Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Grammar Nazi: "It's My Dream, Mas Bro, Not Urusan-mu"

15 Januari 2022   11:15 Diperbarui: 15 Januari 2022   11:21 3464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejujurnya diriku pernah mengalami situasi yang sama dengan serial "Layangan Putus." Tepatnya, sebagai Kinan (Putri Marino) ketika mengucapkan skrip terkenalnya;

"It's my dream, Mas. Not her!"

Kejadiannya sudah agak lama. Saat itu dalam keadaan agak sedikit panik, saya berbicara dalam bahasa keminggrisan sebagai penekanan. Lantas, Masbro (nama samaran), seorang sahabat dari Amerika yang sudah lama di Indonesia,  datang sambil misuh-misuh.

Bukan atas maksud yang ingin kusampaikan, tapi dari sisi tata-bahasa (grammar). Ia berceloteh panjang ini dan itu. Tentang kaidah berbahasa Inggris serta contoh-contohnya.

Anda bisa tahu suasana hatiku? Seperti Layangan Putus. Momen itu tidak tepat karena banyak urusan yang harus segera diselesaikan. Jadilah jargon brutalku;

"It's my urusan, Mas. Not you!"

Begitu pula dalam seri Layangan Putus. Skrip terkenal dari Kinan itu kini menjadi bulan-bulanan di media sosial. Dialog terkenalnya itu dianggap salah secara grammar.

Seharusnya, "It's my dream, Mas. Not hers!" bukan her (tanpa s).

Kesalahan tersebut bahkan ramai menjadi diskusi hangat di twitter. Antara yang ngotot dan cin-chai.

Nah, fenomena Masbro sohibku dan kaum ngototan tersebut, memiliki istilahnya sendiri. Mereka disebut dengan Grammar Nazi.

Nazi sendiri berasal dari nama parpol pimpinan Hitler di Jerman dulu. Istilah ini sudah ada di Amerika sejak tahun 1960-an dan menjadi viral di berbagai media. Entah apa hubungan Nazi dan tata-bahasa.

Namun, ada juga yang menduga jika itu adalah penekanan. Fasisme dan Konsep Arya Nazi dianggap sebagai sebuah hal buruk plus suka memaksakan kehendak.

Dengan demikian, apakah konoiasi Grammar Nazi itu buruk? Mari kita ulik.

Kaum Grammar Nazi dianggap sebagai sekelompok manusia yang memiliki idealisme yang tinggi terhadap tata-bahasa Inggris. Betapa mulianya.

Mereka pun menjadi orang-orang yang sangat teliti dan sering mengoreksi kaidah berbahasa Inggris yang tidak tepat.

Sayangnya, sikap mereka seringkali dianggap menjengkelkan. Apalagi di era medsos seperti saat ini. Dianggap lancang.

Lantas tuduhan demi tuduhan pun datang menyerta. Ada yang mengatakan jika mereka adalah pengacau. Mengulik hal-hal yang tidak penting-penting amat.

Sering pula mereka menyertakan kosakata bahasa Inggris yang masih terasa asing bagi telinga Indonesia. Kemudian mereka dianggap tukang pamer. Mau menunjukkan keahlian berbahasa Inggrisnya.

Fanatisme mereka dianggap keterlaluan, mengoreksi tata-bahasa tanpa melihat siapa, kapan, dan di mana. Bagi mereka, kekeliruan grammar adalah hal yang sangat fatal.

Lantas siapakah mereka?

Bisa siapa saja kamu, kamu, atau kamu. Kadang pula (mungkin) termasuk diriku.

Kaum Grammar Nazi adalah orang normal yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukanlah fasis. Dan asumsi saya: Cinta Indonesia.

Faktor kepribadian tentu mempengaruhi. Menurut sebuah riset di Amerika Serikat (Kompas.com), Grammar Nazi kebanyakan adalah orang-orang introvert.

Penelitian yang dilakukan melihat adanya korelasi yang erat antara tipe kepribadian dan keinginan untuk mengoreksi kesalahan.

Introvert adalah tipe manusia yang cenderung lebih banyak menggunakan lobus frontal, alias bagian otak yang bertugas untuk merencanakan, memikirkan penyelesaian masalah, serta mengingat (alodokter.com).

Tapi, tentu tidak semua Introvert adalah Grammar Nazi.

Tiga Level Grammar Nazi

Masih dari Kompas.com. Ada tiga jenis Grammar Nazi dengan ciri-khasnya masing-masing.

Pertama. Level Pemula: Biasanya lebih sopan dan halus ketika mengoreksi grammar.

Kedua. Level Pengalaman: Bersikap lebih keras, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Ketiga. Level Akut: Selain bersikap keras mengoreksi, mereka juga ingin diakui kemampuannya. Show-off biasanya terjadi pada level ini.

Pada level pertama, koreksi biasanya hanya dilakukan pada orang-orang yang dikenal saja. Kalau pun di media sosial, itu hanya karena kebetulan mereka melihatnya.

Sedangkan pada level kedua dan ketiga, mereka akan mencari waktu khusus untuk mencari kesalahan pada setiap bacaan. Baik pada konten atau di kolom komentar.

Ketidak Sempurnaan Grammar Nazi

Si Grammar Nazi memiliki kecenderungan untuk mengutamakan tata-bahasa dibandingkan makna sesungguhnya yang ingin disampaikan. Perilaku ini sudah menjadi kebiasaan, dan mereka nyaman dengannya.

Bagi Grammar Nazi, apa yang mereka lakukan itu adalah hal yang benar. Sama sekali tidak seperti apa yang dituduhkan kepada mereka - Ingin pamer dan sok tahu.

Sayangnya, keinginan untuk berbahasa sempurna terkadang membuat mereka tidak sempurna. Di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama pun memiliki konsep yang berbeda terhadap kaidah berbahasa.

Ada beberapa jenis bahasa Inggris yang beredar di dunia. Aturannya berbeda-beda Ada American English dan juga versi British. Jangan lupa, ada pula Black English yang juga sahih, meski kaidahnya sedikit lebih unik.

Ini belum termasuk bahasa prokem atau selera kekinian dalam berbahasa. Belum lagi kosakata baru yang terus-menerus diupdate oleh Oxford Dictionary.

Kecuali jika Grammar Nazi adalah seseorang yang berprofesi di bidang linguistik atau literasi, maka segala perkembangan tentu akan susah diikuti.

Oleh sebab itu, para Grammar Nazi kerap kali terjebak dalam persoalan idealisme serta pengetahuan yang setengah-setengah. Melihat dunia berdasarkan apa yang mereka pahami, padahal otak tidak sebesar daun kelor.

Apakah Menjadi Grammar Nazi Salah?

Tentu saja mengoreksi grammar adalah hal yang baik. Sah-sah saja. Tetapi, tidak semua orang ingin dikoreksi.

Apalagi di Indonesia. Inggris bukan lingua franca. Keminggrisan sudah menjamur, dianggap menganggu, tapi sudah jadi candu. Akhirnya dibiarkan saja.

Lagipula, jika ada satu-dua kaidah kata atau kalimat yang tidak tepat, itu bukan karena kesengajaan.

Ingat sobat, bahasa itu beradaptasi. Ada Singlish (Singapore English), Hong Kong sebagai bekas jajahan Inggris juga punya Cantonese English.

Padahal kedua negara ini memiliki tingkat penggunaan bahasa Inggris yang lebih tinggi dari Indonesia. Jadi, wajar lah jika bahasa Inggris orang Indonesia tidak perlu sempurna-sempurna amat.

Buat saya sih, bahasa Inggris itu penting. Tapi, tidak sepenting bahasa Indonesia.

Daripada kamu, kamu, dan kamu menjadi Grammar Nazi. Mending kamu jadi Tata-bahasa Kamikaze.

Eh apa pula itu?

Bahasa Indonesiamya Grammar adalah Tata-bahasa. Indonesia tidak pernah merasakan secara langsung kekejaman Nazi, tapi Jepang iya. Jadilah istilah ini: Tata-Bahasa Kamikaze.

Oh ya, bagaimana dengan Masbro yang sudah bikin Layanganku Putus. Saya menyuruhnya untuk belajar bahasa Indonesia saja, karena toh dirinya telah mengawini orang Indonesia.

Tidak perlu sok tahu tentang bahasa Inggris yang tidak penting-penting amat. Belajarlah Bahasa Indonesia, kalau tidak ingin di-Kamikaze oleh saya.

"Andestan kah, You, sir?"

**

Referensi: 1 2 

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun