Sebelum awal abad ke-20, gelombang imigrasi tionghoa ke Asia Tenggara berasal dari daerah Minnan yang berlokasi di provinsi Fujian (hokkien) bagian Selatan.
Imigrasi besar-besaran dari Minnan ini seiring dengan invasi Manchu ke Tiongkok, awal terbentuknya Dinasti Qing. Di masa itu orang-orang Minnan terkenal sebagai pendukung Dinasti Ming yang fanatik. Khususnya dari wilayah Chang-cow.
Dengan invasi Manchuria, mereka membentuk perlawanan dalam kelompok bawah tanah yang bernama Tiandihui (Kelompok Langit dan Bumi). Â
Di tempat perantauan, mereka mendeklarasikan diri sebagai orang Hokkien. Bahasa yang digunakan tentu saja dialek keseharian mereka, yakni Chang-cow.
**
Perlu diketahui, provinsi Fujian adalah salah satu provinsi terbesar di pesisir selatan Republik China, dengan luas sekitar 121.400 km persegi. Dengan luasnya daerah dan kondisi topografi yang sulit, membuat masyarakat Fujian memiliki budaya dan bahasa yang berbeda-beda.
Fujian Selatan (Minnan) sendiri memiliki tiga wilayah dengan dialek lokal yang tidak persis mirip. Tiga dialek lokal tersebut adalah: Chang-cow, Xia-men, dan Cuan-ciu.
Antara Hokkien Cuan-ciu dan Chang-cow, kemiripannya 80%. Sementara dialek Xia-men adalah pencampuran dari kedua lainnya, dengan 90% kemiripan.
Namun, karena pendatang dari wilayah Chang-cow yang pertama kali mendarat di Asia Tenggara, maka dialek Chang-cow lah yang paling berpengaruh dalam perkembangan bahasa awal diaspora Tionghoa di Indonesia.
Seiring waktu berjalan, datanglah orang-orang Fujian perantauan dari wilayah lainnya. Mereka disebut sebagai Hokkien Hok-ciu dan Heng-hua (Pu-tien). Dengan kedatangan mereka, istilah Sing-khek pun muncul. Arti bahasa Indonesianya adalah "pendatang baru."
Dengan munculnya istilah ini, maka dengan sendirinya pendatang baru ini tidak pantas menyandang gelar sebagai orang Hokkien. Padahal secara geografis dan antropologis, mereka juga adalah suku Hokkien.