Sejatinya kasus yang terjadi pada Alfamart di Tangerang adalah hal yang biasa. Bukannya meremehkan perisiwa si ibu yang diduga mencuri coklat di sana, tapi kasus mengutil (shoplifting) terjadi hampir setiap hari di setiap toko, di mana-mana.
Berawal dari rekaman seorang pegawai Alfamart atas seorang ibu yang "lupa membayar" setumpuk coklat. Lalu disambung dengan unggahan lainnya di medsos. Si karyawan mengucapkan permohonan maafnya karena telah melanggar UU ITE karena menyebarkan video aksi pencurian tersebut.
Pihak Alfamart menyesalkan kejadian tersebut, manajemennya lalu menempuh jalur hukum. Aksi si ibu membawa pengacara ke dalam toko dianggap sebagai tindakan arogan dan intimidasi kepada karyawan.
Peristiwa yang sama juga pernah saya rasakan. Kala itu medsos belum dikenal luas seperti saat ini. Ada seorang anak remaja yang mengutil di tempat usahaku. Ia membuka sebungkus biskuit mini dan memakannya di tempat. Ketahuan oleh karyawan, ia pun diminta untuk membayar.
Namun, karena si remaja tidak punya uang, manajer toko lantas menelpon orangtuanya. Bukannya minta maaf, si ayah malah datang bersama oknum berseragam. Mengancam manajer toko atas tuduhan pencemaran nama baik.
Tidak mau mencari masalah, manajer toko pun memilih damai. Tentunya dengan kuping yang sedikit panas, tersiram makian yang mendidih.
Ya sudahlah...
Biskuit di tokoku, coklat di Alfamart. Kalau mau dihitung, jumlahnya tidak seberapa. Tapi pertanyaannya, siapakah yang akan menanggung kerugiannya.
Sebagai pemilik toko, saya sudah mengantisipasi hal ini. Sekian persen telah kusisihkan untuk menanggung kerugian-kerugian semacam ini. Pada akhir tahun hitung-hitungan pun dilakukan.
Seluruh kerugian akibat kehilangan barang dan sejenisnya akan dipotong dengan sekian persen yang ditabung. Jika masih lebih, maka sisanya akan dibagikan kepada karyawan sebagai bonus tahunan.
Bagaimana jika kurang? Tidak usah disebutkan, saya tidak punya hati untuk membebankan ke karyawan. Anggap saja itu adalah kerugian perusahaan.
Sayangnya di luar sana, tidak semua pengusaha yang berpendapat sama dengan saya. Konon ada juga yang membebankannya kepada para karyawan.
Jadi, seandainya dalam sebulan ada 10 orang yang mengutil coklat dan barang lainnya, berapa beban ekonomi yang harus ditanggung oleh karyawan? Bisa-bisa sebagian besar dari gajinya.
Lalu saya mendengar nyinyiran, "kan pengusaha kaya. Ngapain juga harus dibebankan kepada karyawannya."
Nah, tahukah kamu, kamu, dan kamu jika kerugian dari barang yang hilang ini adalah momok dari setiap perusahaan? Dalam akuntansi, istilah ini disebut sebagai retail shrinkage. Alias penyusutan barang eceran.
Mengapa menjadi momok?
Setiap entitas bisnis mengambil keuntungan dari perbedaan harga beli dan harga jual. Selisihnya disebut sebagai keuntungan kotor. Lalu ada biaya, seperti gaji, beban listrik, beban operasional, hingga beban finansial.
Setiap perusahaan telah mengukur resiko dalam berbisnis. Termasuk menganggarkan biaya pengeluaran dan menentukan target penjualan. Sementara retail shrinkage adalah beban yang tidak bisa terukur dan sangat beresiko dalam kelanjutan bisnis.
Seberapa besar kerugian dari retail shrinkage?
Dilansir dari National Retail Federation, di Amerika rasio rata-rata retail shrinkage adalah 1,61% hingga 2%. Sayangnya tidak ada data dari Indonesia. Jadi, marilah kita berasumsi dan berhitung dengan menggunakan rasio ini.
Katakanlah sebuah UMKM memiliki omzet sebesar 300 juta per bulan. Dengan retail shrinkage sebesar 2%, maka ia harus menanggung kerugian sebesar 6 juta rupiah.
Jumlah ini setara dengan 1-1,5 orang gaji pegawai standar UMP. Mungkin juga setara dengan biaya listrik, dan mungkin lebih besar dari keuntungan toko. Dan yang paling berbahaya, jumlah tersebut bisa lebih besar karena faktor tak terukur.
Namun retail shrinkage tidak saja berasal dari pencurian di dalam toko (shoplifting). Masih dari data National Retail Federation, kerugian yang tidak terduga ini dibagi lagi dalam beberapa kategori.
Yang terbesar memang berasal dari shoplifting. Jumlahnya mencapai 35,7% dari keseluruhan. Jenis terbesar kedua berasal dari ketidakjujuran karyawan. Bisa saja mencuri barang atau uang, menerapkan diskon sepihak, atau mengutil bonus dari supplier. Jumlah ini mencapai 33,2% dari total retail shrinkage.
Yang ketiga adalah kesalahan administratif. Jumlahnya mencapai 18,8%. Kasus ini terdiri dari salah melabel harga, salah menempatkan diskon, salah menghitung stok, dan sejenisnya.
Kategori keempat adalah ketidakjujuran/kesalahan supplier. Terdiri dari kesalahan penginputan harga, menurunkan barang yang tidak sesuai invoice, tidak memberikan bonus yang dijanjikan, memberikan barang kadaluarsa, dan sejenisnya. Kontribusinya terhadap retail shrinkage mencapai 5,8%.
Kategori lainnya adalah 6,6% yang berasal dari berbagai skenario yang tidak terduga lainnya.
Tidak heran jika sebuah perusahaan berani menginvestasikan uang yang banyak untuk mengurangi resiko yang tidak terukur ini. Pemasangan CCTV di berbagai tempat, membeli program administrasi yang canggih, menyewa security, bahkan hingga menyewa tenaga professional jika angka retail shrinkage sudah mencapai jumlah yang mengkhwatirkan.
Kembali kepada kasus pegawai Alfamart. Saya tidak dalam kapasitas menilai perilaku si ibu. Menurut keterangan anggota keluarga, si ibu mengidap sindrom kleptomania (kebiasaan mengutil).
Tapi, apapun alasannya, kamu, kamu, dan kamu seharusnya berpikir. Mengambil barang tanpa membayar dengan alasan apapun sudah masuk dalam kategori pencurian. Ada KUHP-nya, pasal 362.
Lagipula setiap agama dan keyakinan juga tidak pernah merestui tindakan pencurian. Dan yang terpenting, harga coklat mungkin tidak seberapa. Tapi dampak yang ditimbulkan sangat luar biasa.
Membuat karyawan rugi, dipecat, bahkan tidak tertutup kemungkinan, membuat bangkrut perusahaan. Jika itu terjadi, maka akan terjadi efek domino. Dampak sosialnya akan sangat luar biasa merugikan.
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H