Menurut Lin Biao, seorang sejarawan dari Malaysia, suatu waktu armada Cheng Ho terperangkap badai besar. Mereka kemudian memutuskan untuk berlindung di pulau sekitar wilayah semenanjung Peninsula, Malaysia.
Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Sumber air dan makanan tidak memadai, sehingga terancam mati kelaparan. Dalam keadaan darurat para awak lantas mencari apa saja yang bisa dimakan.
Sampai akhirnya mereka menemukan sarang burung walet yang menempel pada dinding-dinding gua tempat mereka berlindung. Pada kejadian itu, sup burung walet untuk pertama kali dimakan oleh manusia.
Tak disangka, keesokan harinya para awak bangun dengan tubuh segar dan kuat. Cheng Ho yang menyadari khasiat sarang burung walet tersebut, langsung memanennya dan dibawa kepada raja Dinasti Ming sebagai hadiah.
Sejak saat itu, walet pun menjadi komoditas dari para pedagang Tiongkok hingga saat kini. Â
Milik Nyi Roro Kidul
Bukan hanya di China saja, di Indonesia sendiri khasiat walet ini juga sudah dikenal sejak lama.
Alkisah Kiai Surti. Ia adalah seorang utusan Kerajaan Mataram Kartasura yang diberikan tugas untuk mencari obat bagi permaisuri. Ia menempuh perjalanan nan jauh dan tiba di Pantai Karang Bolong. Setelah bertapa, wangsit ditemukan. Asalnya dari Dewi Suryawati, utusan Nyi Roro Kidul.
Petunjuknya adalah sarang burung walet yang ada di dalam goa Karang Bolong. Kiai Surti tidak hanya menyelematkan Permaisuri, tapi juga menikahi Dewi Suryawati.
Memanen sarang burung walet penuh resiko. Gua dekat laut dan jauh dari jangkauan manusia. Pemetik butuh keterampilan dan juga keberanian. Salah sedikit, nyawa taruhannya.
Itulah mengapa proses ini dilakukan secara sakral. Ritual khusus kepada Nyi Roro Kidul wajib dilakukan. Warga di desa Karang Bolong, Kebumen, Jawa Tengah melakukannya pada setiap bulan kesembilan penanggalan Jawa.