Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Hidup Minimalis, Hemat ala China Totok vs China Modern

10 Juli 2022   06:14 Diperbarui: 10 Juli 2022   09:44 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup Minimalis, Hemat ala Cina Totok vs Cina Modern (gambar: pinterest, freepik, diolah pribadi)

Sejujurnya saya baru benar-benar mengenal gaya hidup minimalis setelah topilnya muncul di Kompasiana. Penasaran, saya pun mulai menyusuri dunia maya.

Setelah membaca beberapa saat, pikiran ini tidak pernah terlepas dari bayangan wajah istriku. Semakin banyak aku memahami, semakin deras keringat ini mengucur.

Bagaimana tidak, itu adalah hal yang hampir tidak mungkin. Diriku membayangkan jika gaya hidup minimalis ini aku jelaskan padanya, maka burung pun berkicau di tengah malam.

Pada akhirnya saya harus mengakui, tidak semua yang sedang tren itu bisa diikuti.

Gaya hidup minimalis memang cukup bagus, mengusung konsep "less is more." Kesederhanaan yang membantu untuk menekan keserakahan dari konsumerisme.

Banyak manfaatnya, hidup tidak ribet, lebih ringkas, dan pada akhirnya lebih hemat.

Konsep ini sebenarnya sudah lama dipraktikkan. Sejak ribuan tahun para pertapa dan biksu telah hidup dengan kepemilikan yang minim. Namun gaya hidup ini baru menjadi populer dalam dua dekade terakhir.

Adalah Marie Kondo, seorang konsultan tata ruang dari Jepang. Ia bisa dibilang pencetus munculnya praktik minimalis. Rumah-rumah kecil di Jepang tidak lagi direpotkan dengan setumpuk barang tidak berguna.

Dari desain kemudian merambah ke gaya hidup. Caleb Backe, ahli kesehatan berkata jika konsep utama dari gaya hidup minimalis adalah berfokus kepada apa yang penting. Ini berarti menghilangkan hal-hal yang tidak "bikin bahagia."

Sampai di sini, konsep ini cukup jelas. Bahwa gaya hidup ini menyarankan seseorang untuk berperilaku sederhana. Hidup secukupnya sesuai kebutuhan.  

Akan tetapi...

Bisakah kita mempraktikkannya? Saya termasuk yang harus menyerah duluan. Begitu pula istriku. Bukannya tanpa syarat, saya barusan melakukan eksperimen kecil-kecilan.

Saya memiliki sebuah ruang kerja di rumah. Isinya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Plus barang-barang pribadi yang bisa kurahasiakan dari istriku. Eh...

Di atas meja kerjaku, ada beberapa barang yang tidak lagi berguna. Seperti pulpen macet dan amplop bekas kosong. Semua sudah kumasukkan ke tempat sampah.

Lalu ada barang yang tidak pernah kusentuh. Seperti beberapa gantungan kunci yang masih terbungkus plastik. Semua akhirnya kuwariskan kepada ART-ku. Betapa bahagia wajah mereka mendapat hibah dariku.

Sasaran ketiga adalah barang yang sudah lama tak kusentuh. Seperti sekotak paper clip dan kertas angpao baru. Suatu waktu akan kugunakan, meskipun belum tahu kapan. Tidak mungkin kusingkirkan walaupun rasanya barang itu sudah berabad-abad di sana.

Kemudian mata ini tertuju kepada barang yang sudah sangat-sangat lama tak tersentuh. Apa itu? Kenangan bersama mantan pacarku. Kartu valentine pada saat masih unyu-unyu. Juga ada foto bersamanya plus arloji jadul yang sudah karatan, hadiah ulang tahun darinya.

Mau dibuang? Burung kembali berkicau di malam hari. Mantan pacar itu tiada lain adalah istriku. Nah lho...

Jadi, jika kamu, kamu, dan kamu menyarankanku untuk hidup minimalis, hampir pasti itu tidak mungkin.

Lagipula gaya hidup minimalis itu sebenarnya memiliki esensi yang luas. Jika tujuannya untuk berhemat, saya pun termasuk orang yang pelit bagi diriku.

Nah, berbicara tentang hidup hemat, saya kembali teringat kisah mama. Tentang bagaimana dulunya ia hidup bersama ibunya. Nenek saya adalah tipikal cina totok. Perilaku konsumerisme adalah haram baginya.  

Nenek sangat jarang berbelanja. Ia sama sekali bukan tipe pemboros. Saya masih ingat, pernah suatu waktu papa dan mama mengajak kami sekeluarga makan malam di warung bakmi.

Hal selanjutnya yang saya ingat adalah omelan nenek selama tujuh hari tujuh malam. Ia bilang kalau itu adalah pemborosan. Karena di rumah masih ada beras sekarung.

Lalu apakah nenek adalah penganut faham minimalis? Tidak, karena ia adalah tipe pemulung. Pada saat beliau meninggal, mama berhasil megumpulkan lima dus besar yang tidak lagi berguna. Barang-barang peninggalan zaman Jepang yang sudah pantas menghuni museum.

Menariknya, barang tersebut tersusun rapih di lemarinya. Kondisinya masih layak digunakan pula. Saya harus mengangkat topi, bagaimana telaten dirinya dalam mengatur apa yang sebenarnya ia butuhkan.

Hal ini mungkin terjadi karena nenek hidup susah sewaktu muda. Di masa penjajahan, tidak banyak barang tersedia. Sehingga apa pun yang berada di dalam rumah, itu berharga adanya.

Kalau masih bermanfaat jangan dibuang. Kalau masih ada yang bisa digunakan untuk apa membeli yang baru. Kalau ada yang rusak, kenapa tidak diperbaiki saja.

Namun mama punya pendekatan berbeda. Ia mengakui jika dirinya adalah sosok wanita modern. Menolak hidup susah telah mengubahnya menjadi seorang yang tangguh. Ia pandai mencari uang, membantu papa jualan.

Baginya, tidak apa-apa perilaku konsumerisme, sepanjang apa yang dibeli mampu dibayar. Jangan pernah memaksakan keinginan jika tidak sesuai kantong.

Baginya membeli sesuatu yang fancy, akan menambah semangatnya untuk terus mencari uang untuk membiayai kebutuhannya. Tapi, mama juga mengakui jika ia bukan tipe pemboros. Karena ia tidak akan pernah membeli barang yang dia tidak butuhkan.

Dua pendekatan yang berbeda? Tentu saja. Tapi bagi saya ada persamaannya. Terbukti dengan kamar mereka sama-sama memiliki tumpukan barang.

Hanya saja jika nenek punya sepasang sepatu dari zaman bahulea, mama punya lima pasang model terbaru. Nenek merasa cukup dengan sepasang, sementara bagi mama lima adalah jumlah yang pas.

Dari sini kita bisa melihat bahwa gaya hidup hemat punya persepsi yang berbeda. Nenek berhemat dengan sebisanya tidak membeli barang baru. Sementara mama berhemat dengan membeli barang yang ia butuhkan.

Mungkin saja nenek lebih kaya, karena jarang berbelanja. Tapi, mama adalah orang yang pandai mencari nafkah dan menolak hidup terkekang. Pada akhirnya jumlah tabungan di rekening mereka akan sama.

Sekali lagi, gaya hidup konsumerisme memang menakutkan, gaya hidup minimalis diampu sebagai cara yang tepat. Namun harus diingat, hidup bercukupan sesuai kebutuhan punya defenisi yang luas.

Jadi, kembali kepada diri masing-masing. Pada akhirnya setiap orang akan memiliki caranya masing-masing untuk hidup minimalis. Tidak perlu ikut-ikutan ikutan tren ini jika kita sendiri belum menemukan pola terbaik dalam mengartikan gaya hidup minimalis.

Karena sejujurnya, saya pun masih bingung...

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun