**
Sampai di sini kita sudah bisa melihat bagaimana dominasi orang Hokkien Chang-cow di Asia Tenggara. Mereka telah hadir sejak abad 17-18 dan terus berkiprah.
Mereka adalah Crazy Rich Peranakan yang memiliki kedudukan penting di tengah masyarakat. Mereka menjadi panutan, andalan, bahkan impian bagi setiap pendatang yang berada di sana. Apapun sukunya.
Termasuk mengikuti gaya berbahasa mereka yang menggunakan dialek Chang-cow bahasa Hokkien. Keren gayanya. Mungkin mirip kemingrisan di zaman sekarang.
Kontribusi mereka terhadap ekonomi tidak main-main. Pada pertengahan abad ke-19, Penang telah menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Tenggara.
Para pesohor ini menjadikan Penang sebagai bandar distribusi dan pusat perdagangan bagi Malaya dan sekitarnya. Mereka memiliki segalanya, mulai dari beras, gula, minyak, pakaian.
Mereka menjadi pemasok utama bagi pertambangan Timah di Phuket dan juga Perak. Mereka memiliki perkebunan tembakau di Medan. Mereka juga mengekspor berbagai hasil bumi dari olahan ratusan hektar perkebunannya. Bahkan, mereka juga terlibat dalam perdagangan opium yang legal.
Para lingkar elit ini memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Di zaman kolonial, mereka mampu memantapkan diri sebagai penguasa-penguasa lokal.
Tidak sebagai kapitan di Penang saja, tapi juga berhasil memonopoli perkebunan dan perdagangan. Mulai dari Sumatera, Kedah, hingga Siam (Thailand).
Kelompok persaudaraan ini begitu besarnya, sehingga persaingan pun terasa susah. Para saudagar ini tidak segan-segan melakukan ekspansi dan agresi terhadap siapa pun yang dianggap lawan.
Hokkien Chang-cow juga memiliki jaringan sesama teman sekampung yang berhasil membentuk komunitas besar di berbagai tempat, antara lain; Melaka, Batavia, Cirebon, Banten, hingga Banjarmasin.