Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Pengalamanku di India, King of Delay ada Dimana-mana

18 Mei 2022   06:17 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:24 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengalamanku di India, King of Delay ada Dimana-mana (sumber: dokpri)

Piala Thomas 2022 telah berakhir. Pada partai puncak di Impact Arena Bangkok, Thailand, Minggu 15/5/2022, tim Indonesia kalah telak 3-0 dari India.

Tiga poin disumbangkan oleh Laksya Sen, Kidambi Srikanth, dan pasangan ganda putra, Chirag Shetty/Satwiksairaj Rankireddy.

Kontingan Indonesia harus mengakui keunggulan tim India. Namun, tidak bagi warganet. Khususnya pada aksi ganda putra Shetty/Rankireddy. Mereka dianggap menunjukkan sikap tidak sportif dengan berbagai aksi nyeleneh.

Seperti bisik-bisik tidak jelas, menggoyang-goyangkan raket sebelum melakukan service. Belum lagi menggosok-gosokkan sepatunya pada lantai. Semuanya ditenggarai untuk menunda jalannya pertandingan.

Akibatnya umpire memberikan kartu kuning pada pasangan India ini. Apa daya, sudah terlanjur. Konsentrasi pasangan Indonesia Hendra/Ahsan sudah buyar. Strategi psywar pasangan India berhasil. Mereka menang dengan cara yang dianggap kurang menyenangkan.

Makanya, netizen Indonesia misuh-misuh. Bukan saja kesal dengan jalannya pertandingan. Tapi, prihatin dengan perasaan ganda putra Indonesia yang diobok-obok tidak karuan. Begitupun diriku.

Aku rapopo... Meminjam istilah Kompasianer AlPeb.

Yang kemudian mengingatkanku pada kunjungan ke India, 2017 silam. Tidak ada hubungannya dengan Piala Thomas tahun 2022 ini. Tapi, perasaan yang sama juga kualami; Diobok-obok tak karuan.

Kisah dimulai pada saat saya dan dua sahabatku, Dr. Ponijan Liaw dan Donny de Keizer berkunjung ke India. Kami mewakili asosiasi pembicara publik tempat kami bernaung, sebagai penerima rekor untuk kategori organisasi pembicara publik resmi pertama di Asia.  

Syahdan pikiranku pun seirama dengan gerakan hidungku, kembang-kempis. Mewakili delegasi Indonesia di ajang Internasional. Tentunya membanggakan.

Pada saat tiba di Bandara Internasional Indira Gandhi, New Delhi India, kami disambut oleh panitia sederhana. Bunga disematkan pada leher, foto-foto pun berlangsung meriah.

Dan ternyata memang sederhana, sebabnya yang menyambut kami hanya seorang lelaki. Dia tidak saja mewakili panitia penyambutan, tapi juga supir, porter, sekaligus karyawan hotel.

Ah betapa efisien kerjanya, begitu aku membatin.

Setibanya di hotel, instruksi singkat pun diberikan. Besok pagi panitia acara akan menjemput kami pukul 9.00. Untuk itu, sarapan pagi akan tersedia mulai pukul 7.00 tepat.

Tentunya kami tidak mau telat. Sebelum pukul 8.00 pagi pun kami sudah siap. Di dalam ruangan breakfast, kami menjumpai beberapa kontingen negara lain. Seingat saya, ada dari Vietnam, Thailand, dan juga Malaysia.

Pukul 8.30 kami sudah menunggu di lobi. Suasana sepi, tidak banyak yang terlihat. Masih ada setengah jam sebelum bis berangkat. Demikian pikirku.

Lalu untuk mengusir kebosanan, saya pun keluar dari hotel, menuju ke pintu depan. Di sana saya melihat sebuah bis penuh penumpang yang sudah bersiap-siap berangkat.

Iseng, aku bertanya kepada petugas security yang berada di sana, "mau kemanakah mereka?" Jawabannya, menuju ke tempat acara berlangsung pada hari itu. Sontak diriku masuk ke dalam hotel memanggil dua kawanku.

Adegan selanjutnya cukup menegangkan. Kami berlari-lari mengejar bis yang sudah setengah jalan. Untungnya sang security cukup sigap. Ia mengendarai motornya menghentikan bis. Laksana film CHiPs yang sering kutonton dulu di TVRI.

Di atas bis, semua delegasi sudah lengkap. Memandang kami dengan wajah yang datar. Saya sempat terheran-heran. Ini belum jam 9 pagi, sesuai informasi yang kami terima. Tapi, bis sudah berangkat. Apakah di India, masyarakatnya punya kebiasaan kerja lebih cepat dari waktu yang ditentukan?

Panitia pelaksana pun tidak bereaksi. Tidak meminta maaf karena lupa menyapa kami, dan juga tidak ada salam selamat pagi. Ia hanya lanjut menghitung jumlah penumpang di bis.

Syahdan acara berlangsung meriah. Tidak terlalu banyak yang hadir di sana. Hanya penerima award saja.

Perasaanku serasa diobok-obok. Ini adalah acara resmi internasional. Apakah kami sebenarnya tidak diundang? Mengapa tak satu pun panpel yang menyapa kami di pagi hari? Apa yang terjadi jika saya tidak melihat bis yang kadung berangkat?

Ya udah lah...

Keesokan harinya adalah acara hiburan bagi masyarakat. Inaugurasi para penerima award di atas panggung yang besar. Lokasinya di Siri Fort Auditorium. New Delhi.

Tidak mau terkecoh untuk kedua kalinya, kami sudah berada di depan hotel pukul 8.30 pagi. Dan memang benar, bis berangkat pukul 8.40.

Sekilas aku melihat, panitia mulai menghitung jumlah penumpang di atas bis yang sedang berjalan. Aman, pikirku. Tidak ada lagi yang tertinggal.

Tapi baru saja menghela napas panjang, diriku dikagetkan dengan ketukan keras pada badan bis. Ternyata, di luar jendela sang security yang beraksi menjadi CHiPs kemarin mengulangi aksinya. Mengejar bis dengan sepeda motornya.

Nampak ia membonceng seorang tua yang kelihatan terpelajar. Ia juga adalah peserta acara, delegasi dari Bangladesh. Alamak! Entah bagaimana cara kerja panitia. Lalu untuk apa menghitung jumlah peserta tapi tidak paham siapa yang tertinggal.

Sekali lagi, ya udah lah...

Di Siri Fort Auditorium tempat acara berlangsung, ramai pengunjung padat merayap. Aku memperkirakan ada ribuan orang di sana. Kami duduk di tempat terhormat, pada baris ketiga dekat panggung.

Ketika acara dimulai, masih banyak pengunjung yang berdiri. Tidak heran jika pembukaan acara ditunda selama hampir satu jam. Dua pembawa acara yang sudah terlanjur naik ke atas panggung hanya sibuk berteriak-teriak. 

Meminta semua pengunjung untuk duduk sesuai nomor kursi yang tertera pada tiket masuk.

Tapi, tetap saja semuanya berdiri...

Di samping kami bahkan ada sekitar 3-4 orang pemuda yang berdiri di sana. Mereka panitia, demikian pikirku. Ternyata dugaanku salah. Ketika saya berdiri untuk buang air kecil, laksana serigala, si India ini langsung mengisi kursiku. Amsiong...

Perdebatan pun terjadi, saya tidak mau kalah. Tapi, sepertinya ia tidak mengerti bahasa Inggris. Untungnya ada panitia yang melihatnya. Bahasa India campur gertakan mampu membuatnya berdiri. Kursiku pun aman.

Setelah sejam delay, acara akhirnya dimulai. Tidak peduli lagi para undangan yang masih berdiri tegap di tengah stadium. Mungkin sudah begitu tabiat di sana. Entahlah.

Acara dibuka oleh tari-tarian ala Bollywood. Meriah terlihat dengan cahaya lampu warna-warni.

Pertunjukan selanjutnya adalah dari seorang anak berusia 12 tahun. Ia adalah juara internasional panahan yunior dari India. Pembawa acara memintanya untuk memanah sasaran yang sudah disiapkan.

Lesatan pertama, penonton bertepuk tangan. Lesatan kedua, demikian juga. Lesatan ketiga, tidak kalah meriah.

Tiga anak panah seharusnya cukup menghibur. Pembawa acara pun menghampiri sang anak yang berdiri bersama ayahnya. Memintanya untuk berhenti.

Ternyata belum selesai. Sang ayah kelihatan tidak senang. Ia berargumen dengan pembawa acara. Misuh-misuh sambil menunjuk ke arah tempat anak panah. Astagafirullah, mungkin ada sekitar lima puluhan.

Pembawa acara pun mengalah. Sang anak menghabiskan waktu hampir setengah jam di atas panggung untuk melesatkan 50an anak panah pada sasarannya.

Acara selanjutnya diisi oleh pertunjukan dari para pemegang rekor lainnya. Terlalu panjang jika diuraikan di sini. Khwatirnya luka pembaca atas insiden delay tim Thomas Cup India kembali terkoyak. Eh...

Singkat cerita, acara inaugurasi berlangsung singkat. Lebih cepat dari melesatnya 50an anak panah dari salah satu putri terbaik India. Dr. Ponijan mewakili delegasi Indonesia naik ke atas panggung. Acara pun selesai, singkat dan padat. Saya pun merelakan kursiku disantap oleh serigala-serigala kelaparan yang masih berdiri di sampingku.

Pikiranku kembali kepada aksi delay pasangan Thomas Cup India, Shetty/Rankireddy. Sejujurnya kita harus mengakui, mereka memang lebih unggul.

Terlepas dari julukan King of Delay yang disematkan kepada Shetty, mungkin kita harus memaklumi. Pengalamanku di India lima tahun lalu telah membuktikan. Terlalu banyak King of Delay di sana.

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun