Pembicaraan malam hari ini di meja makan membahas mengenai situasi politik di Filipina. Bongbong Marcos anak mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos unggul dalam perhitungan cepat.
Ia berhasil mengalahkan pesaing terdekatnya, Leni Robredo dengan selisih suara hampir dua kali lipat. Membuat dirinya hampir pasti menjadi Presiden Filipina berikutnya.
Tapi, pembicaraan kami bukanlah tentang Bongbong, melainkan tentang ayahnya yang legendaris, Ferdinand Marcos. Semua orang mengetahuinya, kecuali mama.
Mama tidak terlalu suka dengan tema politik, ia juga tidak mengenal Marcos. Tapi akhirnya ia tahu, setelah papa mengingatkannya tentang ibu negara yang mengoleksi 3000an pasang sepatu. Â
Peristiwa 36 tahun yang lalu tidak banyak tersimpan di memoriku. Saya hanya mengingat peristiwa pembunuhan tokoh opisisi Filipina, Benigno Aguino pada 1983 silam. Lalu tiga tahun kemudian, istrinya Corazon Aquino menjadi presiden.
Selebihnya tidak terlalu banyak lagi. Maklum di zaman bapakmu, berita sangat terbatas. Koran dan televisi menyuarakan penyebab Marcos ditumbangkan. Ia ditenggarai secara licik mencurangi hasil pemilu. Sesuatu yang sangat "tidak mungkin" terjadi di era Orde Baru.
Lalu ada juga bisik-bisik tentang korupsi yang ia lakukan. Tidak tahu seberapa banyak, tapi cukup banyak untuk membeli 3000 pasang sepatu.
Hanya sampai di situ. Cukup sampai di situ.
Setelah Bongbong terpilih menjadi presiden, saya lalu berasumsi. Seharusnya apa yang dulu dilakukan Marcos tidaklah keterlaluan amat. Buktinya, anaknya bisa terpilih menjadi presiden.
Pun halnya dengan korupsi. Duit yang digunakan untuk membeli ribuan pasang sepatu memang banyak, tapi crazy rich zaman now juga masih lebih hebat. Lagipula Imelda dulunya adalah ibu negara Filipina. Tidak terlalu sulit tentunya.