Hai aku yang ada di zamanmu. Masih teringat, itu saatnya hidup kita sedang amburadul gegara pandemi ya? Lucu terasa, karena ingatan tersebut masih melekat dalam diriku, meskipun sudah 35 tahun berlalu.
Kira-kira ya kapan Corona berhenti jadi ancaman? Tidak ingat persis juga sih, sepertinya terjadi begitu saja. Manusia kan memang pelupa.
Sekarang saya masih berada di ruangan kerja yang sama. Tidak banyak perubahan. Barang-barangmu masih tergeletak manis pada tempatnya.
Jalanan semakin macet. Sudah banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Untungnya transprotasi umum juga sudah semakin banyak. Tidak perlu lagi punya mobil dari sana ke sini.
Tidak ada transporter seperti di film-film ya. Manusia masih berkendara seperti biasa. Polusi masih keluar dari asap knalpot. Meskipun kini, sudah banyak mobil listrik, tapi belum cukup banyak.
Dalam kenyataannya, tidak terlalu banyak perubahan. Jalanan di depan rumah kita masih nampak sama. Hanya saja gedung semakin tinggi. Yang di masamu adalah deretan ruko tiga lantai. Selebihnya tetap sama. Tiang listrik dan pohon akasia.
Tapi, entahlah. Saya pun sudah jarang keluar rumah. Lagipula sudah tidak nyaman lagi berada di luar rumah.
Di siang hari, cuaca semakin panas, tapi hujan juga menggila. Kata orang sih global warming. Tapi, entahlah. Istilah itu sudah ada sejak zaman bapak kita. Saya sendiri bisa menyesuaikan. Tidak lagi pakai AC di kamar. Karena malam semakin dingin.
Banjir masih dimana-mana. Longsor pun masih sering terjadi. Manusia berkata jika mereka sudah sadar, nyatanya kehidupan yang lebih nyaman di zamanmu tidak membuat mereka jera.
Mereka mencoba menyesuaikan diri dengan air bersih yang semakin mahal dan makanan yang semakin tidak enak. Katanya sih, gaya hidup sehat, tapi sebenarnya tidak ada pilihan lagi. Harus segera dimulai.
Terlalu banyak bencana yang datang bertubi-tubi. Kerusakan alam hingga ambisi politik. Sempat juga hidup dalam ketakutan. Tapi, akhirnya semuanya harus dijalani.
Lucu mengingat bagaimana harapan kita 35 tahun lalu. Kisah fiksi menceritakan tentang perjalanan waktu, tur luar angkasa, hingga planet baru. Hingga kini semuanya masih menjadi debu. Halus tak terlihat.
Nyatanya memang teknologi telah banyak mengubah hidup. Anak-anak kita sudah semakin "tergila-gila" dengan gadget mereka. Jauh lebih canggih dari punya kamu.
Tapi, janganlah membayangkan ada hologram hidup atau dunia metaverse yang dulu sering digadang-gadangkan. Sampai sekarang pun para ahli masih begadang untuk membuatnya.
Sebenarnya sih, anak-anak bukan tergila-gila. Tapi, suatu keharusan. Dunia kerja tidak seperti dulu lagi. Semua urusan dilakukan dari rumah. Internet sudah bukan masalah lagi. Jauh lebih cepat, tidak ada lagi urusan nanti. Saat ini langsung terjadi.
Untungnya mereka sadar diri. Gadget sudah mati di malam hari. Iya, manusia di zamanku sudah merasa jika ketagihan gawai seperti aksi bunuh diri. Meninggalkan hidup yang seharusnya berarti.
Medsos sudah tidak seperti di zamanmu lagi, gaya hidup hedon sudah ditertawai. Privasi sudah jadi barang mewah, orang-orang tidak mau lagi membocorkan rahasia hidupnya kepada publik.
Tren yang berkembang adalah bagaimana hidup di dunia nyata. Sesuatu yang pernah hilang di antara zaman sesudah kamu dan sebelum aku. Ketenangan menjadi dambaan, kesadaran menjadi penting untuk melanjutkan hidup.
Sekaligus mendambakan nostalgia. Sesuatu yang selalu menjadi pengecualian bagi generasi penerus kita.
Begitu pula dengan musiknya. Tidak ada lagi K-Pop, tapi The Beatles masih berjaya. Lagu mereka kembali digemari, karena kecanggihan teknologi, video buram bisa didaur ulang. Kita semua di sini, merindukan masa lalu.
Saya masih suka dengar musik, tapi sudah malas nonton film. Pusing dengan alur kisah yang semakin tidak masuk akal. Terlalu mengada-ada.
Avengers pun sudah masuk seri ke-10nya. Jangan ditonton, kapten amerika-nya ceking dan berkacamata. Sesuai dengan tren yang kini sedang terjadi. Kutu buku jadi idola, cowok macho dianggap kampungan.
Oh ya, banyak sahabat kita yang sudah pergi. Hanya sisa beberapa yang masih hidup. Kita masih sering ngumpul-ngumpul. Berkisah tentang masa keemasan milikmu.
Beberapa dari mereka sukses dengan investasi yang dilakukan, tapi banyak juga yang pernah "hancur." Terlalu yakin dengan harapan masa depan yang tidak terjadi. Perubahan memang ada, tapi tidak secepat yang mereka kira.
Meskipun uang sudah menjadi eletronik, tapi kekayaan tidak bisa secepat mesin ketik. Investasi masa depan dan sejenisnya, adalah tragedi masa lalu.
Pohon mangga yang dulunya kau tanam sekarang sudah semakin sering berbuah. Terkadang ada yang lewat, mengambilnya tanpa izin.
Tapi, kubiarkan. Bukankah dirimu dulu juga sering begitu? Tidak ambil pusing dengan hal-hal kecil tentang kepemilikan. Aku masih begitu.
Dulunya mungkin banyak yang menertawaimu. Atas kemurahan hatimu yang mereka sebut dengan tolol. Nyatanya sekarang sudah menjadi barang langka dan sangat berharga.
Banyak yang telah belajar. Moral sekarang telah menjadi asset tertinggi. Tahu diri dan tidak lagi mau menang sendiri.
Sebabnya sekarang sudah ada musuh bersama. Bukanlah Alien dari luar angkasa, atau zombie dari Alaska. Tapi, penyesalan tentang arti kehidupan yang sudah nyata. Namanya: Keserakahan.
Begitu banyak yang ingin kusampaikan padamu. Tapi, memoriku tidak sehebat dulu lagi. Tenagaku juga sudah tidak sekuat dulu lagi.
Tapi, semangat tetap ada. Harapan masih menyala-nyala. Tentang bagaimana manusia akan menemukan jalannya kembali. Tentang bagaimana mereka akan menjadi diri mereka sendiri.
Tapi, sayangnya semua sudah terlambat...
**
Acek Rudy for Kompasiana
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H