Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kisah Habibie, Yahudi, dan Al Quran

19 Februari 2022   04:20 Diperbarui: 19 Februari 2022   04:30 3773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar Dari Kisah Habibie, Yahudi, dan Al-Qur'an (sumber: law-justice.co)

Mengutip dari sumber [2], istilah Yahudi bisa berarti agama, atau suku bangsa (etnis). Etnis Yahudi tidak semuanya beragama Yahudi, tetapi juga beridentitas Yahudi dari sisi tradisi.  

Jika ditilik dari sisi etnis, selain agama Yahudi (Judaism), juga ada yang memilih tidak beragama (sekularisme), Kristen dari berbagai aliran. Bahkan ada pula beragama Islam yang biasa dikenal dengan sebutan "Jews for Allah". Dan mereka membaca Al-Qur'an dalam Bahasa Ibrani. [3]

Andaikan Yahudi yang dimaksud oleh Habibie adalah Yahudi yang beragama Islam, maka tentu ini adalah kisah inspiratif.

Menandakan bahwa Islam adalah ajaran universal yang tidak pernah membedakan suku. Jadi, apapun etnis seseorang, itu tidak akan pernah menjadi penghalang untuk memeluk agama Islam.

Sumber [1] dalam kisah tersebut menyimpulkan dua hal sederhana, yakni:

1) Al-Qur'an mampu memberikan ketenangan bagi pembacanya yang berujung kepada peningkatan konsentrasi yang tinggi.

2) Bagaimana Habibie yang seorang muslim dapat belajar keutamaan Al-Qur'an dari seseorang yang non-muslim.

Buat saya sendiri, terlepas dari kesimpulan 1 dan 2 di atas, seseorang yang berpikiran terbuka seyogyanya tidak menghalangi dirinya untuk mempelajari agama orang lain.

Saya pernah dibuat terkejut dengan seorang kawan pendeta muda. Ia dengan gamblang mengatakan bahwa ajaran Buddha (Dhamma) sering menjadi rujukannya dalam membawa kotbah.

Ketika saya bertanya, dari sisi mana Anda melihat? Ia hanya berkata bahwa kebajikan itu universal tanpa memandang suku, agama, atau rasnya.

Lantas apakah keimanan kawan saya ini akan goyah? Yang pasti hingga saat ini ia masih berprofesi sebagai pendeta Kristen. Bonusnya, kami sering berdiskusi tentang agama masing-masing. Tanpa perdebatan, tanpa pertengkaran.

Begitu pula dengan seorang Uztad yang namanya tidak saya sebutkan. Ia sering berada di Vihara untuk berdiskusi tentang "kebaikan universal" dengan seorang Bhikkhu di kota Makassar.

Ketika saya turut nimbrung, tanpa segan-segan beliau juga mengutip beberapa ayat Al-Qur'an dalam pembicaraan. Saya dan sang Bhikkhu tentu mendengarkan juga dengan penuh perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun