Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Orang Jepang Sopan, tapi Militernya Dulu Kejam?

16 Desember 2021   05:11 Diperbarui: 16 Desember 2021   05:29 17589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa dipungkiri, militer Jepang semasa Perang Dunia II dianggap sebagai pasukan yang paling kejam. Banyak kisah kelam yang masih menyisakan luka yang mendalam.

Pendudukan Jepang selama 3,5 tahun di Indonesia membawa kisah suram. Sebutkanlah jugun ianfu, romusha, atau pembantaian Mandor di Kalimantan Barat. Ini belum termasuk kekejaman yang terjadi secara sporadis di berbagai tempat di Nusantara.

Bagi kita yang hidup di zaman sekarang, sangat sulit untuk membayangkan apa yang telah terjadi. Terlebih jika bertemu dengan orang Jepang asli. Mereka luar biasa sekali sopan.

Saya pernah berinteraksi dengan orang Jepang. Posisi saya sebagai pelanggan, bukan karyawan. Jadinya, hanya keramahan yang kurasakan.

Namun, beda lagi dengan sang manajer yang sering berinteraksi denganku. Ia adalah orang Indonesia. Dari ceritanya, saya sudah cukup mendapat gambaran  bahwa di balik kesopanan terdapat etos kerja yang cukup "kejam."

Maki-memaki sudah biasa. Tidak peduli kepada sesama Jepang, ataupun orang Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Sehingga frasa "penjajah" kadang bermunculan dari mulut sang manajer.

Dari kisah sang manajer, pertanyaan ini muncul lagi dibenakku. Hingga akhirnya tulisan ini kubuat. Mungkin bukan sebuah tulisan riset yang lengkap, hanya berdasarkan opini "praduga tak bersalah."

**

Dari pengalamanku berinteraksi dengan orang Jepang, cukup banyak yang menganggap jika perbuatan moyang mereka memang memalukan. Bahkan beberapa di antara mereka memutuskan untuk tidak membahasnya.

Meskipun secara formal tidak ada pengakuan maaf dari pemerintah, namun mereka memiliki usaha yang besar untuk "menghapus" sejarah tersebut dari generasi.

Menurut seorang sahabat Jepang yang pandai bebahasa Indonesia, ada hal tertentu yang terpaksa mereka lakukan di masa lalu.

Kekejaman yang terjadi lebih kepada semacam kepatuhan dan kedisiplinan. Lagipula kebrutalan yang terjadi secara sporadis lebih disebabkan karena situasi lapangan dan tanggung jawab oknum.

Tentunya, pembelaan kawan ini hanyalah alasan. Ia bukanlah ahli sejarah atau agen pemerintah. Namun, mungkin sudah bisa mewakili pendapat sebagian sikap orang Jepang terhadap kasus penjajahan ini.

Ah, klise. Sejarah tidak dapat diubah.

Tapi, bukan berarti kita tidak bisa memaafkan bukan? Untuk itu, marilah kita mencoba mengulik persepsi ini dari sudut pandang orang Jepang. Tanpa menilai. Tanpa menghakimi.

Perang Memang Kejam

Bukan hanya pasukan Dai Nippon, ada juga contoh lainnya. Sebutkanlah NAZI atau kekejaman bala tentara Rusia di Jerman. Tidak kalah mengerikan. Bahkan negara adidaya sekelas Amerika saja memiliki banyak kisah kelam di Irak dan Afghanistan.

Di Indonesia, tentara Belanda juga sadis. Jangan pernah melupakan peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan (1946), atau pembataian Rawa Gede (1947).

Jadi, perang itu memang kejam. Proses dehumanisasi itu lazim terjadi. Pihak musuh, baik militer maupun sipil dianggap sebagai "bukan manusia." Mungkin saja itu perlu untuk membooster moral para tentara.

Namun, fenomena ini harus dibarengi dengan melihat bagaimana sebuah kebudayaan menyikapinya. Begitu pula jika kita berbicara tentang aksi bala tentara Jepang dulu.

Apakah budaya Jepang bisa menjadi jawaban? Sehingga bom atom pun dianggap pantas sebagai hukuman.

Doktrin Bushido

Doktrin Bushido dianggap sebagai salah satu prinsip yang membuat militer Jepang merasa inferior. Doktrin ini adalah semacam etika moral bagi golongan samurai.

Sudah ada di Jepang sejak abad ke-12. Prinsip ini berfokus kepada banyak hal baik. Sebutkanlah setia kawan, tahu malu, kesederhanaan, tata-krama, semangat, kehormatan, hingga menyentuh masalah spiritual.

Dalam pelatihan Bushido, musuh terbesar adalah diri sendiri. Jika mampu menaklukkan diri sendiri, seorang samurai dianggap sudah menang tanpa pertempuran. Kalaupun nanti ia menang atau kalah dalam pertempuran, sang samurai akan tetap dihormati.

Harakiri mungkin sadis, Kamikaze itu bengis. Tapi, bagi Jepang sendiri, hal tersebut adalah sebuah kehormatan. Merupakan penerjemahan dari semangat Bushido yang hanya dipahami oleh mereka sendiri.

Budaya Ojiri

Saya selalu terkagum-kagum dengan gaya membungkuk ala Jepang. 'Militer banget' dalam pikiran saya. Dalam situasi damai, gestur tersebut saya terjemahkan sebagai sikap santun luar biasa.

Keramahan ini adalah bagian dari budaya yang dikenal sebagai "Ojiri." Ia diperkirakan mulai dipraktekkan di Jepang sejak 1.500 tahun lalu.

Konon berasal dari Tiongkok dan disampaikan melalui ajaran Buddha. Gunanya untuk menghormati dan untuk menunjukkan status (tata krama).

Namun, dalam dunia militer dan politik Jepang, Ojiri ini juga bisa bermakna berbeda. Membungkuk di hadapan raja, keluarga kerajaan, atau pejabat militer menandakan bahwa "saya bukanlah ancaman."

Untuk lebih jelasnya, sila baca di sana.

Tatemae, yang Tidak Perlu Menangis Meraung-raung

Ojiri hanya salah satu budaya yang menandakan kesopanan orang Jepang. Dalam buku The Japanese Smile, karya Lafcadio Hearn (quora.com), ia menegaskan bahwa masyarakat Jepang adalah orang yang mampu tertawa dalam duka.

Sastrawan Inggris yang pernah tinggal di Jepang dari tahun 1830-1904 menyatakan bahwa ketulusan orang Jepang, sudah terjadi sejak dulu kala.

Namun, Lafcadio mengatakan bahwa kesopanan ini sebenarnya merupakan sikap dari orang Jepang yang diajarkan untuk tidak terbiasa mengekspresikan sesuatu dengan berlebihan. Kalau gembira tidak perlu terbahak-bahak, begitu pula kalau sedang bersedih, tidak harus meraung-raung.

Intinya adalah berperilaku sopan dengan menghindari konflik. Nama kebudayaannya adalah Tatemae (japanesestation.com).

Konsepnya adalah berperilaku nyaman bagi orang lain. Menghindari konflik yang bisa timbul akibat ucapan, perbuatan, dan kelakuan. Bahkan jika perlu, berbohong (dalam skala ringan) pun dilakukan.

Budaya ini menganut azas bahwa pola pikir mayoritas adalah yang benar. Sebagai contoh, keterlambatan waktu adalah hal yang tabu. Memberikan ketidaknyamanan kepada banyak orang. Oleh sebab itu, haram hukumnya di sana.

Catatan: Mengenai budaya tepat waktu ini akan saya bahas dalam artikel terpisah.

Saking pentingnya sebuah majority rule, sehingga tidak jarang orang Jepang mengabaikan kepentingan diri atau keluarganya sendiri. Contoh sederhana, rapat hingga malam larut, atau pulang rumah dalam keadaan suntuk adalah hal yang harus dimaklumi.

Faktor Pendidikan

Sistem Pendidikan di Jepang tergolong unik. Pada periode awal sekolah, tidak ada pengajaran calistung. Berbeda dengan sistem di Indonesia. Kepintaran anak-anak selalu diukur berdasarkan cepatnya mengenal huruf dan angka.

Di Jepang, TK adalah hal yang wajib untuk belajar kehidupan. Anak-anak dibiasakan untuk hidup mandiri dan mengimplementasikan kebudayaan Jepang.

Hal ini terus berlanjut hingga kelas 2 SD. Mata pelajaran membaca, menulis, dan menghitung memang telah dimulai di sana. Namun, pendidikan kebiasaan hidup masih tetap dititikberatkan.

Guru juga memberi contoh yang baik. Dalam setiap mata pelajaran, pendidikan moral selalu disisipkan dalam bentuk teori dan praktek. Uniknya, tidak ada istilah tinggal kelas pada level TK hingga kelas 2 SD. Kuncinya adalah telah mengikuti proses belajar lengkap. (goikuzo.com)

Susahnya Menjadi Orang Asing di Jepang

Kesimpulannya, orang Jepang percaya bahwa kebudayaan dan sistem pendidikannya telah mampu membentuk pribadi-pribadi berkualitas, unggul, dan terhormat.

Sayangnya, sistem ini tidak selamanya baik. Standar mayoritas di sini adalah standar Jepang, bukan dunia. Jadilah orang Jepang sebagai masyarakat yang eksklusif. Mereka memiliki pandangan yang konservatif terhadap budaya lain.

Turis sering melongo-longo ketika menghadapi orang Jepang yang "tidak seperti biasanya." Dalam kasus moderat, sebagian orang Jepang masih bisa memahami dan menerima.

Tapi, dalam kasus yang berat, penolakan terhadap orang asing kerap terjadi. Konon WNA yang ingin menetap lama di Jepang, harus melalui beberapa proses yang tidak sederhana.

Mulai dari pendataan hingga persetujuan. Karena kabarnya, beberapa daerah di Jepang sama sekali tidak menginginkan adanya orang asing yang tinggal pada lingkungan mereka. Mereka yang hidup berbeda dari standar orang Jepang akan dianggap perusak tatanan.

Konsep Asia Timur Raya

Kembali kepada sejarah, Jepang melakukan ekspansi kolonialisme dengan sebuah semangat. Membentuk konsep Asia Timur Raya. Agak berbeda dari sistem kolonialisme Belanda. (kompas.com)

Pada konsep ini, Jepang berkeinginan menjadi pusat pemerintahan, dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya akan menjadi satelitnya. Negera satelit ini kemudian akan diangkat derajatnya, sehingga bisa menjadi negara yang unggul. Setara atau paling tidak, bisa mengimbangi Jepang.

Timbulnya Mental Rasis

Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Showa. Tepatnya pada saat Kaisar Hirohito memegang tampuk kekuasaan (1926).

Zaman Showa adalah era baru bagi Jepang. Ditandai dengan politik totalitarianis (tidak ada oposisi), ultranasionalis (nasionalisme ekstrim), dan fasis.

Pandangan keunggulan ras ini tiada bedanya dengan konsep Bangsa Arya dari Jeman NAZI. Maksud hati ingin menjadi penyelamat bangsa timur, Jepang tidak bisa memisahkan konsep ultranasionalis mereka dengan mental rasis.

Pada masa itu, keterbukaan di Jepang telah mampu membuat mereka menjadi negara maju berbasis industri dengan militer yang kuat. Terobsesi dengan hasil yang mereka capai, pembentukan blok Asia menjadi impian dari pemimpin untuk mengimbangi kekuatan negara-negara barat.

Setelah berhasil menginvasi Tiongkok, ambisi Jepang menjadi lebih besar lagi. Awalnya kehadiran Jepang di Indonesia membawa harapan, semoga Jepang dapat membantu Indonesia menjadi negara berdaulat.

Tapi, setelah Belanda secara resmi kehilangan gigi di Hindia Belanda, Jepang menggantikannya sebagai penjajah. Tidak ada janji manis seperti yang pernah diudar. Hingga muncullah frasa 3,5 tahun pendudukan Jepang lebih kejam dari 3,5 abad Belanda di Indonesia.

**

Saya sendiri melihat Jepang sebagai sebuah bangsa yang unik. Mereka merupakan perpaduan sempurna dari tradisi konservatif dan pemikiran yang ekslusif.

Di satu sisi, mereka dapat membuktikan eksistensinya di dunia dengan berpegang teguh kepada adat moyang. Namun, pada sisi yang lain, mereka dapat mentransformasikan perbedaan tersebut menjadi keunggulan.

Tidak aneh kemudian, bahwa orang Jepang bisa menjadi bangsa yang bernasionalisme tinggi.

Kembali kepada pertanyaan, Orang Jepang itu sopan, tapi mengapa militernya dulu kejam?

Sebenarnya, bukan orang atau militernya, tetapi perang memang kejam. Pemicu peperangan pada umumnya disebabkan oleh perbedaan pandangan. Kedua belah pihak yang bertikai akan selalu menganggap dirinyalah yang paling benar.

Proses ini sudah terjadi selama ribuan tahun lalu dan masih berlanjut hingga kini. Pemahaman tentang kebenaran itu tidak pernah sama. Atas nama kepentingan, keadilan harus ditegakkan. Jika hal ini berlanjut, maka konflik antar umat manusia tidak akan pernah berakhir.

Bahkan tanpa perang pun, saudara sebangsa bisa saling bertikai. Semuanya atas dasar keyakinan bahwa "mereka tidak lebih baik dari kita." Perbedaan yang seharusnya memberikan keragaman, dijadikan sebagai objek permusuhan.

Jadi, belajar dari Jepang, sebagai negara yang berdaulat, kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya bisa mencintai perbedaan. Layaknya mengagumi bunga yang bewarna-warni di tengah kebun. Karena memaksakan kehendak pada akhirnya hanya akan berujung kepada rasa sakit hati.

Semoga Bermanfaat

Referensi: 1 2 3 4 5 6 7

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun