Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kiamat ATM Sudah Dekat, Bagaimana Nasib Uang Kartal?

3 Agustus 2022   05:17 Diperbarui: 3 Agustus 2022   05:37 2077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya, saya nyinyir saat membaca berita yang singgah di lini masaku. Kiamat ATM sudah dekat, kira-kira seperti itu judulnya.

Bagaimana bisa dibilang kiamat. Bagi saya, mesin ATM adalah salah satu penemuan tercanggih di bidang keuangan. Sebelum ada ATM, duit diambil dari bank dan disimpan di rumah. Jika dompet kosong, buka laci meja. Kadang pakai teriak, "woiii... kunci di mana?"

Di zaman now, fungsi mesin ATM semakin canggih pula. Bisa untuk bayar tagihan, transfer, dan setor tunai. Mana mungkin kiamat ATM terjadi? terlalu mengada-ada.

Lalu ketika Reinhard, anak saya pulang dari Australia, ia berhasil membuatku shock. Kartu ATM dan Kartu Kredit-nya ia simpan di laci. Dompetnya hanya berisikan beberapa dokumen tidak penting, kecuali KTP dan SIM. Tidak ada uang juga di sana. Selembar pun.

"Kok gitu sih," aku protes kepadanya.

"Kan ada ini," jawabnya sembari memperlihatkan sederet aplikasi pada hapenya.

Tapi, saya tetap protes. Bagi orang Tionghoa, haram hukumnya jika tidak ada duit di dompet, "Tidak hoki," ujarku sambil memberikannya beberapa lembar uang kertas.

Si Reinhard terima saja, meski saya sedikit yakin jika lembaran uang yang kuberikan tidak akan berkurang dalam beberapa saat ke depan.

Mengapa? Karena memang ia merasa itu tidak penting. Semua transaksi sudah dilakukan secara digital. Semuanya telah dilakukannya, semenjak bersekolah di Singapura.

"Terlalu mengada-ada," sekali lagi itu yang terbersit dalam pikiranku. Bagi saya mesin ATM tetap yang terbaik. Semua transaksi kulakukan dari sana. Dan saya harap, kamu, kamu, dan kamu juga begitu. Hitung-hitung, marilah kita menjaga marwah generasi kolonial. Tidak perlu mencontohi anak milenial.

Nyatanya saya mulai khwatir. Dalam perjalanan ke Australia, saya membawa dollar Australia yang cukup untuk belanja, ngopi dan juga makan. Kartu kredit sebisa mungkin tidak kugunakan, agar anggaran perjalanan bisa dengan jelas tertata.

Lalu apa yang terjadi? Duit dollar Aussie masih banyak tersisa, Kelly anak saya yang jadi cukong. Setidaknya ada lima tempat terpisah yang tidak menerima pembayaran tunai. Beberapa bahkan tidak mau menerima kartu kredit. Murni aplikasi.

Amsiong deh...

Apakah ini yang dimaksud sebagai kiamat ATM. Saya pun lanjut membaca tulisan yang pernah hinggap di gawaiku. Ada penjelasannya di sana.

Gubernur BI, Perry Warjiyo memberikan data terbaru mengenai transaksi keuangan per Mei 2022. (FEKDI, Bali). Transaksi uang elektronik tumbuh 35,25% year on year (yoy) atau sebesar 32 triliun rupiah, mengikuti pertumbuhan nilai transaksi digital banking yang juga tumbuh sebesar 20,82% (yoy). Nilainya menjadi 3,767,7 triliun rupiah.

Jadi, wajar saja jika jargon lebih baik ketinggalan dompet, daripada ketinggalan gadget.

Bagaimana dengan sistem pembayaran konvensional?

Nilai transaksi via ATM meningkat, tapi tidak signifikan. Hanya 5,43% (yoy). Begitu pula dengan peredaran uang kartal (kertas dan logam). Pada periode yang sama, Mei 2022 hanya tumbuh 8,97% (yoy). Untungnya nilai transaksi via ATM masih mencapai Rp.630,9 triliun.

Begitu juga dengan peredaran uang kartal. Jumlahnya masih masif, mencapai Rp.927,6 triliun. Syukur alhamdulilah, transaksi "nyata" masih lebih banyak dari transaksi uang digital.

Kendati demikian, para ahli meramalkan kiamat ini tidak dalam waktu dekat. Katanya sih, lima tahun mendatang. Mungkin pada saat itu, generasi penerus bangsa inilah yang telah berhasil melanjutkan perjuangan. Dan memang mereka adalah digital geek.

Bukannya tanpa alasan. Kejadian di Australia yang saya kisahkah di atas hanyalah salah satu contohnya. Dari sumber disebutkan jika metode cashless sudah berlangsung di Swedia sejak 2016. Konon untuk masuk toilet saja, kartu kredit atau debet lebih berharga dari koin.

Statistiknya mencengangkan, transaksi cash turun. Dari 40% sisa 13% saja. Artinya, 67% warga Swedia sudah beralih menjadi cashless society.

Untungnya ada kabar baik. Kendati transformasi menjadi cashless society sudah berlangsung masif di Swedia, pemerintah setempat malah deg-degan. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi kekhwatiran. Para manula dan juga imigran yang tinggal di pinggiran menjadi kaum terkucil. Tidak bisa berbelanja meskipun memiliki uang di tangan.   

Isu ini akhirnya membuat pemerintah Swedia harus turun tangan lagi. Para anggota parlemen kemudian mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang lebih ramah kepada sistem keuangan konvensional.

Di Australia juga demikian, berdasarkan artikel dari conversation.com, survei yang dilakukan oleh Bank Sentral Australia menyatakan bahwa sekitar seperempat dari penduduk Australia masih merupakan pengguna tunai.

Mereka adalah kaum manula, keluarga dengan pendapatan rendah, dan masyarakat yang tinggal di area terpencil yang belum memiliki jangkauan internet yang memadai.

Dengan kejadian ini, saya lantas berpikir. Kemajuan teknologi keuangan telah menumbuhkan masyarakat non-tunai. Thus, fenomena ini berbanding linear dengan kemajuan sebuah negara.

Nyatanya, tidak sepenuhnya benar. Ada contoh unik dari Zimbabwe.

Pada tahun 2008, negara di Afirka ini mengalami krisis keuangan yang benar-benar parah. Inflasi meroket hingga 231.000.000%. Uang Zimbabwe sudah tidak lagi berharga.

Pada tahun 2009, pemerintah setempat kemudian mengambil langkah ekstrim. Tidak lagi memberlakukan mata uang Zimbabwe. Sebagai gantinya mata uang asing-lah yang menjadi alat tukar yang sahih.

Proses "Dolarisasi" ini berhasil. Ekonomi Zimbabwe lambat laun memulih. Tapi, masalah baru muncul kembali. Negara kekurangan mata uang asing. Akibatnya, uang yang beredar hanya digunakan untuk berbelanja saja. Jika masih ada kelebihan, warga lokal menyimpannya di rumah, tidak disetor ke bank.

Pada 2014, pemerintah Zimbabwe keluar dengan sebuah solusi brilian. Mengubah Zimbabwe menjadi cashless society. Tidak ada dollar tidak apa-apa. Semua saldo tercatat pada aplikasi dan bisa digunakan untuk berbelanja.

Hasilnya, pada 2017 Zimbabwe berubah menjadi negara tanpa tunai. Transaksi digital menguasai 96% dari seluruh transaksi di sana. Mencengangkan!

Nyatanya benar, cashless society hanyalah masalah waktu. Contoh di Swedia dan Zimbawe adalah dua kasus dengan kondisi yang benar-benar berbeda. Istilahnya, "maju kena mundur kena."

**

Saya tidak sendirian, di negara maju saja masih ada juga manusia yang masih enggan menjadi cashless society. Bagaimana pun juga memegang duit di tangan lebih afdol dibandingkan aplikasi digital. Benar gak sih?

Sebelumnya saya sudah mengatakan kepada Reinhard bahwa prinsip orang Tionghoa adalah, tidak ada uang di dompet itu sama dengan tidak ada hoki. Dompet harus kelihatan tebal, meskipun isinya hanya lembaran sepuluh ribu perak.

Ah, mungkin saya termasuk manusia jadul dari zaman bapakmu. Sudah pantas dijadikan dinosaurus. Entahlah.

Pun kiamat ATM sudah dekat. Sebentar lagi mesin-mesin ATM di jalanan akan bernasib sama dengan telepon umum. Teronggok di pinggir jalan, tanpa ada lagi yang mau melirik.

Lalu malam ini saya mendapatkan pengalaman ilahi. Seorang dewa berbisik kepadaku, "sudahlah Acek, lembaran rupiahmu dijadikan jimat saja."

Pengen nangis deh rasanya!

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun