pengusaha itu tidak mudah. Sebelum mendapatkan laba bersih, masih banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk memodali jalannya usaha.
Secara sederhana laba kotor didapatkan dari perbedaan antara harga beli dan jual. Sementara laba bersih adalah laba kotor dikurangi dengan seluruh pengeluaran yang berhubungan dengan bisnis.
Pengusaha bisa memperhitungkan keuntungan bersih yang diharapkan. Ada tiga faktor yang bisa dipersiapkan, yaitu: 1) omzet penjualan 2) harga jual untuk menentukan laba kotor, dan 3) biaya yang harus diantisipasi.
Jika salah satu dari ketiga faktor ini tidak sesuai dengan hasil rekaan, maka keuntungan bersih akan berkurang. Bahkan salah-salah bisa menjerumus kepada kerugian.
Dari ketiga faktor ini, penentuan harga jual adalah yang paling mudah. Biasanya sudah ada harga standar yang ditetapkan oleh produsen. Kendati demikian, penentuan harga jual tetap berada di tangan pengusaha.
Tentunya tidak bisa serampangan juga. Pengusaha harus memperhitungkan harga pesaing di toko sebelah, harga barang substitusi, dan juga kemampuan pelanggan.
Lalu kita beralih kepada omzet. Saya selalu memiliki prinsip bahwa omzet ada di tangan Tuhan. Artinya kita bisa saja mengharapkan sekian rupiah, tetapi ada beberapa faktor tak terduga yang bisa saja terjadi. Seperti kondisi ekonomi yang lesu atau cuaca yang tidak menentu.
Itulah mengapa diperlukan banyak upaya agar sebuah toko ramai pembeli. Para ahli telah menentukan strategi Bauran Pemasaran (Marketing Mix) yang terdiri dari; Produk yang dijual, Harga, Tempat (Lokasi), dan Promosi. Dan tidak lupa juga unsur customer service.
Sekarang kita membahas biaya. Bagi saya, inilah unsur yang paling mudah sekaligus susah. Sebabnya kita memiliki seluruh kuasa untuk mengontrol biaya yang akan dikeluarkan, namun selalu saja ada "setan" yang mengurasnya.
Pada kesempatan lalu saya sudah membahas tentang retail shrinkage. Alias kehilangan barang (yang sekaligus modal kerja) sebelum sempat dijual.Â
Secara singkat saya jelaskan kembali. Retail Shrinkage terdiri dari pencurian di dalam toko, kesalahan administratif, ketidakjujuran supplier, dan ketidakjujuran karyawan. Semuanya bisa menjadi momok yang menyebabkan perusahaan merugi.
Baca juga:Â Mengurangi Resiko Retail Shrinkage bagi UMKM
Namun, ada satu hal lagi yang tidak kalah berbahaya. Istilah londonya adalah Bad Debt. Selama puluhan tahun menjadi pengusaha, kondisi piutang tidak tertagih ini telah menjadi momok. Jumlahnya terkadang bisa lebih besar dari faktor Retail Shrinkage.
Menagih utang sudah menjadi rutinitas harian pengusaha. Tidak peduli perusahaan besar atau warung kecil. Dan kondisi ini tidak saja membuat rugi perusahaan, tapi juga mencederai hati nurani.
Kenapa?
Banyak hal yang membuat sebuah piutang tidak tertagih. Bak sebuah novel fiksi, tragedi, pengkhianatan, dan persahabatan bercampur menjadi satu.
Tersebab tidak semua pelanggan yang tidak membayar sengaja melakukannya. Menjalankan usaha itu beresiko tinggi. Saya berikan salah satu contoh;
Seorang pelanggan memiliki usaha pabrik roti di Sulawesi Tengah. Dia adalah salah satu pelanggan terbaik, omzetnya besar dan selalu bayar tunai. Hingga suatu hari ia mendatangiku, meminta keringanan pembayaran. Melihat rekam jejaknya, saya mengizinkan. Agar si pelanggan ini memiliki kemampuan lebih untuk membesarkan usahanya.
Malang tidak dapat ditolak, seminggu setelahnya gempa bumi dan tsunami Palu menerjang. Si pengusaha roti kena imbas. Meskipun dirinya selamat, harta dan usahanya lenyap tak berbekas. Alhasil hingga kini ia tidak mampu membayar utangnya kepadaku.
Kendati demikian, tidak sedikit juga yang memiliki kebiasaan berpura-pura bodoh. Saya memberikan contoh lainnya.
Seorang pelanggan mulai menjajaki produk yang saya jual. Setelah tiga kali berbelanja dengan jumlah yang lumayan banyak, ia pun meminta keringanan pembayaran.
Sekali dua kali masih bagus. Kali ketiga ia mulai menunda-nunda. Dari puluhan juta, ia hanya menyicil 500 ribu per bulan. Ketika saya mendatangi tokonya yang kelihatannya masih ramai, ia menangis tersedu-sedu. Katanya sih, banyak pelanggannya yang tidak membayar. Aku pun pulang dengan hati yang tidak kalah sendu.
Beberapa minggu kemudian saya mendengar kabar. Ternyata si pelanggan sudah memiliki rekam jejak yang kurang bagus. Bisnisnya memang besar, followersnya di medsos saja mencapai 10K. Wow!
Dulunya dia mengambil barang langsung dari supplier, tidak melalui toko grosir milikku. Tapi, lama kelamaan dia mulai mencederai kepercayaan. Tidak lagi membayar utang. Alhasil saya merasa seperti orang tolol, menjadi sasaran "kejahatan" dari kebiasaannya.
Nah, cukuplah berkeluh kesah. Saya akan menuangkan beberapa ide yang sudah saya terapkan di toko. Siapa tahu saja kamu, kamu, dan kamu bisa merasakan manfaat darinya.
Mengenali Pelanggan
Pelanggan yang datang di toko memang harus dikenal. Itu adalah bagian dari customer service, agar mereka betah berbelanja lagi. Bagi yang sudah akrab, biasanya keringanan pembayaran akan diminta.
Jika memang sudah seperti itu, resiko mulai muncul. Seyogyanya tidak langsung diberikan. Cari tahu dulu siapakah mereka, sedetail-detailnya laksana ia adalah calon menantumu.
Memang teorinya sih mudah, tetapi pelaksanaannya terkadang sulit. Jadi, cara yang terbaik adalah mencari informasi sebanyak yang kita mampu. Bisa meminta pertimbangan karyawan, informasi pelanggan lainnya, atau juga seseorang yang mengenalnya.
Intinya adalah jangan langsung percaya. Jika ia mendesak, segera salahkan istri atau suamimu. "Maaf, saya harus nanya beib saya dulu ya, soalnya dia orangnya galak."Â Gitu kira-kira.
Jangan tergiur dengan janji surga
Salah satu yang hal menyebabkan kita bermurah hati adalah takut kehilangan pelanggan. Sejujurnya ini adalah sebuah pertaruhan besar. Jika pelanggan tersebut memang bagus maka bisa saja dia kecewa dan tidak lagi berbelanja.
Tapi, bagaimana jika ternyata si pelanggan memang tidak mampu atau tidak mau membayar utang? Kerugian tersebut akan kita tanggung hingga ke tulang rusuk.
Disiplinkan diri
Terhadap pelanggan yang sudah lolos seleksi, kita juga tidak bisa lengah. Secara berkala, kita harus mengontrol sendiri kondisi piutang perusahaan. Siapa pelanggan yang sudah membayar dan yang belum.
Sebuah sistem harus diproteksi. Ada tiga cara yakni;
Membatasi jumlah bon
Berikanlah keringanan pembayaran berdasarkan jumlah bon. Jika ia belum membayar bon lama, jangan berikan utang baru.
Membatasi total utang
Bisa juga dibatasi jumlah utangnya. Sejuta sampai dua juta misalkan. Selama batas kreditnya belum mencapai plafon maka ia bebas berbelanja dengan utang. Jika sudah melebihi, segeralah minta dia untuk menurunkan plafon kredit dengan membayar utang lama.
Membatasi waktu
Kredit harus ditentukan. Apakah seminggu, dua minggu, atau sebulan. Si pelanggan bebas berbelanja dengan sistem "pay later." Tapi, jika waktu sudah melebihi, maka kesempatannya sudah habis hingga ia melunasi utang yang lama.
Ketiga hal ini bisa saja dikombinasikan, antara total utang dan batas waktu misalkan. Jadi, pelanggan akan memiliki dua indikator. Total kredit yang bisa ia gunakan dan jangka waktu pembayaran. Jika salah satu indikator mencapai batas, maka ia wajib melunasi utang lama atau membayar tunai belanjaannya.
Kebijakan ada di tangan setiap pengusaha. Pelanggan itu kompleks, karena memang mereka adalah manusia dengan berbagai macam sikap dan pemikiran yang berbeda.
Dengan demikian, cara yang terbaik untuk menghadapi kondisi bad debt adalah menggunakan manajemen manusia. Prinsip dasarnya adalah mendapatkan keseimbangan di antara hubungan.
Jika ada pelanggan yang tidak membayar, bercerminlah. Jadikan itu sebagai sebuah pelajaran agar kasus yang sama tidak terulang lagi. Tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan.
Selanjutnya, adalah tetap membina hubungan yang baik dengan pelanggan, seburuk apapun mereka. Banyak kondisi yang membuat seorang pelanggan tidak mampu atau tidak mau bayar.
Andaikan ia terkena musibah, bersikaplah empati. Jika mereka bangkit kembali, niscaya kebaikan hatimu akan dibalas. Insya Allah utang pun akan dibayar duluan.
Akan tetapi jika mereka memang nakal, tetaplah bersyukur karena Anda sudah mendeteksinya lebih awal tanpa menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Jangan lupa juga bahwa manusia memang tidak sesederhana penampilannya. Terkadang ada juga pelanggan yang sengaja tidak mau membayar karena sikap pemilik toko kepadanya. Baru terlambat sehari, sudah bawa golok kesana kemari. Ya, begitulah prahara hidup.
Yang terpenting adalah sikap diri kita sendiri. Jika tidak mau para pelanggan tidak membayar utang, maka seyogyanya kita pun tidak mencedarai kepercayaan. Bayarlah utang tepat waktu.
**
Acek Rudy for Kompasian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H