Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pria dan Wanita Tidak Akur, Belajarlah dari Masyarakat Hua

3 September 2022   13:52 Diperbarui: 3 September 2022   13:56 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang sahabat, namanya Conny (bukan nama asli). Di tengah bincang-bincang sore bersama, ia menceritakan kisah hidupnya kepada beberapa orang teman karib.

Conny mengaku jika ekonomi keluarganya tidak terlalu baik, terdampak oleh pandemi. Suaminya yang bekerja paruh waktu sebagai agen properti tidak lagi sama seperti yang dulu.

Menurutnya, suaminya kurang lincah dan tidak paham apa yang harus dikerjakan dulu. Jadi, si Conny mengambil alih. Ia mengatur semua kerjaan suaminya. Bahkan menyuruh suaminya untuk tidak membantu calon pelanggan yang tidak berpotensi.

"Tidak perlu buang-buang waktu," imbuhnya.

Alex adalah teman saya yang lain. Ia ada di sana pada saat si Conny sedang nyerocos. Alex yang dikenal sebagai penganut paham patriarki tulen mengatakan jika si Conny adalah toxic bagi suaminya.

Tentu saja pernyataan Alex dibantah oleh Jenny yang juga berada di sana. Menurutnya zaman sudah berubah, saatnya wanita bersuara. Apa yang dilakukan oleh Conny adalah cia-you baginya. Mewakili suara perempuan yang selama ini tertekan.

Nah, kisah singkat ini (jika bisa) melambangkan bagaimana seringnya konflik terhadap peran gender di masyarakat terjadi.

Peran gender memang sudah menjadi perdebatan sejak zaman bahulea. Atas nama patriarki, wanita harus tunduk kepada lelaki. Tapi gerakan emansipasi membuat para wanita menjadi lebih "jantan" dan berpengaruh di masyarakat.

Sebelum saya melangkah lebih jauh membahas perdebatan yang tiada habisnya ini, ada baiknya melihat bagaimana masyarakat Hua Papua Nugini mengartikan gender dan peranannya.

Masyarakat Hua sudah mengenal adanya energi kehidupan yang disebut dengan nu. Energi nu bermanifestasi dalam berbagai bentuk kehidupan, seperti nafas, keringat, darah, sekresi, dan lain sebagainya.

Menurut keyakinan mereka, sumber energi nu adalah alam, tapi secara lahiriah, setiap manusia juga memilikinya. Energi nu sangat mudah berpindah. Dari alam bebas ke manusia dan sebaliknya, serta dari satu orang ke orang lainnya.

Caranya bermacam-macam, mulai dari sekadar berbicara, kontak fisik, hingga melakukan hubungan seksual. Dengan berpindahnya nu, maka setiap energi manusia berpotensi untuk berfluktuasi. Bisa bertambah, bisa juga berkurang.

Menurut anggapan masyarakat Hua, wanita dianggap sebagai salah satu sumber nu di alam. Dengan demikian, secara kodrati, kadar nu pada wanita lebih banyak dibandingkan pria.

Dengan keyakinan ini terbentuklah pembatasan sosial yang diterapkan oleh masyarakat Hua. Tujuannya adalah untuk mengimbangi kadar energi nu pada setiap manusia. Harus pas, tidak boleh berlebihan tidak boleh juga terlalu kurang.

Wanita yang dianggap memiliki kadar nu yang terlalu banyak, harus mengtransfer energinya dengan melayani lelaki melalui pekerjaan rumah tangga.

Dengan cara ini maka kadar nu pada lelaki akan bertambah. Dan akan sangat berguna untuk beraktivitas di luar rumah.

Kendati demikian, transfer energi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Karena setiap nu yang ditransfer berpotensi untuk menjadi energi yang baik (kosi') dan juga buruk (keva ro).

Energi kosi' dan keva ro sangat ditentukan oleh sikap dari pemberi energi. Sebagai contoh, wanita yang memasak dengan mood yang buruk, dianggap akan memindahkan nu yang negatif kepada keluarganya. Akibatnya, sang penerima keva ro akan mudah sakit atau kehilangan semangat.

Sebaliknya, kasih sayang seorang wanita adalah sumber energi yang positif. Ia laksana pupuk yang memicu perkembangan fisik, stamina, dan mental.

Keseimbangan energi nu juga bisa didapatkan di alam. Jika masyarakat Tionghoa mengenal konsep Yin-yang, demikian pula dengan masyarakat Hua. Istilah mereka adalah korogo dan hakeri'a.

Korogo berada pada makanan yang mudah dicerna, mudah ditanam, dan mudah didapatkan. Seperti sayur mayur atau hewan ternak. Sementara hakeri'a berasal dari makanan yang susah didapatkan, seperti hewan liar atau tanaman yang tumbuh di dalam hutan.

Untuk mendapatkan kadar nu yang seimbang, masyarakat Hua membutuhkan asupan dari kedua jenis makanan ini

Lebih spesifik lagi, masyarakat Hua juga memiliki konsepsi gender pada setiap makanan. Buah yang tumbuh di atas pohon atau tebu yang menjulang tinggi dianggap berkelamin pria. Yang memakannya akan mendapatkan manfaat dari sifat maskulin.

Sementara umbi-umbian yang dekat dengan bumi atau jamur yang berkembang biak dengan cepat, merepresentasekan sifat-sifat feminin.

Oleh karena itu, timbullah beberapa larangan. Lelaki yang masih produktif tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan yang memiliki kadar feminin yang kuat.

Demikian pula dengan larangan kepada wanita untuk mengonsumsi makanan tertentu, khususnya pada saat menstruasi, baru melahirkan, atau sedang menyusui.

Apa yang terjadi jika keseimbangan nu tidak terjadi?

Lelaki yang terlalu banyak terpapar nu akan berubah menjadi feminin. Akan menjadi tidak produktif lagi. Bisa saja karena sakit-sakitan atau kurang semangat.

Kendati demikian, lelaki tua masyarakat Hua dengan sendirinya akan memiliki kadar nu yang berlebihan. Itu karena anggapan bahwa lelaki tua sudah cukup banyak terpapar energi nu melalui kontak fisik dengan wanita selama hidupnya.

Tidak masalah, karena lelaki tua memang sudah tidak lagi produktif, sakit-sakitan, dan lebih banyak tinggal di dalam rumah.

Sementara wanita yang sudah tua dianggap sudah lebih jinak, karena energi nu mereka sudah banyak diserap oleh lelaki. Oleh karenanya, tidak ada lagi pembatasan-pembatasan yang terjadi. Para lansia wanita bebas hidup beraktivitas layaknya pria.

Ketika masyarakat modern masih memperdebatkan konsep gender dalam masyarakat, suku Hua Papua Nugini telah berhasil mendefenisikan maskulinitas dan feminitas dalam konsep alamiah. Alias tidak perlu diperdebatkan lagi karena memang sudah diatur oleh alam.

Kadar nu yang dimiliki menjadi dasar mekanisme tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita berperan di dalam masyarakat.

Mungkin terasa absurd. Mungkin juga terkesan terlalu ortodoks. Jangan dulu terlalu diperdebatkan.

Menurut saya konsep transfer energi Nu adalah sebuah filsafat yang sangat baik. Konsep ini masih sangat relevan dengan kehidupan dunia modern -- bahwa adab akan menyingkirkan azab.

Dunia akan menjadi damai jika ada konsep berbagi energi. Bagaimana energi maskulin dan feminin terdistribusi sama rata di antara wanita dan pria. Sehingga rebut-ribut peranan gender tidak perlu ada lagi.

Referensi: https://logosid.xyz/bagaimana-wanita-menyerap-energi-pria-mengulik-konsepsi-energi-dan-gender-pada-masyarakat-hua/

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun