Setiap hari rabu, saya merayakan hari ulangtahunku. Bukan pesta pora atau potong kuenya. Berkeliling kota membawa 10 dus berisi penganan. Dua roti dan segelas air minum dalam kemasan.
Banyak "pelanggan sedekah" yang tentu berminat. Tapi, belum tentu diriku terpikat. Gratis dan enak, menimbulkan kepongahan. Yang pantas menerima, akan mendapatnya.
Mata menyisir jalan, duduk di bangku belakang mobil. Agar tangan kiri dan kanan tepat sasaran. Bahar, supirku yang mengendari mobil. Ia punya kuasa untuk menghentikan kendaraan, meskipun diriku lebih sering memerintahnya.
Di persimpangan jalan depan rumahku adalah tempat berkumpul para dhuafa. Ruas jalan yang ramai penuh kendaraan. Lokasi tepat untuk mencari peruntungan.
Ada sekitar 7-8 orang biasa berkumpul di sana. Dari anak jalanan hingga pedagang asongan. Ada pula penjaja koran dan pengemis timpang. Sekali bagi, 10 dus langsung habis.
Tapi, bukan itu yang kumau. Bersedekah juga ada prosesnya. Bagaimana mata dan hati menyatu, menjadi suci ke dalam batin. Tidak boleh terlalu mudah.
Sedekah pun tak diberikan.
Lampu hijau pun menyala, membawa laju kendaraaan mencari para pelanggan yang mungkin berkenan.
Tukang becak dilalui, kadang mereka tampak hanya duduk bermalas-malasan. Ah, tidak pantas. Kecuali yang sudah kelihatan ringkih, mungkin saja hati mereka sedang merintih.
Sedekah pun diberikan.
Ada becak, ada pula bentor. Menurut Bahar, bentor jangan dikasih. Usahanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan kayuhan abang becak tua.
Sedekah pun tak diberikan.
Pengemis timpang bergerak. Mereka sudah tua. Dengan papan kayuh beroda kecil, tempat mereka tergeletak. Sudah pasti harus diberikan. Sedekah kepada mereka mudah terlihat oleh malaikat. Siapa tahu rejeki akan melekat.
Sedekah pun diberikan.
Tapi, ada pula abang bentor yang tua. Tetap saja hati tidak berkenan, kayuhannya kurang kuat untuk mendapatkan belas kasihan.
Sedekah pun tak diberikan.
Anak kecil mengemis di pinggir jalan. Bajunya kelihatan kuyu, wajah masih lugu, aksi dibuat tersedu-sedu. Mudah mendapat perhatian dari para dermawan tajir.
Jadi ingat anak-anak di rumah. Bersyukur saya masih bisa memberi makan dan juga sekolah.
Sedekah pun diberikan.
Tapi, sang anak minta dua. Katanya untuk adiknya yang berada di sana. "Hati-hati bohong." Nurani bertempur dengan Naluri.
"Mana adikmu?" Tanyaku mengingat aksi Mensos Risma. Katanya dana sosial harus sampai ke tangan yang benar. Lengan kecil menuju ke arah situ. Lampu lalu lintas sudah keburu hijau.
Sedekah pun tak diberikan.
Ada tukang parkir yang bersemangat. Suaranya besar, meskipun wajah sudah tak lagi sangar. Usianya sudah tua. Tujuh puluhan kukira. Pantas mendapat sedekah atas semangatnya yang membuatku terpana.
Sedekah pun diberikan.
Pengamen berada di pinggir jalan. Suaranya bagus, bisa ikut audisi idola. Matanya melirik sana sini, tidak ada ketulusan. Hanya mencari uang saja.
Sedekah pun tak diberikan.
Tapi, ada satu yang buta. Matanya gelap berkacamata hitam. Tidak ada goyangan, hanya tepuk tangan. rasanya kasihan.
Sedekah pun diberikan
Tanpa terasa waktu berjalan. Batin yang seharusnya tenang, justru amburadul melenggang. Memilah antara siapa dan siapa yang pantas mendapatkan sedekah.
Tujuan sedekah memang bermacam-macam. Dari hanya sekadar berbagi hingga ingin dapat jatah dari langit.
Lantas, jika hanya ingin berbagi, mengapa tidak dari tadi? Menunggu orang yang tepat untuk mendapatkan rezeki. Ternyata otak memang tidak sesuai hati.
Lantas, jika untuk dapat jatah dari langit, keputusan siapakah yang akan dianggit? Menunggu hingga rezeki datang bertubi-tubi. Ternyata logika bisa amburadul gegara duit.
Jadi, kepada siapakah 10 Orang yang Pantas Menerima Sedekahku?
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H