Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Islamisasi dan Kristenisasi di Sul-sel, Para Leluhur Pun Hidup Berdamai

20 November 2021   10:29 Diperbarui: 20 November 2021   10:34 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejarah Islamisasi dan Kristenisasi di Sul-sel, Para Leluhur Pun Hidup Berdamai (sumber: sejarahone.id)

Mayoritas penduduk di provinsi Sulawesi Selatan beragama Islam. Komposisinya sebesar 85,85% pada tahun 2020 (wikipedia). Disusul dengan agama Katolik dan Kristen pada urutan kedua (21,08%).

Agama Islam erat kaitannya dengan sejarah dan asal usul nama kota Makassar. Adalah tiga ulama dari Sumatera Barat yang bergelar Dato Tallua. Mereka adalah Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang.

Baca juga: Ragam Alasan Politik di Ujung Pandang, Makassar Tetap Terbaik

Pertemuan ketiga Datuk ini dengan Raja Gowa ke-16 (1605) menandakan momen pertama kalinya agama Islam mulai disiarkan. Menyisakan legenda yang sakral dan masih berlaku hingga kini.

Namun sebenarnya sebelum Dato Tallua bertemu dengan Raja Gowa, komunitas agama Islam sudah terbentuk di wilayah ini. Asalnya dari para pedagang Arab dan juga komunitas Melayu.

Di saat yang sama, penyebaran agama Kristen juga terjadi secara sporadis melalui para misionaris dari Portugal.

Islam di Gowa, Kristen di Suppa Siang

Sejarah mencatat mayoritas Kerajaan Gowa menganut agama Islam. Sementara Kristen telah mendapat pilihan di Kerajaan Suppa (Pinrang) dan Siang (Pangkep). Kedua kerajaan ini memiliki sejarah yang lebih tua dari Gowa dan Tallo.

Pada awal abad ke-15 pelabuhan Siang dan Suppa adalah daerah pilihan. Ramai dikunjungi oleh pedagang dari manca negara. Pada saat yang sama, para misionaris dari Portugis berada di sana untuk misi agama.

Antonie de Payva mendapat mandat dari Gubernur Portugis di Ternate untuk menyebarkan agama Kristen pada 1542. Payva berhasil, Raja Siang, La Makkarawie dibaptis dengan nama Don Juan, dan Raja Suppa mendapat gelar Don Luis.

Proses ini terjadi secara suka rela. Payva berhasil "memenangkan" debat teologis yang sengit dengan para penguasa lokal. Banyak persamaan yang ditemukan di antara dua budaya yang berbeda.

Seperti kenaikan Yesus ke surga ternyata mirip dengan legenda Batara Guru yang diyakini sebagai leluhur orang Bugis. Dalam epos La Galigo, sosok ini disebut sebagai putra tertua Datu Patoto, sang penguasa bumi dan langit.

Begitu pula dengan kisah Santo Yakobus sebagai pelindung Portugal. Pada kisah adat legenda To Manurung-lah yang bertugas melindungi orang Bugis.

Kepentingan Politik Para Penguasa

Sayangnya keputusan ini tidak sepenuhnya sakral. Tergoda oleh kepentingan politik. Penguasa Siang dan Suppa melihat kepentingan yang lebih besar di belakang aksi Kristenisiasi Portugal.

Jalan ini dianggap sebagai cara yang terbaik untuk beraliansi dengan Portugal. Di masa itu, Kerajaan Gowa telah berhasil menaklukkan Tallo. Dua kerajaan ini sangat agresif mengembangkan wilayahnya. Bagi Kerajaan Suppa dan Siang, ini adalah ancaman.

Strategi ini mendapat sambutan. Tahun 1545, Pastor Vincente Viegas dikirim oleh Portugal sebagai duta besar persahabatan. Hasilnya, Raja Alitta dan Raja Bacukiki yang masuk dalam Federasi Ajattapareng menjadi Kristen.

Penyebaran agama Kristen tidak hanya pada aliansi kerajaan Siang saja, tapi juga mulai "menyerang" kerajaan Gowa. Catatan Portugis melaporkan bahwa di abad ke-15, banyak bangsawan Gowa yang menerima dan memeluk agama Kristen.  

Namun, bukannya tanpa halangan. Tersebab proses ini mendapatkan banyak pertentangan dari para pedagang Melayu Muslim. Mereka telah berada di sana sebelum misionaris Portugis datang membawa misi agamanya.

Kendala yang sama juga mereka dapatkan pada saat hendak mengkristenisasi Raja Gowa ke-14, I Mangngarangi. Ketika diajak untuk meninggalkan agama leluhurnya, sang raja tidak serta menerima. Ia mengatakan jika ia belum mau pindah agama.

Pengaruh Islam di Kerajaan Gowa

Namun, itu hanya alasan saja. I Mangngarangi telah terlanjur jatuh hati kepada Islam. Alih-alih menerima ajakan Kristen, Raja Gowa ini malahan memanggil Dai Islam Melayu untuk membandingkannya. Alhasil raja yang bergelar Sultan Alauddin ini menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaannya. (1593).

Para penguasa kerajaan di Sulawesi Selatan telah lama mengenal dan menerima etnis asing. Suku Jawa, Melayu, dan Malaka telah datang di kerajaan Gowa sejak raja ke-11 Gowa, Tunipalangga berkuasa.

Posisi etnis Melayu bahkan mendapatkan tempat istimewa. Mereka bebas berdagang, membaur dengan masyarakat lokal, dan bebas menjalankan dan menyebarkan agama Islam.

Sementara agama Kristen (Katolik) pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Portugal. Secara etnis dan ras, keberadaan mereka masih terasa asing.

Jejak penyebaran Islam secara politik telah terdeteksi sejak tahun 1580. Saat itu, Raja Ternate Sultan Baabullah menyerahkan Selayar ke tangan Gowa di bawah kekuasaan Raja ke-12 Gowa, Tunijallo.

Tunijallo memiliki kedekatan khusus dengan para penguasa Islam di Nusantara. Proses kekuasaan pun bercampur agama.

Penyebaran agama Islam didukung oleh pihak penguasa, meskipun pada saat itu Islam belum menjadi agama resmi. Masih ada agama leluhur yang menyertai dan juga agama Kristen yang membayangi.

Kedatangan Dato Tallua berasal dari permintaan pihak Kerajaan Gowa kepada kerajaan aliansi untuk membantu mereka mengokohkan posisi agama Islam sebagai agama utama.

Kedatangan ketiga ulama ini difasilitasi oleh raja-raja Islam di Nusantara. Ketiga Dato ini sempat berguru ke Wali Songo di Tanah Jawa sebelum menjalankan misi penyebaran agama Islam ke berbagai tempat di Nusantara.

Kedatangan mereka ke Sulawesi Selatan menandai akhir dari misi Dakwah mereka yang panjang.

Keberhasilan Agama Islam di Sulawesi Selatan

Keberhasilan penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan juga disebabkan oleh ketidak berhasilan Kristen dalam menancapkan pengaruhnya. Pada tahun 1559 hingga 1584, pengaruh Portugal mulai menurun.

Seiring waktu, banyak juga konflik yang terjadi di antara doktrin Kristen dan adat lokal. Seperti posisi para Bissu yang sakral. Para pendeta tradisional To Riolo di pemerintahan ini tidak mampu digantikan dengan rohaniawan Kristen.

Toleransi Berabad Lalu

Kendati kerajaan Siang menggunakan agama sebagai jalur politik, Kerajaan Gowa tidak pernah menganggap Kristen sebagai ancaman berbahaya. Perebutan wilayah dua aliansi kerajaan besar ini kemudian dimenangkan oleh Kerajaan Gowa Tallo. Menariknya, isu agama tidak pernah dijadikan pemicu.

Jauh sebelum kedatangan Pastor Vincente, Kerajaan Gowa telah menerima kehadiran 3 pastor asal Portugal (1525), yakni Pastor Antonio do Reis, Cosmas de Annunciacio, dan Bruder Bernard Marvao.

Ketiga Rohaniawan asal Portugal ini melayani orang-orang Portugal di Gowa dan sejumlah raja dan bangsawan lokal yang sudah dibaptis. Selain itu, mereka juga membaur dengan penduduk lokal untuk misi sosial.

Kedatangan VOC

Ketengangan ini terusik ketika VOC mendaratkan kakinya di wilayah Gowa dan merebut bandar mereka. Ambisi VOC yang ingin memonopoli perdagangan, membuat Kerajaan Gowa tidak tinggal diam.

Bagi VOC, Gowa adalah sasaran empuk, dan Portugal dianggap pesaing berat. Sekitar 3000 orang Portugal pun terusir, namun Sultan Alauddin sebagai penguasa di masa itu menitahkan perlindungan.  

Konflik yang terjadi di awal kolonialisasi Sulawesi Selatan bukan masalah agama dan ras. Murni kepentingan keamanan dan kedaulatan.

Namun, tidak bagi VOC. Setelah Sultan Hasanuddin dipaksa untuk melepaskan supremasinya pada Perjanjian Bungaya, orang-orang Portugis, termasuk para rohaniawannya pun diusir.

Kekosongan Agama Kristen di Sulawesi Selatan

Akhirnya dalam kurun 225 tahun tidak ada Pastor atau Bruder yang melayani. Umat-umat Katolik di wilayah ini hanya berharap layanan rohaniawan yang rela datang dari jauh.

Politik Etis berkumandang pada tahun 1892. Pembukaan sekolah sekolah dimulai bagi pribumi di daerah kolonilisasi. Di Sulawesi Selatan, seorang pastor pun diutus ke Makassar oleh Kerajaan Belanda untuk melayani umat.

Ia adalah Pastor Aselbergs SJ. Sejarah mencatat, di bawah kepemimpinan Gereja Katolik di Makassar, Gereja Katedral Makassar pun mulai dibangun pada tahun 1895 dan baru diresmikan lima tahun kemudian.

Wasana Kata

Hingga kini, sejarah pembauran antara dua agama besar ini telah memasuki fase abad. Sama-sama memiliki penganutnya yang hidup damai. Kendati agama sempat menjadi alat politik di zaman leluhur, namun perbedaan ini tidak pernah menjadi semacam "perang salib" dalam sejarah Sulsel.

Sejujurnya perasaan penulis bergetar ketika merangkumkan tulisan yang disadur dari berbagai sumber ini. Indonesia yang plural dan toleransi telah diidamkan oleh para leluhur bangsa kita.

Mungkin ini bukan sebuah tulisan sejarah yang lengkap. Mungkin juga banyak informasi yang masih ambigu. Tapi, pemahaman secara keseluruhan dari artikel ini hanya mencoba mengajak para pembaca untuk membuka cakrawala pikiran dan mengulik nurani.

Bahwa perbedaan agama tidak pernah menjadi isu utama di bumi Nusantara yang kita cintai ini. Para Moyang tidak pernah mempermasalahkannya, lantas mengapa kita harus?

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun