Pada hari nahas tersebut, sang legenda sedang berjalan masuk ke apartemen mewahnya di Manhattan, New York. Tepatnya, pada tanggal 8 Desember 1980, pukul 22.50 malam.
Ia sedang bersama istrinya, Yoko Ono, dan anaknya Sean Lennon.
Tiba-tiba, seorang lelaki yang tak dikenal datang menghampirinya.
"Dor..dor..dor..." Empat timah panas menembus punggung John Lennon. Ia segera dibawa ke rumah sakit. Tapi, terlambat sang musisi legendaris itu meninggal di samping pelukan Yoko Ono, istrinya tercinta.
**
Ketika polisi datang, Mark Chapman, sang penembak sedang duduk tenang membaca sebuah buku. Ia tidak lari, tidak panik, tidak melawan.
Buku yang dibacanya berjudul The Catcher in the Rye, karya JD Salinger.
Buku tersebut bukanlah kali pertama dibacanya. Ia bahkan menyebutkan dirinya-lah adalah sang tokoh utama. Holden Caulfield, yang digambarkan sebagai seorang remaja bengal yang tidak suka dengan kemunafikan.
Di tangannya, kisah pada novel tersebut berubah. Holden membunuh John Lennon. Alasannya, karena pernyataan Lennon yang kontroversial, "The Beatles lebih terkenal dari Yesus."
Meskipun bengal, latar belakang agama "Holden" juga sangat kuat. Chapman merasa jika idolanya ini munafik. Hidupnya mewah, suka berfoya-foya.
Padahal lagu Lennon "imagine" mempromosikan dunia yang damai tanpa kepemilikan. Chapman merasa tertipu, lagu itu sempat menjadi favoritnya dan ia hidup dengan kepercayaan pada liriknya.
Namun, Chapman memang adalah pencinta sejati Lennon.
Sebuah buku yang berjudul "Let Me Take You Down (1992)," karya Jack Jones, menyatakan: Konon Chapman terus menerus mendengarkan lagu Lennon menjelang aksi pembunuhannya, sembari membayangkan wajah Lennon yang munafik, yang tidak percaya Yesus.
Banyak orang yang mengatakan jika Chapman adalah seorang delusional. Lalu, pernyataan Chapman membuat kesimpulan tersendiri.
"Saya membunuhnya karena dia (Lennon) terkenal. Hanya itu satu-satunya alasan. Dia sangat terkenal. Dan saya ingin merengut kejayaan pribadi itu darinya," ungkap Chapman.
**
Kisah dimulai pada Oktober 1980. Chapman mengaku jika hatinya dipenuhi amarah dan benci. Hingga akhirnya ia memutuskan, Lennon harus mati. Ia pun pergi ke New York. Keinginannya menghabisi nyawa sang idola sudah tak tertahankan lagi.
Namun, sebuah film yang berjudul Ordinary People membuatnya urung membunuh. Ia pun pulang kembali ke rumahnya, di Hawaii.
Tapi, obesisnya ternyata masih melekat. Ia dengan gamblang menyatakan rencananya kepada istrinya. Pistol revolver kaliber 38 pun ditunjukkannya.
Entah kenapa, saat itu istrinya, Abe tidak menganggap Chapman gila atau sakit. Ia tidak pernah melapor kejadian tersebut ke polisi atau ahli jiwa.
Hidup di antara dunia membuat Chapman maju-mundur. Terkadang ia menyadari jika dirinya salah.
Suatu saat, tanpa sengaja Chapman melihat sebuah tulisan "Thou Shall Not Kill." Sesaat kemudian ia langsung membuat janji dengan seorang psikolog. Tapi, ia tak pernah datang.
Tokoh Holden Caulfield yang ia puja pun terkadang datang dan pergi. Ia mengagumi pemberontakan sang tokoh terhadap kemunafikan. Namun, di sisi berbeda ia menyalahkan Holden yang ia sebut dengan iblis.
**
Tanggal 6 Desember 1980, Chapman kembali ke New York dengan penuh kebimbangan. Ia merasa bersalah, tapi juga merasa benar. Ia hampir bunuh diri dengan melompat dari Patung Liberty. Tapi, batal.
Dua hari kemudian, Chapman keluar dari hotel tempatnya menginap. Ia menuju lokasi apartemen John Lennon di Manhattan. Berdiri bersama para penjaga pintu dan penggemar lainnya.
Chapman tidak langsung menembak Lennon pada kesempatan pertama. Saat itu Lennon sedang keluar dari apartemennya dan menuju studio rekaman.
Chapman sempat menyapa meminta tanda tangan Lennon. Sembari menunggu, ia masih sempat bercengkrama dengan Sean yang masih kecil. Momennya bersama Lennon, bahkan sempat diabadikan oleh seorang fotografer.
Setelahnya, Chapman masih tetap berada di luar apartemen Lennon. Ia bahkan sempat mengajak seorang wanita cantik untuk berkencan. Chapman berkata, jika sang wanita mau menerima tawarannya, maka ia urung membunuh Lennon malam itu.
Sayangnya, sang wanita menolak. Ia memutuskan untuk tetap berada di sana menunggu idolanya. Akhirnya Lennon kembali pada pukul 22.50. Ia melintasi lokasi dimana Chapman berada.
Sebelum masuk ke dalam gedung, Chapman sudah berada di dekatnya. Lima peluru ditembakkan, Empat bersarang di tubuh Lennon. Bagian punggung dan pundaknya.
Malam itu, sang legenda pergi untuk selamanya.
**
Kini Mark Chapman telah berusia 65 tahun. Selama 40 tahun ia berada di Penjara Wende, New York. Ia mengaku terus terbebani atas pembunuhan Lennon, dan layak mendapat hukuman mati.
Pada kenyataannya, Chapman akan terus terpenjara. Hukuman mati telah dihapus dari negara bagian New York pada 2007 lalu.
Di dalam penjara, Chapman bekerja sebagai juru tulis. Ia ditempatkan pada sebuah blok khusus demi keamanannya sendiri. Sebabnya di luar sana masih banyak pengagum Lennon yang ingin balas dendam.
Chapman baru saja menjalani sidang pengajuan pembebasan bersyarat yang ke-11 kalinya, 2020 lalu. Untuk kali ini ia masih saja gagal. Namun, ia tak berputus asa.
Hukum di negara bagian New York, mengizinkan seorang tersangka mengajukan pembebasan bersyarat tanpa batas dalam periode waktu tertentu. Kesempatan berikutnya akan ia jalani pada Agustus 2022.
Rudy Gunawan for Kompasiana, 27 Nov 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H