Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mafia Terungkap, Kembalikan HET Minyak Goreng!

20 April 2022   06:09 Diperbarui: 20 April 2022   06:18 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mafia Terungkap, Kembalikan HET minyak goreng (gambar: money.kompas.com)

Mafia minyak goreng yang digadang-gadangkan Mendag M.Lutfi pun terbukti. Selasa 19 April 2022, empat orang menjadi tersangka.

Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, berinisial IWW sebagai tersangka. Terlibat juga tiga orang dari pihak swasta.

Mereka adalah Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT; Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group, berinisial SMA; dan General Manager PT. Musim Mas berinisial PT.

Menurut Jaksa Agung, permasalahannya adalah ketiga perusahaan swasta tersebut mendapatkan izin ekspor dari IWW tanpa memenuhi kuota 20% DMO. Akibatnya harga CPO dalam negeri melambung tinggi.

Jaksa Agung juga mengatakan jika perbuatan keempat tersangka ini mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara. Kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga melambung tinggi.

Carut marut harga dan stok minyak goreng sudah mulai muncul sejak akhir 2021. Lalu pada bulan Februari Kemendag menetapkan HET tertinggi 14.000. Tapi, stok justru hilang di pasaran.

Akhirnya kebijakan HET dicabut pada 16 Maret 2021. Harga minyak goreng dibiarkan melambung. Kemendag memprediksikan mekanisme pasar bebas akan menurunkan harga dan menormalkan stok.

Nyatanya tidak demikian. Hingga hari ini harga masih tinggi, meskipun minyak goreng sudah tidak hilang lagi di pasaran.

Pantaslah Kemendag pusing. Dari situlah istilah mafia minyak goreng mulai muncul. Menurut Menteri Perdagangan, para mafia ini ada tiga kriterianya.

Mereka yang terlibat adalah (i) penimbun minyak goreng yang menjual ke pasar luar negeri, melakukan pengepakan ulang untuk dijual ke pasar domestik, dan menjual ke industri menengah dalam negeri.

Sebelum penetapan empat tersangka oleh Kejagung, Kemendag belum juga menyerah mengusut kasus ini. Alih-alih menstabilkan harga seperti penentuan HET, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri malah menyetor data 30.000 distributor minyak goreng di seluruh negeri.

Data tersebut dikaitkan dengan jumlah kuota yang diterima dan disalurkan. Buktinya adalah perbandingan data stok dan pengdistribusian minyak goreng di daerah tempat distributor.

Tentu saja, jika 30.000 distributor menjadi tersangka, maka kepolisian dan kejaksaan akan repot mengusutnya. Mungkin lebih mudah menetapkan empat orang saja.

Tapi, apakah benar keempat tersangka adalah penyebab munculnya permasalahan minyak goreng di seluruh negeri? Masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab.

Seperti, berapa besar ekspor yang dilakukan oleh ketiga perusahaan swasta tersebut, mengingat masih banyak esportir minyak goreng lainnya.

Andaikan ketiga tersangka swasta memenuhi kuota 20% DMO, apakah stok tidak akan lenyap di pasaran dan harga minyak goreng akan stabil?

Selanjutnya lagi, apakah IWW sebagai Dirjen Perdagangan Luar Negeri mengeluarkan izin tanpa sepengetahuan Kemendag?

Jika dilihat penetapan tersangka dan arah telunjuk Kemendag, sepertinya ada perbedaan arah.

Penyebab stok langka dan harga tinggi minyak goreng bukan persoalan ekspor saja. Harga CPO dunia meroket, tentu itu adalah tawaran yang menggiurkan. Jangankan produsen, pemerintah pun diuntungkan.

Imbasnya adalah ketersediaan stok dan disparitas harga dalam negeri. Ketika harga minyak goreng melambung, kebutuhan minyak goreng bagi masyarakat tetap saja tinggi.

Lalu banyak pihak yang memanfaatkan. Membeli minyak goreng untuk ditimbun karena takut harganya naik semakin tinggi. Akibatnya berapa pun harga yang beredar di pasaran, tetap saja dibeli.

Sesekali harga dibawah pasaran masih ditemukan. Para pelaku pasar, dari pedagang hingga ibu rumah tangga pun memborong dan menjualnya kembali. Lumayan buat menutupi ongkos hidup yang semakin tinggi. Itu katanya.

Lalu BLT minyak goreng didistribusikan. Totalnya 6,19 triliun selama tiga bulan. Penerimanya bersyarat, hanya bagi penerima sembako murni sebanyak 10,65 juta orang. Tidak sampai 5% dari seluruh rakyat Indonesia.

Jadi, mekanisme pasar bebas memang bikin suasana tambah runyam. Perlu dipahami jika inflasi bulan Maret adalah 0,66%. Minyak goreng hanya memberikan kontribusi sebesar 0,04%. Kecil memang.

Tapi, pada saat HET ditetapkan, inflasi minyak goreng minus 0,11%. Saya pikir angka ini cukup jelas.

Terkadang bola liar memang harus ditangkap. Saya bukanlah ekonom, tetapi kenapa sih pemerintah tidak menetapkan saja HET yang sesuai?

Bisa saja karena mekanisme ini dikhwatirkan menimbulkan kelangkaan stok lagi. Bisa juga bisa berakibat kepada kerugian ekonomi negara. Bisa juga karena pasar internasional memang menggiurkan.

Tidak ada yang tahu.

Bagi rakyat sendiri, bukan masalah angka 14.000 atau 30.000. Yang penting harga minyak goreng stabil, sehingga anggaran rumah tangga tidak perlu bantuan ventilator lagi. Para pelaku usaha juga bisa duduk tenang, tidak grasa-grusu, dan tidak was-was bakal dicap sebagai tukang timbun.

**

Referensi: 1 2 3 4 5

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun