Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Blusukan Ghaib Soeharto dan Tradisi "Kou Shou Li"

6 Februari 2022   04:48 Diperbarui: 6 Februari 2022   05:31 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis jadinya mengingat kisah legenda China tentang makna Kou Shou Li. Pernahkah kamu melihat kebiasaan orang tionghoa yang mengetuk-ngetukkan kedua jarinya ke atas meja pada saat dituangkan teh?

Secara harafiah, Kou Shou Li berarti etika tangan yang mengetuk. 

Nah, tradisi tersebut juga merupakan kebiasaan yang diwariskan turun-temurun dari hasil blusukan Qian Long Huangdi, Kaisar China pertama.

Kaisar Qian Long ini terkenal sebagai seorang raja yang senang terjun langsung ke masyarakat. Ia tidak segan membaur dengan rakyat jelata, karena memang ingin melihat langsung kondisi rakyatnya.

Kaisar ini tidak mau ada bawahannya yang menyembunyikan sesuatu darinya, atau melebih-lebihkan prestasinya.

Akan tetapi, karena posisi Kaisar zaman dulu sudah setara dewa, maka blusukan tersebut harus benar-benar rahasia. 

Alkisah pada suatu hari saat sang Kaisar sedang menyamar, mereka pun singgah ke sebuah kedai teh di kota Suzhou. Qian Long duduk bersama dengan para pengawalnya pada satu meja.

Tanpa disangka, sang kaisar melakukan sebuah tindakan yan bikin para pengawalnya gemetar ketakutan.

Ia menuangkan teh untuk dirinya sendiri, lalu menuangkan teh juga kepada para pengawal. Ketakutan dan panik, para ajudan ingin langsung berlutut, namun sang kaisar dengan segera melarang mereka.

Dalam keadaan yang masih kebingungan, salah satu dari pengawal tersebut langsung mengetuk dua jarinya sebanyak tiga kali sebagai tanda berlutut dan pai kui (menyembah). Hal ini kemudian diikuti oleh pembantu-pembantu kaisar lainnya.

Syahdan, kisah tersebut begitu cepat menyebar, sehingga kemudian berubah menjadi etika bagi warga Tionghoa di atas meja makan. Hingga kini, kebiasaan ini masih menjadi bagian dari budaya Tionghoa yang tak lekang oleh waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun