Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebelum Shinzo Abe, Enam PM Jepang Juga Nahas

11 Juli 2022   11:51 Diperbarui: 11 Juli 2022   11:51 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik dunia dikejutkan dengan pembunuhan Shinzo Abe. Mantan Perdana Menteri Jepang ini ditembak saat sedang orasi. Ia tumbang di tengah kerumunan massa. Lokasinya di dekat stasiun kereta api di sebelah barat kota Nara.

Abe langsung dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Nara. Namun nyawanya tak tertolong lagi. Shinzo Abe meninggal di usia 67 tahun.

Pembunuhnya bernama Tetsuya Yamagami (41). Ia menembak Abe dengan pistol rakitan. Tetsuya adalah warga Nara. Ditenggarai jika motifnya adalah ketidakpuasan selama masa pemerintahan Abe.

Selama ini Jepang dikenal sebagai negara yang jauh dari kekerasan politik. Tidak heran jika PM Jepang Fumio Kishida mengutuk keras aksi Tetsuya.

Namun Fumio Kishida seharusnya sadar, bahwa sejarah akan berulang dengan sendirinya. Beberapa dekade sebelum kejadian pembunuhan Abe ini, Jepang bukanlah negara tanpa kekerasan politik.

Setidaknya dalam kurun waktu 1930-1994, ada enam Perdana Menteri yang terbunuh atau mengalami percobaan pembunuhan. Ini belum termasuk lima kekerasan yang sama yang dialami oleh politikus papan atas Jepang lainnya.

Adalah Takashi Hara, Perdana Menteri Jepang yang berkuasa pada periode 1918-1921. Ia juga tewas di tangan seorang sipil pada 1921.

Hara adalah keturunan keluarga Samurai dari klan Nanbu. Ia menapaki karir politiknya menjadi anggota parlemen. Melalui partai Seiyukai yang konservatif.

Hara juga pernah beberapa kali menjadi Menteri, sebelum terpilih menjadi Perdana Menteri pada 1918. Hara menggantikan PM Terauchi Masatake yang diturunkan dari jabatannya.

Saat itu, kondisi Jepang tidak dalam situasi yang baik-baik saja. peristiwa Kerusuhan Beras terjadi pada 1918, dipicu oleh meroketnya harga beras di perkotaan.

Akan tetapi, kenaikan harga tersebut sama sekali tidak dinikmati oleh para petani. Beredar para tengkulak yang bekerja laksana mafia. Gawatnya lagi, para tengkulak ini didukung resmi oleh kebijakan pemerintah.

Syahdan aksi protes pun bergulir bak bola salju. Didukung juga oleh kekacauan ekonomi di seantero Jepang. Aksi penjarahan terjadi secara sporadis, polisi Jepang menanggapi dengan aksi represif. Kerusuhan di beberapa kota pun terjadi pada 11 Agustus 1918. Menjalar sampai ke 30 perfektur.

Pada saat Hara menggantikan Masatake, ia langsung mengambil tindakan tegas. Aparat menangkap sekitar 10.000 warga yang menyebabkan kerusuhan. Beberapa di antaranya dihukum mati.

Setelah kerusuhan berhasil ditangani, Hara melanjutkan pemerintahannya dengan langkah hati-hati. Ia adalah Perdana Menteri pertama yang berasal dari kalangan sipil. Hara tidak mau kebijakannya menimbulkan permusuhan dari kalangan militer, konservatif, birokrat, maupun kaum ultranasionalis.

Di bawah pemerintahan Hara, nama Jepang melambung di panggung internasional. Jepang termasuk salah satu negara pencetus berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

Namun, tidak ada yang sempurna. Sekuat apapun usaha Hara, ia tidak bisa memuaskan semua pihak. Kaum konservatif dan militer menganggapnya musuh. Tersebab Hara enggan mengubah undang-undang hak suara dalam pemilu.

Kaum sipil juga tidak merasa puas. Akibat praktik nepotisme semasa pemerintahan Hara. Politik dan bisnis bercampur menghasilkan banyak praktik korupsi.

Praktik oligarki marak terjadi. Perusahaan-perusahaan besar menjadi cukong bagi partai besutan Hara maupun oposisi. Akhirnya, beberapa keputusan pemerintah ditenggarai demi kepentingan para konglomerat.

Kaum sipil pun beraksi nekat. Pada September 1921, Zenjiro Yasuda, orang terkaya di Jepang tewas terbunuh oleh Asahi Heigo, seorang pengacara bersih.

Hara pun mengikuti. Tanggal 4 November 1921, ia sedang berada di stasiun Tokyo. Menunggu kereta api yang akan membawanya ke konferensi partai di Kyoto.

Seorang petugas bernama Kenichi Nakaoka perlahan mendekatinya. Hara ditikam berulang-ulang kali. Ia tewas di tempat.

Nakaoka memberi pengakuan. Ia menuduh Hara tidak bertindak tegas menghukum para pejabat koruptor.

Sembilan tahun menjelang, pada 1930 di tempat yang sama di stasiun Tokyo, PM Osachi Hamaguchi juga mengalami kejadian serupa. Ia ditembak oleh seorang aktivis dari kelompok ultranasionalis.

Sebelum menjadi Perdana Menteri, Hamaguchi pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan pada kabinet sebelumnya.

Setelah menjadi Perdana Menteri, Hamaguchi berfokus pada penghematan negara untuk meminimalisir defisit neraca perdagangan. Politik Luar Negeri Hamaguchi juga memprioritaskan hubungan baik dengan negara lain. Termasuk China.

Sebabnya kesempatan Hamaguchi menjabat sebagai Perdana Menteri, akibat kejatuhan PM sebelumnya, Giichi Tanaka, akibat skandal Manchuria, negara boneka bentukan Jepang.

Syahdan penghematan pun dilakukan untuk anggaran militer Jepang. Hamaguchi lebih menyenangi perbaikan ekonomi dan kondisi sosial masyarakat Jepang.

Sekali lagi, bagi sebagian kelompok itu adalah kesalahan fatal. Di stasiun Tokyo, pada 14 November 1930, ia tertembak. Pelakunya bernama Sagoya, seorang suruhan kelompok ultranasionalis. Hamaguchi masih bisa diselamatkan, tapi akhirnya tewas sembilan bulan kemudian.

Insiden pembunuhan atas Perdana Menteri kemudian terjadi dua tahun kemudian. Pada 15 Mei 1932, PM Tsuyoshi Inukai tewas tertembak. Pelakunya adalah 11 perwira muda Angkatan Laut Jepang. Mereka menyerbu kantor Perdana Menteri. Peristiwa ini dikenal sebagai Insiden 15 Mei. Motifnya adalah melancarkan kudeta.

Peristiwa selanjutnya adalah pada 14 Juli 1960. Kala itu PM Nobusuke Kishi yang menjadi korban. Kakek dari Shinzo Abe dari pihak ibunya ini ditusuk sebanyak enam kali di pahanya. Ia selamat dari serangan itu.  

Pelakunya bernama Taisuke Aramaki. Ia bukanlah siapa-siapa. Pria berusia 65 tahun itu dikenal sebagai seorang pengangguran. Ia sempat ditahan dan akhirnya dilepas setelah membayar jaminan.

Aramaki menolak tuduhan pembunuhan Kishi. Ia berdalih jika ia sengaja meyasar tusukannya ke paha. Banyak yang heran, bagaimana Aramaki seorang pengangguran bisa membayar uang jaminan berjumlah besar. Beberapa kabar burung berkata jika ia adalah suruhan dari kelompok sayap kanan di Jepang.

Kekerasan terhadap Perdana Menteri berlanjut lagi pada 16 Juni 1975. Adalah PM Takeo Miki yang menjadi korban. Ia diserang pada acara pemakaman mantan Perdana Menteri Eisaku Sato. Jatuh tersungkur setelah mendapat dua bogem mentah pada wajahnya. Pelakunya juga adalah seorang anggota ekstrimis sayap kanan.

Selanjutnya adalah PM Morihiro Hosokawa. Kejadiannya pada 30 Mei 1994. Insiden itu terjadi hanya sebulan setelah ia mengundurkan diri. Sebuah tembakan dilesatkan kepadanya di lobi hotel Shinjuku. Ia selamat, karena peluru meleset.

Pelakunya masih dari kelompok sayap kanan. Ekstremis tersebut marah karena Hosokawa secara terbuka meminta maaf atas tindakan Jepang selama perang.

Dua puluh delapan tahun berlalu, insiden pembunuha Perdana Menteri Jepang kembali terulang. Jika sebelumnya motif politik ditenggarai sebagai penyebab, kali ini lebih kepada urusan pribadi.

Tetsuya Yamagami mengakui jika ia tidak memiliki dendam politik. Ia mencoba membunuh Abe karena urusan pribadi.

Tetsuya yakin jika Abe memiliki keterkaitan dengan sebuah kelompok agama tertentu. Tetsuya tidak terima, karena kelompok agama tersebut yang menyebabkan ibunya mengalami krisis keuangan. Ia menyumbang terlalu banyak.

Sekilas mungkin terlihat wajar. Tapi, masih banyak misteri yang belum terpecahkan.

Mari kita mengulik sejarah. Sebagian besar kasus pembunuhan Perdana Menteri adalah karena faktor politik. Ketidakpuasan terhadap siapa yang memimpin berakhir tragedi.

Sepertinya, kasus Shinzo Abe tidak sesederhana ini. Ada beberapa unsur yang mungkin jauh lebih kompleks dari sekadar masalah sakit hati. Daripada berspekulasi, lebih baik menunggu jalannya investigasi.

Selamat Jalan Shinzo Abe, engkau akan selalu dikenang sebagai tokoh inspiratif.

**

Referensi: 1 2 3 4 5

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun