Jelas, dalam hal ini wanita sangatlah dirugikan.
Lantas, berbagai macam studi pun dilakukan untuk mencari kebenaran. Salah satunya adalah pada tahun 2012 oleh Sarah Rohmans. Penelitian ini dipublikasikan pada jurnal Gender Medicine.
Disebutkan jika hanya 14% dari total responden yang uring-uringan pada saat sedang PMS saja. Sementara 38% mengalami mood swing setiap saat, baik pada saat sedang PMS maupun tidak. Ada pula sekitar 8% partisipan yang menunjukkan emosi negatif pada saat sedang tidak PMS.
Sisanya 40% justru tidak terpengaruh dengan periode PMS. Mereka mampu menjaga kestabilan emosi kapan saja dan dimana saja.
Sudi sejenis juga disampaikan oleh Robyn Stein DeLuca. Dalam bukunya The Hormone Myth: How Junk Science, Gender Politics and Lies about PMS Keep Women Down (2017), Robin berkata jika efek PMS cenderung dibesar-besarkan.
Akhirnya timbullah keyakinan dari para wanita bahwa tubuhnya adalah sumber penyakit. Emosi yang bergejolak pada saat PMS terjadi karena keyakinan ini sudah terlanjur mandarah daging. Dengan kata lain, efek sugesti lebih besar dari kenyataan sebenarnya.
Ketika seorang wanita gagal melakukan tugasnya yang berat, rasa bersalah akan menghampiri mereka. Jadilah PMS menjadi ajang untuk melepaskan rasa bersalah. PMS menjadi alasan kodrati yang bisa diterima oleh siapa saja.
Namun, alasan kodrati ini sebenarnya bukan milik wanita juga. Para pria juga ditenggarai memiliki hal sama yang bisa menganggu mood mereka. Istilahnya adalah Irritable Male Syndrome (IMS) alias PMS-nya pria.
Penyebabnya sama, karena adanya perubahan kadar hormon pada tubuh. Dalam hal ini adalah testosteron. Akibatnya timbullah kondisi swing mood dan gejala depresi.
Perasaan yang dialami juga mirip PMS pada wanita, seperti suka marah-marah, mudah cemas, cepat tersinggung, sensitif, hingga menjadi anti sosial.
Gejala ini bisa terjadi dalam dua bentuk. Yang pertama adalah perasaan depresi, dan yang kedua adalah menjadi agresif dan cenderung melakukan tindak kekerasan.