Sebelum penetapan empat tersangka oleh Kejagung, Kemendag belum juga menyerah mengusut kasus ini. Alih-alih menstabilkan harga seperti penentuan HET, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri malah menyetor data 30.000 distributor minyak goreng di seluruh negeri.
Data tersebut dikaitkan dengan jumlah kuota yang diterima dan disalurkan. Buktinya adalah perbandingan data stok dan pengdistribusian minyak goreng di daerah tempat distributor.
Tentu saja, jika 30.000 distributor menjadi tersangka, maka kepolisian dan kejaksaan akan repot mengusutnya. Mungkin lebih mudah menetapkan empat orang saja.
Tapi, apakah benar keempat tersangka adalah penyebab munculnya permasalahan minyak goreng di seluruh negeri? Masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab.
Seperti, berapa besar ekspor yang dilakukan oleh ketiga perusahaan swasta tersebut, mengingat masih banyak esportir minyak goreng lainnya.
Andaikan ketiga tersangka swasta memenuhi kuota 20% DMO, apakah stok tidak akan lenyap di pasaran dan harga minyak goreng akan stabil?
Selanjutnya lagi, apakah IWW sebagai Dirjen Perdagangan Luar Negeri mengeluarkan izin tanpa sepengetahuan Kemendag?
Jika dilihat penetapan tersangka dan arah telunjuk Kemendag, sepertinya ada perbedaan arah.
Penyebab stok langka dan harga tinggi minyak goreng bukan persoalan ekspor saja. Harga CPO dunia meroket, tentu itu adalah tawaran yang menggiurkan. Jangankan produsen, pemerintah pun diuntungkan.
Imbasnya adalah ketersediaan stok dan disparitas harga dalam negeri. Ketika harga minyak goreng melambung, kebutuhan minyak goreng bagi masyarakat tetap saja tinggi.
Lalu banyak pihak yang memanfaatkan. Membeli minyak goreng untuk ditimbun karena takut harganya naik semakin tinggi. Akibatnya berapa pun harga yang beredar di pasaran, tetap saja dibeli.