Entah ini hanya teori saya saja, atau memang demikian.
Sebagai kaum kolonial, saya tumbuh besar dari membaca koran dan majalah. Kedua jenis media ini adalah sumber informasi terkini pada masanya, selain televisi tentunya.
Dulunya, puluhan halaman bisa kulahap dalam waktu sekejap. Kecuali surat pembaca dan iklan, semua berita yang disajikan tak luput dari bacaan.
Sebabnya, aktivitas membaca selalu kuluangkan tersendiri. Bak sedang belajar untuk menghadapi ujian. Kehilangan informasi terkini, rasanya hidup tidak tenang.
**
Seiring waktu berjalan, usia sudah semakin ke depan. Tubuh bisa renta, tapi bukan pikiran dan asa, apalagi keperkasaan ala Acek. Perkembangan teknologi telah mengubah kebiasaan. Informasi berseliweran, mudah didapat dan cepat.
Kebiasaan membaca pun berubah. Tersebab internet telah menyediakan berita daring yang bisa diakses dengan mudah. Koran pun saya tinggalkan perlahan. Di gawai, terinstal berbagai aplikasi bacaan. Dari berita, majalah, hingga buku elektronik.
Informasi yang disuguhkan banyak, tapi singkat-singkat. Akhirnya bahan bacaan pun dipilih-pilih. Hanya yang judulnya menarik saja. Itupun tidak sempat semuanya. Sebabnya tidak ada waktu khusus yang diluangkan untuk membaca. Membaca berita bisa dimana dan kapan saja.
Bacaan telah berubah menjadi sumber informasi sekaligus hiburan pengisi waktu luang. Bukan lagi kewajiban pada waktu yang harus disediakan. Pokoknya, tidak seperti dulu lagi.
**
Lantas kebiasaan ini berubah lagi. Tepatnya dua tahun yang lalu saat saya mulai bergabung dengan Kompasiana. Bukan sebagai pembaca yang rakus saja, tetapi juga sebagai penulis yang tamak. One day one article membuat diriku harus berkomitmen untuk membagi waktu bergawai.
Ada dua sumber berita yang menjadi acuanku secara umum. Pertama adalah media arus utama, semacam Kompas.com dan sejenisnya. Kedua adalah Kompasiana sebagai ajang untuk menuangkan isi kepalaku.
Di sinilah baru saya sadari. Bukan hanya perubahan pada sumber bacaan, tapi juga ada kebiasaan baru yang terjadi. Gaya membaca pun berubah.
Ketika membaca media utama, dalam kepalaku bukan hanya mencari informasi dan hiburan. Kini sudah bertambah satu lagi, yakni mencari ide menulis.
Google bukan lagi sebagai sumber berita semata, tapi juga sebagai ajang untuk mencari referensi. Bacaan tidak lagi semata hiburan, ada keasyikan lainnya yang lebih seru; Membuat tulisan.
Sementara ketika saya membaca Kompasiana, titik koma tak pernah luput dari perhatianku. Saya seolah bertindak bak editor untuk memahami isi kepala dan gaya para penulis.
Tujuannya untuk belajar literasi. Semoga kemampuan menulis saya bisa berkembang dari sana. Dan mohon maaf juga, karena tulisan yang telah dibaca tidak semuanya kutinggalkan jejak.
Itulah mengapa saya sering misuh-misuh jika ada tulisan yang mendapatkan label tapi banyak kesalahan penulisan (typo). Bagaimana pun juga sebagai Kompasianer, saya merasa malu jika tulisan yang ditonjolkan berkualitas buruk.
Membaca tulisan para sahabat juga punya keasyikan tersendiri. Seolah-olah mendengarkan celotehan mereka. Rasanya berbeda, lebih tepatnya seperti saling berkirim surat.
**
Lantas ketika berbagai macam prahara terjadi di Kompasiana, saya pun ikut-ikutan. Tulisan kubuat dalam berbagai genre. Entah itu sekadar humor, atau tulisan protes beneran.
Namun, diriku punya pembelaan. Saya merasa telah menjadi bagian dari penghuni rumah ini. Ikutan nimbrung karena memang sudah akrab dengan sesama penghuni. Bukannya mau mbalelo, tapi emang asli kepo.
Nyatanya, para penghuni lainnya juga begitu. Ada kolom chat bisa dipakai untuk bersua-sembada. Masih ada pula lanjutannya di grup perpesanan. Meskipun belum pernah kopdar dengan sesama saudara seperguruan, keakraban yang terjalin sudah serasa seribu tahunan.
Jadi, kesimpulannya. Kompasiana ini memang unik. Ia bukan hanya tempat untuk membaca, menggali informasi, atau sekadar hiburan saja, tapi juga telah menjadi ajang silaturahim.
Membaca tulisan enak rasanya. Membuat tulisan enak rasanya. Keakraban yang terjalin enak pula rasanya. Makanya janganlah menertawakan Acek, jika istilah "bersetubuh" ia gunakan di sini.
Semakin banyak "disetubuhi" semakin bangga rasanya, semakin banyak "menyetubuhi" juga wajib terasa. Hingga pada akhirnya, label dan penghargaan dari admin menambah kepuasan tersendiri bagi para Kompasianer terpilih.
K-Rewards pun menambah klimaks. Paling tidak ada penghargaan materi yang didapatkan di sini. Berapa pun jumlahnya, ujung-ujungnya "enak."
Stop sampai di sini, Acek tidak akan menambahkan bensin untuk mengompori perolehan K-Rewards yang sedang hangat-hangatnya di Kompasiana. Ingat Sumpah Pemuda, maknanya adalah persatuan bukan perpecahan.
Wajib menulis sehari sekali. Kebetulan pagi ini lagi bingung mau nulis apa. Jadilah tulisan receh ini.
Namun, Acek tetap berharap yang terbaik. Semoga kegelisahan di rumah bersama ini cepat berlalu. Dan kita semua dapat kembali menulis sesuai kehebatan masing-masing.
Ini pendapatku, bagaimana persetubuhanmu? Eh...
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H