Bisakah kita mempraktikkannya? Saya termasuk yang harus menyerah duluan. Begitu pula istriku. Bukannya tanpa syarat, saya barusan melakukan eksperimen kecil-kecilan.
Saya memiliki sebuah ruang kerja di rumah. Isinya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan. Plus barang-barang pribadi yang bisa kurahasiakan dari istriku. Eh...
Di atas meja kerjaku, ada beberapa barang yang tidak lagi berguna. Seperti pulpen macet dan amplop bekas kosong. Semua sudah kumasukkan ke tempat sampah.
Lalu ada barang yang tidak pernah kusentuh. Seperti beberapa gantungan kunci yang masih terbungkus plastik. Semua akhirnya kuwariskan kepada ART-ku. Betapa bahagia wajah mereka mendapat hibah dariku.
Sasaran ketiga adalah barang yang sudah lama tak kusentuh. Seperti sekotak paper clip dan kertas angpao baru. Suatu waktu akan kugunakan, meskipun belum tahu kapan. Tidak mungkin kusingkirkan walaupun rasanya barang itu sudah berabad-abad di sana.
Kemudian mata ini tertuju kepada barang yang sudah sangat-sangat lama tak tersentuh. Apa itu? Kenangan bersama mantan pacarku. Kartu valentine pada saat masih unyu-unyu. Juga ada foto bersamanya plus arloji jadul yang sudah karatan, hadiah ulang tahun darinya.
Mau dibuang? Burung kembali berkicau di malam hari. Mantan pacar itu tiada lain adalah istriku. Nah lho...
Jadi, jika kamu, kamu, dan kamu menyarankanku untuk hidup minimalis, hampir pasti itu tidak mungkin.
Lagipula gaya hidup minimalis itu sebenarnya memiliki esensi yang luas. Jika tujuannya untuk berhemat, saya pun termasuk orang yang pelit bagi diriku.
Nah, berbicara tentang hidup hemat, saya kembali teringat kisah mama. Tentang bagaimana dulunya ia hidup bersama ibunya. Nenek saya adalah tipikal cina totok. Perilaku konsumerisme adalah haram baginya. Â
Nenek sangat jarang berbelanja. Ia sama sekali bukan tipe pemboros. Saya masih ingat, pernah suatu waktu papa dan mama mengajak kami sekeluarga makan malam di warung bakmi.