Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Disejajarkan dengan Soeharto, Otakmu Bagaimana?

16 Februari 2022   04:39 Diperbarui: 16 Februari 2022   04:47 1725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi Disejajarkan dengan Soeharto, Otakmu Bagaimana? (sumber: instagram@yayasanlbhindonesia)

Berulang kali saya berpikir, apakah pantas menulis tentang kasus yang lagi viral ini? Saya bukanlah penulis opini dan tidak terlalu suka menulis politik.

Saya tidak pernah mau terjebak dalam fraksi pembelaan atau pengukuhan. Setiap orang punya hak politik, dan bagi saya cukup pada saat "hari nyoblos" saja.

Saya menuliskan artikel ini hanya untuk menyuarakan unek-unek saya. Saya berharap agar para pembaca bisa membacanya sampai tuntas.

**

Tema "Jokowi disejajarkan dengan Soeharto" menjadi polemik. YLBHI menyertakan pada unggahannya tentang "10 Persamaan Pemerintahan Jokowi & Orde Baru."

Dari kesepuluh poin yang saya baca, hanya nomor satu yang rada "lumayan sopan". Tapi, itupun hanya setengah kalimat; Mengutamakan pembangunan fisik... [...].

Tidak heran jika kasus ini lantas bikin heboh. Terjadi pro dan kontra dalam masyarakat.

Muhammad Isnur, Ketua YLBHI mengutarakan unggahan tersebut adalah bentuk kebebasan demokrasi. Seharusnya pemerintah berkaca, lagipula ini tidak menyerang pribadi presiden.

"Dijamin oleh konstitusi dan UUD 1945, salahnya di mana?" Pungkasnya.

Lebih lanjut, Isnur juga mengungkapkan jika pernyataan tersebut berdasarkan temuan dari 40 Koalisi Masyarakat yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia.

"Itu adalah temuan dari masyarakat sipil yang disampaikan ke pemerintah," ungkap Isnur.

Sementara pihak yang berseberangan berkata jika Jokowi jelas jauh lebih baik. Di zaman Orde Baru, partai politik hanya menjalankan fungsi "lip service". Sementara di zaman Jokowi, mereka bebas mengutarakan pendapat.

Ali Mochtar Ngabalin sebagai Staf Ahli KSP berpendapat jika kritik seharusnya melihat permasalahan secara keseluruhan. Bukan atas azas setengah-setengah.

Ia juga menyarankan untuk melihat hal-hal baik yang sudah dilakukan Jokowi, seperti MRT dan bagi-bagi sertifikat.

"Harap gunakan hati dalam penilaian," kata Ngabalin.

**

Saya berandai-andai. Misalkan "10 Persamaan Pemerintahan Jokowi & Orde Baru" berisikan hal-hal yang baik, apakah yang terjadi?

Jelas foto dan judul yang sama, tidak akan se-seram penampakannya. Tidak akan menimbulkan polemik yang heboh dan tidak akan seviral ini.

Lagipula politik biasanya gaduh. Kalau tidak bikin mumet, tidak akan mendapat perhatian. Prinsip dan keyakinan memang sangat sensitif untuk diperdebatkan.

Jadi, pertanyaan saya tidak relevan lagi. Jika hal baik Soeharto dan Jokowi yang dibahas, maka tulisan ini mungkin tidak akan pernah ada.

**

Saya kembali berpikir. Apakah Orde Baru memang seburuk itu, sehingga pihak tertentu menggunakannya untuk mengkritik pemerintahan Jokowi?

Mengutip pertanyaan Ngabalin, "memangnya tidak ada hal-hal baik dalam pemerintahan Jokowi?"

Begitu juga saya bertanya, "memangnya tidak ada hal-hal baik dalam pemerintahan Soeharto?"

Ingat sempat ada slogan "piye kabare? Enak jamanku toh?"

Tentunya ini adalah slogan kerinduan terhadap masa-masa keemasan Soeharto. Sebutkanlah, swasembada pangan, harga sembako yang stabil, inflasi rendah, hingga stabilitas keamanan yang terjamin.

Apakah saya pro-Soeharto? Oh tidak, saya hanya mencoba (meskipun masih berusaha) untuk melihat segala sesuatu dari yang baik-baiknya saja.

Apakah saya pro-Jokowi? Jelas bukan. Karena pada 2019 saya mencoblos Prabowo, tetapi saya tidak pernah menyesal Jokowi yang terpilih.

Mengapa? Karena saya menghargai keputusan mayoritas. Saya tidak mau menjadi minoritas yang dibenci atau membenci.

Semoga ini bisa menyadari mereka yang berkata; "Jokowi bukanlah presiden pilihanku."

Kita melihat berbagai peristiwa bersejarah dalam era setiap presiden Indonesia. Ada momen yang membanggakan terisi dalam setiap masa pemerintahan.

Mengapa peristiwa-peristiwa itu tidak kita gunakan menjadi sebuah persamaan? Mengapa momen itu tidak bisa kita rayakan sebagai kejayaan bangsa ini?

Karena kita sudah terbiasa hidup untuk melihat hal-hal buruk lebih besar. Sebagaimana pepatah, akibat nila setitik rusaklah susu sebelanga.

Nyatanya nila bukanlah berasal dari keputusan Presiden atau serangan alien (mungkin). Nila itu berasal dari pikiran kita. Itulah manusia.

Sedikit berpasrah kepada Tuhan. Setiap pemimpin akan muncul pada masanya. Hitler mungkin kejam, tapi itu adalah takdir Jerman. Prabowo mungkin bisa menjadi presiden yang lebih baik, tapi itu juga adalah takdir dari bangsa Indonesia.

Jadi, andaikan, andaikan saja, kita semua berpikir selaras, bahwa Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, maka seharusnya kita bisa menerima nasib kita:

Bahwa setiap presiden adalah yang terbaik bagi negeri ini.

Hingga akhirnya kalimat "Jokowi disejajarkan dengan Soeharto" akan terdengar lebih menyejukkan.

Demikian pula dengan Soekarno, BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno, dan SBY. Semuanya pantas disejajarkan.

Jadi, masihkah kita harus memperdebatkan "10 Persamaan Pemerintahan Jokowi & Orde Baru?" Tergantung otakmu bagaimana.  

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun