Acek terkesima dengan kejujuran Katedrarajawen. Kompasianer ini mengaku, sejak awal Kompasiana Award yang dilaksanakan pada tahun 2011, tidak sekalipun dirinya lupa mencalonkan dirinya sebagai nominee.
Pernyataan jujur, kendati mungkin sedikit memalukan, tapi berbuah manis. Hingga 2020, ia masih saja konsisten melakukan. Walhasil pada tahun tersebut, ia berhasil menjadi jawara Kompasianer Best in Fiction.
Jelas, tahun ini tidak ada peluang lagi bagi dirinya. Sebab menurut aturan Kompasiana, penulis yang telah memenangkan award, tidak akan dimasukkan lagi ke dalam daftar nominee.
Dengan demikian, bagi Kompasianer yang harap-harap cemas, berkurang lagi satu persaingan.
Dugaan dan arahan, siapakah yang akan masuk nominasi sudah cukup jelas, meskipun syarat dan ketentuannya tidak kasat mata.
Mereka yang masuk seharusnya; aktif menulis, sering dapat label, ramai berinteraksi, dan punya fanbase, alias ada yang menominasikan.
Kendati demikian, karena tidak ada larangan bisa mengajukan diri sendiri, maka secara de facto, seharusnya semua Kompasianer memiliki peluang yang sama.
Namun, ketika daftar diumumkan, janganlah kecewa jika tidak terpilih. Sebabnya (mungkin) tulisanmu hanya satu selama setahun. Atau (mungkin) kamu belum layak dari sisi kualitas.
Mengapa demikian?
Karena selain dirimu yang menominasikan dirimu, ada juga faktor tim admin yang nantinya akan berjibaku menentukan siapakah yang pantas jadi calon juara.
Syarat dan ketentuan memang tidak kasat mata, tapi ada semacam aturan yang tidak tertulis. Mereka yang tidak bisa masuk daftar nominee meskipun dicalonkan adalah;
- Mereka yang belum tervalidasi.
- Mereka yang bergabung belum setahun.
- Mereka yang tidak aktif menulis.
- Mereka yang aktif menulis, namun kualitas tulisan belum masuk pilihan.
- Mereka yang masih centang hijau.
Lho? Apakah "syarat" terakhir ini ada? Jika dibaca dari ufuk timur hingga ke pantai utara, tidak tertulis demikian di aturannya. Namun, pada kenyataanya semua nominee bercentang biru. (Ini berkaca pada Knival 2020, entah kalau sebelumnya ada)
Sejujurnya hal ini sensitif untuk dibahas. Banyak penulis andal yang berasal dari kaum "hijau." Mereka produktif, sering dapat label. Isi tulisannya bernas dan interaksinya cergas.
Banyak pula di antara mereka yang sudah dedengkotnya K. Ada yang sudah bergabung sejak 10 tahun lalu dengan produktivitas tulisan mencapai ribuan. Sayangnya, ketidakberuntungan mereka hanya satu, masih hijau.
Masalah centang memang hak prerogatif Mimin. Sang Kompasianer harus melengkapi dua kaidah. Kualitas dan kuantitas. Tulisnya bagus, tapi tidak rajin, belum bisalah. Artikelnya banyak, tapi kurang label, tidak bisa juga.
Itulah mengapa posisi centang hijau dalam perhelatan Kompasiana Award selalu bak si punguk merindukan bulan. Sekali lagi tidak apa-apa, ini adalah aturan main yang (mungkin) sudah berlaku.
Namun, Acek sendiri punya pendapat berbeda. Memang betul, menulis di Kompasiana membutuhkan kualitas dan kuantitas. Namun, di antara semuanya itu, ada satu unsur yang lebih penting, yakni durabilitas.
Kita sudah mengenal tiga penulis dengan durabilitas teruji. Ada Pak Tjiptadinata, Om Katedraradjawen, dan Mas Rustian Ansori. Tulisan mereka sudah mencapai angka lima ribuan.
Acek sendiri masih sadar diri. Ngejar angka 1000 saja ngos-ngosan. Namun Acek juga yakin jika stamina ketiga Kompasianer ini bukan gegara centang biru ataupun pengakuan lainnya. Acek rasa mereka memiliki rasa cinta yang besar terhadap literasi dan khsusunya, Kompasiana juga.
Jika tidak, maka boro-boro nahan ribuan tahun dan menulis belasan artikel. Eh, kebalik ya.
Coba lihat saja fenomena "akhir-akhir" ini. Banyak yang misuh-misuh gegara dihina senior, gegara admin salah pencet, gegara pengelola main diskon Reward. Amsiong dah.
Nah, si centang hijau yang sudah berjibaku tidak punya mental tempe seperti itu. Mereka punya daya tahan yang bikin robot gundam saja pusing 7 keliling.
Jadi, tidak berlama-lama lagi. Teori Acek ini bisa saja salah. Bisa jadi centang hijau juga punya peluang yang sama. Tapi, andaikan konspirasi Acek ini benar, maka ada baiknya Admin K mempertimbangakannya.
Bukankah Kompasiana terasa lebih indah dengan kehadiran Fatmi Sunarya? Bukankah rumah bersama ini akan lebih teduh dengan puisi Ari Budiyanti? Bukankah adrenalin di blog bersama ini terasa lebih hidup dengan tulisan politik ala Widiatmoko?
Dan masih banyak lagi, masih banyak lagi...
Aih, Acek sebenarnya tidak mau berkampanye. Tapi, sekali lagi jika dugaan Acek benar, maka tiada salahnya berkampanye demi orang yang tidak akan pernah terpilih. Amalnya itu... Acek rasa jauh lebih besar.
Tulisan ini dipersembahkan kepada para centang hijau Kompasiana. Dimanapun kalian berada. Tetap semangat dan pantang menyerah. Cia You!!!
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H