"Perempuan cantik tidak butuh pendidikan tinggi hanya untuk dinikahi pria dari keluarga kaya dan berkuasa."
"Gadis tidak cantik berharap pendidikan tinggi bisa mendapatkan lelaki baik, namun mereka tidak sadar waktu yang terbuang hanya akan menjadikan mereka mutiara yang menguning."
Kedua contoh pernyataan ini tidak mengada-ada. Ia telah dipublikasikan pada tahun 2011 oleh situs pemerintah yang seharusnya feminis, All-China Federation of Women.
Pernyataan ini hanya segelintir contoh. Masih banyak lagi, dan semuanya akibat kegerahan pemerintah China atas masalah sosial yang terjadi di sana.
Yang pertama adalah fakta demografis -- jumlah pernikahan yang terus menurun, dan dibarengi dengan angka kelahiran yang berkurang.
Yang kedua adalah ketidak seimbangan gender -- Badan Statistik Nasional China menyebutkan bahwa jumlah pria di bawah 30 tahun, lebih banyak 20 juta orang dibandingkan wanita dengan rentan usia yang sama.
Yang ketiga, hasil sensus di China menyatakan 1 dari 5 wanita berusia 25-29 tahun masih melajang. Secara matematika sederhana, akan ada sekitar 20 juta lelaki yang tidak kebagian pasangan. Jumlah ini akan bertambah, jika wanita yang masih tersedia memilih untuk "menjadi sisa." Â
Kendati semuanya berasal dari aturan keras pemerintah China, namun mereka tidak ingin disalahkan.
Aturan satu anak satu keluarga yang dikeluarkan pada 1979 telah diakhiri pada 2015 silam. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi para muda-mudi untuk tidak menikah dan beranak cucu.
Ultimatum diberikan, perempuan China disalahkan. Surat kabar komunis, Sichuan Daily bahkan dengan lantang menyerukan bahwa wanita China harus "kembali ke kenyataan" dengan tidak terlalu cerewet dalam memilih pasangan.