Untuk mendapatkan kadar nu yang seimbang, masyarakat Hua membutuhkan asupan dari kedua jenis makanan ini
Lebih spesifik lagi, masyarakat Hua juga memiliki konsepsi gender pada setiap makanan. Buah yang tumbuh di atas pohon atau tebu yang menjulang tinggi dianggap berkelamin pria. Yang memakannya akan mendapatkan manfaat dari sifat maskulin.
Sementara umbi-umbian yang dekat dengan bumi atau jamur yang berkembang biak dengan cepat, merepresentasekan sifat-sifat feminin.
Oleh karena itu, timbullah beberapa larangan. Lelaki yang masih produktif tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan yang memiliki kadar feminin yang kuat.
Demikian pula dengan larangan kepada wanita untuk mengonsumsi makanan tertentu, khususnya pada saat menstruasi, baru melahirkan, atau sedang menyusui.
Apa yang terjadi jika keseimbangan nu tidak terjadi?
Lelaki yang terlalu banyak terpapar nu akan berubah menjadi feminin. Akan menjadi tidak produktif lagi. Bisa saja karena sakit-sakitan atau kurang semangat.
Kendati demikian, lelaki tua masyarakat Hua dengan sendirinya akan memiliki kadar nu yang berlebihan. Itu karena anggapan bahwa lelaki tua sudah cukup banyak terpapar energi nu melalui kontak fisik dengan wanita selama hidupnya.
Tidak masalah, karena lelaki tua memang sudah tidak lagi produktif, sakit-sakitan, dan lebih banyak tinggal di dalam rumah.
Sementara wanita yang sudah tua dianggap sudah lebih jinak, karena energi nu mereka sudah banyak diserap oleh lelaki. Oleh karenanya, tidak ada lagi pembatasan-pembatasan yang terjadi. Para lansia wanita bebas hidup beraktivitas layaknya pria.
Ketika masyarakat modern masih memperdebatkan konsep gender dalam masyarakat, suku Hua Papua Nugini telah berhasil mendefenisikan maskulinitas dan feminitas dalam konsep alamiah. Alias tidak perlu diperdebatkan lagi karena memang sudah diatur oleh alam.