Sesekali harga dibawah pasaran masih ditemukan. Para pelaku pasar, dari pedagang hingga ibu rumah tangga pun memborong dan menjualnya kembali. Lumayan buat menutupi ongkos hidup yang semakin tinggi. Itu katanya.
Lalu BLT minyak goreng didistribusikan. Totalnya 6,19 triliun selama tiga bulan. Penerimanya bersyarat, hanya bagi penerima sembako murni sebanyak 10,65 juta orang. Tidak sampai 5% dari seluruh rakyat Indonesia.
Jadi, mekanisme pasar bebas memang bikin suasana tambah runyam. Perlu dipahami jika inflasi bulan Maret adalah 0,66%. Minyak goreng hanya memberikan kontribusi sebesar 0,04%. Kecil memang.
Tapi, pada saat HET ditetapkan, inflasi minyak goreng minus 0,11%. Saya pikir angka ini cukup jelas.
Terkadang bola liar memang harus ditangkap. Saya bukanlah ekonom, tetapi kenapa sih pemerintah tidak menetapkan saja HET yang sesuai?
Bisa saja karena mekanisme ini dikhwatirkan menimbulkan kelangkaan stok lagi. Bisa juga bisa berakibat kepada kerugian ekonomi negara. Bisa juga karena pasar internasional memang menggiurkan.
Tidak ada yang tahu.
Bagi rakyat sendiri, bukan masalah angka 14.000 atau 30.000. Yang penting harga minyak goreng stabil, sehingga anggaran rumah tangga tidak perlu bantuan ventilator lagi. Para pelaku usaha juga bisa duduk tenang, tidak grasa-grusu, dan tidak was-was bakal dicap sebagai tukang timbun.
**
**