Mendikbudristek, Nadiem Makarim baru saja menyatakan bahwa perguruan tinggi Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lain. Ini dari sisi pendanaan.
Saat ini rata-rata pengeluaran pendanaan perguruan tinggi Indonesia berada di angka US$ 2.000 per tahun. Ia membandingkan dengan India dan Malaysia yang sudah mencapai US$3.000 dan US$ 7.000. Sementara di Kawasan Asia Tenggara, Singapura adalah yang tertinggi, yakni US$ 15.000.
Menurut Nadiem, itu karena perguruan tinggi di Indonesia hanya mengandalkan bantuan pemerintah dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sementara di negara lain sudah lebih maju, penggalangan dana dari sektor swasta dan alumni sudah cukup mapan.
Nadiem memberikan contoh tiga universitas kelas dunia, Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University dari AS, serta Nanyang Technology University (NTU), Singapura.
Lalu dampaknya akan seperti apa? Saya bukan pemerhati atau praktisi pendidikan. Tapi, saya adalah orang yang sangat peduli terhadap pendidikan. Bagi saya, itu adalah hal yang sangat penting.
Jika mampu dan bisa memilih, tentunya universitas terbaik yang akan kupilih. Syahdan, pada saat anak-anakku mulai memilih kampus, saya menyarankan dua universitas top Indonesia.
Sayangnya kedua anak saya tidak berminat. Alasannya? Tidak pede. Harapan saya terlalu tinggi kata mereka.
"Susah masuknya, Pa," demikian kata Kelly, putri semata wayangku.
Ia lebih memilih kuliah di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saya pun menyuruhnya untuk mengikuti tes. Alhasil ia tidak lulus.
Akhirnya dengan sedikit tabungan dan hasil menjual asset, saya pun menyekolahkannya di Australia. Mengikuti jejak kakaknya Reinhard yang sudah lebih duluan setahun di sana.
Sampai saat ini hasil akademiknya tidak mengecewakan. Kelly lulus Cum Laude.
Namun rasa kesal jika Kelly tidak diterima di perguruan tinggi Indonesia masih membekas sampai sekarang. "Kok bisa ya?"
"Kenapa harus kesal?" ujar istriku sambil memperlihatkan gawainya. Sebuah artikel dengan judul Top 100 Universitas Dunia. Ternyata kedua kampus anakku menduduki peringkat ke-47 dan ke-58 dunia. Linknya bisa diklik di sini.
Saya tidak terpengaruh, karena sedari dulu saya sudah tahu jika universitas-universitas di Indonesia tidak ada pada daftar tersebut. Maaf, maksud saya tidak berada pada top 100.
Segitunya kah? Bagaimana sih model risetnya, dan berada pada posisi manakah universitas-universitas dari Indonesia?
Mari kita bahas lebih dalam lagi. Dari beberapa sumber yang saya ulik, tercatat ada tiga lembaga yang cukup "didengarkan" untuk masalah ranking universitas, yakni:Â QS World University Ranking, Webometrics, dan Times Higher Education (THE). Hasil anggitan mereka berbeda-beda, karena standar yang digunakan juga tidak sama.
Webometrics atau Rangking Web of Universities menggunakan empat indikator yang berasal dari eksistensi di website. Yakni,
- SIZE, alias jumlah halaman yang terindeks pada mesin pencari utama (google, yahoo, dan lain-lain)
- VISIBILITY, total jumlah pranala luar yang beredar di internet
- RICH FILES, total publikasi yang dikeluarkan oleh institusi terkait.
- SCHOLAR, data yang diperoleh dari Scimago Institution Ranking.
Dari hasil riset lembaga pemeringkatan asal Spanyol ini, disebutkan jika Harvard University, Stanford University, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) berada pada urutan tiga teratas.
Sementara dari data yang sama, universitas terbaik di Indonesia adalah Universitas Indonesia (UI). Rankingnya adalah 649.
Untuk lebih jelasnya sila klik pranala luar ini; https://www.webometrics.info/en/world
Oke, bisa saja data ini tidak relevan. Apa yang muncul di dunia maya belum tentu linear dengan kualitas pendidikan. Jadi, mari kita melihat standar lainnya.
Times Higher Education (THE) World University Ranking. Lembaga ini menggunakan 13 indikator yang terbagi menjadi 5 kategori, yakni; pengajaran, penelitian, pengaruh penelitian, outlook internasional, dan pendapatan kampus.
Penelitian ini melibatkan 1.500 kampus dari 93 negara. Urutan pertama hingga ketiga ditempati oleh; Oxford University (UK), California Institute of Technology (AS), dan Harvard University (AS). Jawara dari Indonesia masih Universitas Indonesia. UI berada pada urutan ke-801.
Untuk lebih jelasnya sila klik pranala luar ini; https://www.timeshighereducation.com/student/best-universities/best-universities-world
Jika masih belum puas, masih ada indikator ke-3.
QS World University Ranking (QS-WUR). Lembaga pemeringkatan ini memiliki reputasi yang bagus. Indikator yang digunakan adalah yang paling spesifik. Menyangkut seluruh faktor akademis, sbb:
- Reputasi Akademis - 30%
- Reputasi Karyawan (Faculties) -- 20%
- Rasio Mahasiswa per Fakultas -- 20%
- Penghargaan yang didapatkan dari hasil riset -- 15%
- Jumlah riset ilmiah (dihitung per fakultas) -- 15%
- Proporsi Mahasiswa Internasional -- 2,5%
- Proporsi Fakultas Internasional -- 2,5%
- Proporsi Pertukaran Mahasiswa Luar Negeri -- 2,5%
Kabar baiknya, berdasarkan data QS-WUR, peringkat universitas dari Indonesia lebih tinggi dari dua lembaga sebelumnya. Universitas Gajah Mada (UGM) berada pada rangking 254. Menyusul Universitas Indonesia pada urutan 305 dan ITB pada peringkat ke-331
Sementara pada ranking global, yang berada pada urutan 1,2, dan 3 adalah: MIT (AS), University of Cambridge (UK), dan Stanford University (AS).
Untuk lebih jelasnya sila klik pranala luar ini; https://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-rankings/2023
Apakah dengan adanya pemeringkatan dari tiga lembaga survei ini lantas bisa disimpulkan jika perguruan tinggi Indonesia memang tertinggal jauh? Lalu apakah hal ini kemudian mencerminkan kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia?
Ah, jika dibahas lebih jauh, tulisan ini tidak akan selesai. Mending kita bedah kasus saja. Membandingkan universitas dari sesama negara Asia pada ranking QS-WUR.
Universitas asal AS mendominasi dengan menghadirkan 28 universitas. Disusul oleh Inggris (UK) dengan 17 universitas. Australia menempati posisi ketiga dengan 7 universitas.
Di tingkat Asia, Singapura menempatkan dua universitasnya (NUH dan NTU) pada rangking teratas, urutan ke-11 dan 12. Sementara RRC dan Korea Selatan menyumbangkan jumlah universitas terbanyak, masing-masing enam. Disusul oleh Jepang dan Hong Kong dengan masing-masing lima universitas.
Taiwan menyumbang satu universitas. Dan yang mengejutkan, satunya lagi berasal dari negeri Jiran. Universiti Malaya pada ranking ke-65. Sejujurnya ini adalah sesuatu yang baru. Cukup membuat diri ini terperangah.Â
Penasaran dengan ranking perguruan tinggi Malaysia. Saya menemukan fakta selanjutnya yang lebih mengejutkan. Tujuh universitas di sana masih memiliki ranking yang lebih baik dari Universitas Indonesia.
**
Jika saya mau berpikit naif, tidak ada universitas dari Indonesia yang prestise dan negara kita belum bisa berbangga dengan sistem pendidikan tingginya.
Tapi, sekali lagi saya bukan praktisi pendidikan. Jadi kesimpulan ini adalah komentar asal-asalan dari seseorang yang tidak tahu apa-apa.
Akan tetapi, bisa saja ranking dunia sudah tidak lagi relevan bagi mahasiswa maupun calon mahasiswa di Indonesia.Â
Sebabnya menurut pendapat saya yang awam ini, lulus tes di Universitas Indonesia itu susahnya minta ampun. Jangankan universitas negeri, perguruan tinggi swasta saja susah. Buktinya, Kelly anak saya tidak lulus.
Kasus Kelly bukan satu-satunya. Saya masih ingat kejadian puluhan tahun yang lalu. Boy (nama samaran) adalah murid terpintar di SMA-ku. Ia tidak lulus tes di Universitas Negeri di kampung halamannya.
Akhirnya dengan susah payah, ia mencari program beasiswa studi ke luar negeri. Ternyata ia lolos. Dibiayai oleh kedutaan besar Jepang. Ia pun kuliah di Kyoto University. Merupakan universitas ke-2 terbaik di Jepang dan pada level dunia berada di ranking 33.
Apakah Boy kurang pintar menurut standar universitas di Indonesia? Saya kurang paham, tapi si Boy lulus Cum laude dengan double degree. Teknik Industri dan Teknik Mesin. Sekarang ia berkarya di luar negeri.
Saya kembali merenung. Apakah yang terjadi? Kemampuan akademik jelas tidak memiliki standar ganda. Kasarnya, kalau pintar ya pintar.
Jadi, dimana letak masalahnya dong?
Apakah karena keterbatasan tempat? Atau karena masalah birokrasi? Atau mungkin karena pendidikan di Indonesia memang memiliki standarnya sendiri?
Atau jangan-jangan memang karena masalah anggaran, seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Nadiem.
Saya belum bisa menjawab. Karena sampai hari ini saya masih penasaran, mengapa Kelly anak saya tidak lulus di PTS Indonesia pilihannya.
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H