Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pohon Natal di Dalam Rumah Keluarga Penyembah "Toa Pek Kong"

25 Desember 2021   07:57 Diperbarui: 25 Desember 2021   08:03 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih teringat dalam bayangan, pohon natal harus ada menjelang 25 Desember. Bagi kami sekeluarga, natal bukan hanya sekadar pelajaran sekolah. Ia juga wajib dipraktikkan.

Lagu-lagu natal berkumandang di dalam rumah, menggantikan lantunan suara merdu Teresa Teng, favorit papa. Dispensasi diberikan hanya seminggu. Dari tanggal 25 hingga tahun baru.

Rumah lama kami sempit. Namun, pohon natal selalu mendapat tempat terhormat. Di samping patung Toa Pek Kong yang disembah Emma dan Engkong.

Asap dupa menjulang ke atas, mencapai bintang pada pucuk cemara. Tidak apalah, yang penting sudah minta izin dulu kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam bayangan masa kecilku, Pohon Natal adalah sebuah monumen penting. Papa yang berjasa mendirikannya, sementara golongan anak-anak turut membantu menghias pernak-perniknya.

Masih ingat dalam bayangan masa laluku, Om Peter yang masih remaja selalu kebagian memasang bintang pada pucuk pohon cemara. Ia yang tertua di antara geng anak kecil. Badannya sudah tinggi, tangannya bisa meraih pucuk tanpa perlu tangga lagi.

Bagi Om Peter, bintang menandakan usia. Ia pantas mendapat kehormatan sebagai senior. Guru agamaku sering mengisahkan tentang tiga raja yang melihat bintang dari timur. Menuntun mereka kepada bayi Yesus.

Om Peter bangga dengan hal itu. Menurutnya, ia adalalah reinkarnasi dari salah satu raja. Di Kehidupan ini ialah yang menemukan Yesus di dalam rumah kami. Meskipun ia bingung, mengapa tidak rajin berdoa. Bahkan masih pegang dupa.

Pernak-pernik lainnya berserakan di dalam dus. Masih penuh debu, karena hanya dikeluarkan setahun sekali. Anak-anak kecil berebutan. Ingin menjadi pahlawan yang memasangnya di pohon natal.

Tante Yenni yang baru saja mengenal cinta dengan malu-malu memilih lonceng. Menurutnya, biar ramai terdengar oleh para malaikat. Ia baru saja jatuh cinta dengan anak lelaki tetangga. Semoga malaikat yang datang membawa panah. Bisa menembak hati sang lelaki tampan tanpa usaha yang keras.

Tante Yenni memang senang dengan malaikat. Berpakaian putih, ada sayapnya. Bisa terbang dan kungfunya hebat. Mengingatkannya kepada film kera sakti yang baru saja kita tonton bersama. Tante Yenni bilang, kera sakti yang nakal takut sama malaikat.

Ko Yanto adalah si kera sakti. Nakalnya minta ampun. Loncat sana-loncat sini, terutama jika ada kue natal. Ia senang dengan gantungan yang mirip tongkat. Warnanya merah putih seperti bendera Indonesia.

Menurutnya itu bukan sembarang tongkat. Ia adalah jelmaan dari tongkat ajaib kera sakti. Bisa membuat siapa saja tunduk kepadanya. Termasuk untuk menghukum anak-anak nakal yang belum kenal Yesus.

Termasuk diriku yang biasa dipanggil "babi" olehnya. Mirip Cu Pat Kai, kawan si kera sakti. Tentu bukan genit yang ia maksud. Namun, karena hobiku yang suka rebahan dan malas bangun pagi.

Si "babi" ini senang dengan kaos kaki. Setiap detik ia akan melihat isinya. Siapa tahu kado natal datang lebih cepat. Jelas ia tidak akan nakal menjelang Natal. Sebabnya ada cerita bahwa Sinterklas sering bagi-bagi hadiah kepada anak-anak penurut.

Apalagi Sinterklas juga punya pasukan. Pit hitam yang galak dan suka bawa karung. Konon anak-anak nakal bisa diculik dan dibawa ke neraka. Makanya, jangan lupa berdoa menjelang Natal, agar si Santa datang tanpa Pit Hitamnya.

Menurut engkong kami, Sinterklas itu tidak ada. Ia sebenarnya adalah papa yang menyembunyikan identitasnya. Bahaya jika diketahui orang banyak. Tidak ada bedanya dengan Gundala Putra Petir yang tidak mau ditahu siapa dirinya.

Tapi, papa menyangkalnya. Ia berkata jika Sinterklas adalah para leluhur yang masih sering datang ke rumah. Melihat anak cucunya yang ia sayangi. Sekaligus membawa berkah bagi mereka yang sembahyang kepadanya.

Tentu saja diriku yang masih kecil ini tahu jika Papa bohong. Dari sekolah minggu saya tahu jika Sinterklas tidak disembahyangi. Ia tidak suka dengan buah-buahan dan permen yang berbau dupa.

Lagipula wajah leluhur dalam foto tidak mirip Sinterklas. Mata mereka sipit, badan mereka kurus. Sementara Sinterklas badannya gemuk dan suka tertawa. Foto-foto di tempat sembahyang, tidak ada yang tersenyum. Mukanya masam semua.

Mama dan Emma sendiri tidak terlalu peduli dengan pohon Natal. Mereka lebih banyak sibuk di dapur menyiapkan onde warna-warni. Rasanya manis, gurih, dan lezat. Wajib disantap setiap tanggal 22 menjelang Natal.

Saya selalu tidak sabar menunggunya. Walau syarat utama harus diberikan dulu kepada para leluhur yang tidak pernah menghabiskannya. Saya selalu mengingatkan mama, agar menyisakan sebagian bagi Sinterklas yang akan hadir di malam natal.

Siapa tahu saja ia lapar. Dan juga agar Pit Hitam tidak ribut-ribut di rumah kecil kami. Malu kedengaran tetangga.

Hari Natal telah tiba. Pagi-pagi bangun melihat kaus kaki masih kosong. Tapi, di bawah pohon Natal sudah banyak kado berbungkus warna-warni. Ramai suara anak-anak terdengar. Tapi, harus menunggu sampai malam. Papa masih sibuk melayani pelanggan. Tokonya tidak pernah libur.

Baju merah wajib dipakai. Melambangkan Natal sekaligus untuk bawa hoki. Persis sama dengan baju imlek. Cuman tidak ada angpao saja.

Tapi, bagi kami kado Natal lebih berharga dari angpao. Bisa langsung dimainkan, sementara angpao biasanya disimpan Mama untuk tabungan.

Om Peter dapat bola, Tante Yenni dihadiahi Pita, Ko Yanto mobil-mobilan. Sementara saya mendapat pinsil warna baru plus buku mewarnai.

Temanya Natal. Ada gambar pohon Natal, Sinterklas, Bayi Yesus, dan beberapa lembar lagi. Tidak pakai lama, Sinterklas langsung mendapat warna merah. Pohon Natal warnanya biru. Itu karena Adik Rika sudah lebih dulu bawa kabur pinsil berwarna hijau. Tidak apalah, hijau dan biru juga mirip-mirip.

Sebagaimana perayaan Natal di rumah sederhana kami. Tidak persis sama, tapi mirip-mirip dan tidak kalah khidmatnya dengan keluarga Kristen lainnya. Ada pohon Natal, kado, dan juga lagu Merry Christmas.

Yang membuatnya beda, hanyalah patung Toa Pek Kong yang masih mengeluarkan asap dupa. Entah apa yang ada dalam pikiran sang dewa bumi tersebut. Bisa saja ia sedang bersenda gurau dengan Sinterklas yang mengunjungi rumah kami.

Tiga gelas arak putih yang selalu ada di mejanya kelihatan sudah mulai berkurang. Begitu pula dengan onde berwarna-warni. Sebentar lagi mereka mungkin mabuk.

Sehingga saya akan mendengarkan bunyi tertawa "ho-ho-ho" Sinterklas dalam lelapku. Seiring dengan suara "he-he-he" dari sang penjaga rumah kami yang bijaksana.

**

Selamat Hari Natal 2021 bagi seluruh Umat Kristiani. Semoga cahaya terang Natal membawa kebahagiaan dalam hidup dan semoga Yesus memberkati dengan Kesuksesan, Kebijaksanaan, Kesehatan, dan Kebahagiaan.

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun