Atong adalah remaja yang baru saja mengenal bulu. Baginya itu menggelikan, sesuatu yang sering ia lihat menempel pada ayahnya sewaktu masih kecil. Saat itu mereka sering mandi bersama di sungai.
Baginya bulu berarti memiliki jodoh. Sebabnya ketika Atong menanyakan kepada ayahnya perihal rambut bawah tersebut, ayahnya hanya menjawab, "itu artinya kamu sudah bisa cari jodoh."
Atong ingin pacaran, bak di film-film drakor romantis. Konon memiliki pacar artinya sudah dewasa. Dia sudah bosan dianggap masih anak-anak.
Tapi, Atong masih bingung. Bagaimana caranya bertemu jodoh. Lalu ia bertanya kepada ayahnya, "bagaimana caranya Ayah bertemu Ibu?"
Ayahnya yang sedang sibuk, dengan singkat menjawab "di sekolah."
Atong terhenyak. Awalnya ia berharap tempat yang lebih spesifik. Di kandang sapi atau di lereng gunung kawi misalnya. Sesuatu yang lebih mudah, menerima calon istrinya yang muncul diantar peri gigi.
Tapi, di sekolah? Setidaknya ada puluhan perempuan yang harus ia perhatikan. Sebuah misteri yang lebih sulit daripada mengisi teka-teki silang.
Namun Atong tidak kehabisan akal. Itu gegara ia menemukan sebuah kondom di lemari ayahnya. Ketika ia bertanya kepada ayahnya, dengan muka masam, sang ayah merebut kondom tersebut dari tangan si Atong.
"Ini urusan Ayah dan Emak, kamu belum tahu!"
Bagi Atong itu adalah petanda, semacam kode keras dari ayahnya. Plastik bening tersebut adalah jimat untuk bertemu dengan calon istrinya nanti.
Syahdan dengan keahlian detektif conan, Atong pun mengendap di siang bolong. Masuk ke kamar ayahnya, dan sebungkus kondom dari laci pun berpindah ke saku celana. Atong tersenyum lebar, mengelus bulunya sambil berujar, "engkau berhasil..."
Keesokan paginya, Atong dengan penuh semangat pergi ke sekolah. Di kepalanya sudah ada beberapa pilihan. Widz si rambut ikal, atau Diah si hidung bangir. Tapi, ada juga Siti si ketua kelas.
"Ah, yang mana saja deh," Atong membatin.
Lalu apa yang harus dilakukan? Atong bingung. Plastik kondom masih dalam bungkusan. Atong tidak berani membukanya. Cukup terlihat dari luar, bungkusnya plastiknya transparan. Ada benda bulat bening di dalamnya.
Hari ini ada pelajaran biologi. Bak bulu dicinta ulam pun tiba. Guru mengajarkan pendidikan reproduksi, kondom sebagai alat peraga.
"Anak-anak, ini namanya kondom..." Pak Guru Arif memperlihatkan sebungkus plastik kecil. Bentuknya persis seperti yang ada di kantong Atong.
"Mari kita buka yaaa, bentuknya bulat gepeng..." Pak Guru Arif melanjutkan.
"Lalu, kita tarik... nah memanjang..."
Atong tidak berkedip, ia dengan seksama memperhatikan penjelasan pak guru Arif.
Suasana kelas riuh. Remaja putri senyum-senyum, saling cubit-cubitan. Memberi kode. Entah gegara malu atau suka. Â Â
Murid lelaki berteriak-teriak kegirangan, saling ejek-ejekan. Seakan-akan mereka sudah tahu jika itu adalah jimat untuk mencari jodoh.
"Dipasang di mana, Pak Guru?" Jepe, murid paling bandel bertanya.
"Di jarimu!" jawab Pak Guru Arif sigkat, diikuti oleh suara riuh tawa dari dalam kelas.
Jelas Pak Guru tidak bermaksud bercanda. Ia yakin jika jarinya cukup mewakili si otong. Kondom pun dimasukkan ke jari. Dengan sigap Pak Guru Arif mempraktikkannya. Dicelup, diulur, diremas, jadi deh.
Atong memperhatikan dengan seksama. Ia paham betul, benar-benar paham. Sangat paham malahan. Sesaat sebelum kelas bubar, Atong pun tersenyum tipis.
Lonceng istirahat berbunyi. Atong membiarkan semua anak meninggalkan kelas. Ia lalu merogoh saku celananya dan menyobek bungkusan kondom. Dengan sigap ia pun memasukkannya kondom ke tempat yang seharusnya. Daerah yang sering bersentuhan dengan bulu.
Aksi selanjutnya adalah mencari jodoh. Bagaimana caranya?
Atong punya sebuah keyakinan. Dia mengingat kutipan yang pernah ia baca di media sosial. "Jodoh tidak akan kemana-mana. Jika ia milikmu, maka ia akan datang padamu."
Atong sangat meyakini kutipan itu. Ditambah dengan kondom yang sudah pada tempatnya, jodoh akan segera menghampiri.
Tapi, bukannya tanpa usaha. Atong harus memperlihatkan bagian tubuhnya yang terbungkus kondom kepada si calon. Jika gadis tersebut menyentuhnya, maka dialah jodoh si Atong.
Percobaan pertama adalah Widz rambut ikal.
"Widz, tahu apa ini?" Tanya Atong sambil menunjuk bagian berkondom.
"Ah gila kamu, Tong!" ujar Widz acuh melewati Atong. Widz bukan jodohnya.
Sasaran kedua adalah Siti si ketua kelas.
"Siti, mau lihat ini? Tanya Atong sambil mengoyang-goyangkan bagian berkondom.
"Ahhh, jijay!" teriak Siti lari ketakutan. Siti bukan jodohnya.
Harapannya yang terakhir adalah Diah. Si hidung bangir ini menjadi sasaran berikutnya.
"Diah, sini dong lihat ini," Atong berkata setengah berharap. Bagian berkondom ia tegakkan. Terlihat mengacung tinggi.
"Ihhhh, lucunyaaaa..." Diah berteriak kegirangan.
"Warnanya merah ya, mengkilap lagi," Diah tidak bisa melepaskan pandangannya dari kondom Atong.
Jakung Atong tampak bergerak. Diah adalah jodohnya, hatinya bergetar. "Mau pegang gak?" Suara Atong terdengar bergetar.
"Mauuuu..." Diah menyahut gembira.
"Sini remas," Atong mulai gelagapan, berujar tak jelas.
Diah pun mendekat. Kondom Atong dielus. Bagian berkondom si Atong ia bolak balik. Saking asyiknya, kedua insan tersebut lupa jika sedang berada di teras dekat ruang guru.
Tiba-tiba, sebuah suara keras menghardik, "Diah, Atong, apa yang kalian lakukan!" Pak Guru Arif tampak melotot, matanya terbelalak hampir copot.
"Aaanu pak..." Kedua insan itu terbata-bata.
"Tidak perlu kamu jelaskan. Bapak sudah lihat apa yang kalian perbuat. Diah, kembali ke kelas. Dan Atong, segera keluarkan kondom itu dari telunjukmu!"
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H