Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanah-Air Kendi Nusantara dari Sulsel, Asalnya dari 2 Tempat Sakral Ini

16 Maret 2022   05:27 Diperbarui: 16 Maret 2022   05:56 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanah-Air IKN Nusantara dari Sulsel (gambar diolah pribadi dari twitter @ganjarpranowo, MI/Lina Herlina via mediaindonesia.com dan Agung Pramono/detikSulsel via detik.com )

Acara Ritual Kendi Nusantara keren, bukan karena kepala negara dan 33 kepala daerah berkumpul di sana untuk berkemah.

Tapi, karena konsep tanah-air dari seluruh daerah Indonesia yang ditampung dalam sebuah wadah.

Jadinya untuk pertama kali, Tanah Air Indonesia bercampur menjadi satu secara simbolis. Selanjutnya kendi tersebut akan diletakkan persis di titik nol IKN Nusantara.

Sederhana, tapi memiliki filosofi yang dahsyat.

Saya sempat berpikir, dari manakah Gubernur Sulsel mengambil sampel tanah dan air? Karena seharusnya konsep besar Kendi Nusantara juga bisa ditiru. Mengambil tanah dan air dari 24 Kabupaten Kota se-provinsi di Sulsel.

Ternyata saya salah. Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman punya ide yang lebih keren. Tanah berasal dari Bangkalae, Kabupaten Bone. Sementara air dari sumur Masjid Katangka, Kabupaten Gowa. Ada apa? Ada sejarahnya.

Tanah Bangkalae Simbol Perdamaian Tiga Kerajaan Besar

Tanah Bangkalae berada tepat di titik nol kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Menjadi lokasi raja-raja Bone zaman dulu dilantik.

Tanah Bangkalae punya nama lain, Ri Tappa Dewata. Artinya tanah yang diberkati Tuhan Yang Maha Esa).

Tanah di lokasi tersebut dianggap sakral, karena sejarahnya. Di sana tanah dari 3 kerajaan besar di Sulsel bergabung menjadi satu, yakni; Kerajaan Bone, Kerajaan Gowa, dan Kerajaan Luwu.

Penggabungan tanah ini memaknai bersatunya perdamaian antar tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Saat prosesi Tanah Bangkalae diadakan, ketiga kerajaan ini juga sepakat untuk tidak saling menyerang satu sama lainnya.

Adalah Arung Palakka yang berinisiatif untuk mendamaikan tiga kerajaan besar ini. Untuk itu, ia mengawinkan dua kemenakannya, masing-masing dengan putri Raja Gowa dan Raja Luwuk di masa itu.

Ada yang menarik, tanah dari ketiga lokasi tersebut bukan saja berbeda. Tapi karakternya juga berbeda.

Tanah Tompo Tikka dari Luwu berwarna putih, Tanah Tamalate yang dibawa oleh Kerajaan Gowa berwarna merah kehitam-hitaman. Sementara Tanah Palakka di Kerajaan Bone berwarna kuning.

Setelah digabungkan, maka warna yang dihasilkan adalah jingga. Dalam Bahasa Bugis, warna tersebut disebut Bangkala. Jadilah Tanah tersebut bernama Bangkalae.

Menarik untuk melihat inisiasi perdamaian yang dilakukan oleh Arung Palakka. Sejak Perjanjian Bungaya pada 1667, Arung Palakka melakukan prinsip Tellu Cappa. Tellu berarti tiga, dan Cappa artinya ujung.

Tellu Cappa adalah Cappa Lila (ujung lidah), Cappa Kawali (ujung badik), dan Cappa Lamaraupe (ujung kemaluan).

Cappa Lali disimbolkan sebagai diplomasi, menjaga hubungan dengan azas saling menguntungkan. Cappa Kawali melambangkan perjuangan dalam perang.

Sementara Cappa Lamaraupe menandakan pernikahan politik. Strategi ini terbukti berhasil, karena sejak saat itu, tidak ada lagi peperangan antar ketiga Kerajaan Besar ini.

Sumur Masjid Al Hilal Katangka

Masjid Katangka adalah salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, peninggalan Raja Gowa. Ada dua versi tentang tahun pembangunannya.

Yang pertama adalah pada 1603, pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Daeng Manrabbia (1596-1639).

Raja yang bergelar Sultan Alauddin I ini adalah raja Gowa yang pertama kali menganut agama Islam. Pembangunan Masjid ini bersamaan dengan dijadikannya Islam sebagai agama resmi Kerajaan Gowa.

Versi lain mengatakan bahwa masjid ini dibangun pada abad ke-18 Masehi. Tepatnya pada 1886 saat Sultan Idris Tuminanga memerintah (1893-1895).

Informasi ini bersumber dari prasasti bertulisan Arab dalam bahasa Makassar, yang tertera di bagian pintu-pintu Masjid.

Nama Katangka sendiri berasal dari nama daerah di mana masjid tersebut didirikan, tapi ia juga berasal dari nama sejenis pohon.

Lokasi Mesjid Katangka berada di samping makam Sultan Hasanuddin, Raja Gowa yang telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, atas perjuangannya melawan Belanda.

**

Lengkaplah sudah tanah-air dari Sulawesi Selatan yang menyatu di Kendi Nusantara. Membawa makna mendalam, pesan perdamaian rakyat Sulsel dari tiga abad yang lalu, kini telah menyatu di ibu kota baru.

Menarik untuk mengutip pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD; "Penyatuan tanah-air dari 33 provinsi sebagai bentuk adat untuk mempersatukan seluruh keberagaman yang ada di NKRI."

Dari Sulsel sudah mewujudkannya. Makna perdamaian yang diwariskan oleh para leluhur, kini telah bertransformasi di bumi Nusantara. Sebagai pengingat kepada bangsa Indonesia, bahwa perdamaian dan persatuan adalah di atas segalanya.

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun