Wanita pertama mengatakan bahwa imlek merupakan waktu terhoror dalam hidupnya. Setiap orang pasti akan menanyakan usianya dan kapan akan menikah.
Wanita kedua mendapatkan banyak saran atas usianya yang tidak lagi muda. Thus, wanita ketiga mengungkapkan kekesalannya akan arti menjadi wanita yang tidak lengkap jika belum menikah.
Para orangtua pun dilibatkan. Mereka senada dan sepaham, menyalahkan putrinya atas standar yang ketinggian. Bahkan salah satu orangtua memberikan pernyataan tegas; "Aku tidak akan mati dengan tenang jika kamu belum menikah."
Tampaknya fenomena Wanita Sisa di China memiliki dampak sosial yang jauh lebih besar. Para wanita telah mengubah paradigma budaya dengan berpendidikan tinggi dan karir yang bagus.
Jelas mereka tidak akan pasrah menerima nasib begitu saja. Menjadi istri yang "baik" harus dibarengi dengan suami yang "pantas." Tidaklah heran jika para wanita ini memiliki standar yang tinggi.
Sayangnya, para pria juga ketakutan. Menikahi gadis sukses membutuhkan modal yang besar. Kendati belum tentu demikian, namun stigma sudah terlanjur terbentuk. Para pria takut kalah bersaing dengan istri.
Tapi, tidak ada istilah Pria Sisa. Lelaki China harus "berterima kasih" kepada budaya patriarki. Prinsip Zhong Nang, Zhing Nu (berat pada pria, ringan pada wanita) menyatakan bahwa lelaki adalah mahluk superior sejak mereka lahir.
Dengan semakin tingginya standar para wanita di China, "pria sisa" pun akhirnya menempuh jalan hidupnya sendiri. Transaksi jual beli istri pun menyeberangi samudra.
Vietnam, negara komunis yang dianggap lebih "terbelakang" pun menjadi sasaran. Para gadisnya dipersunting dengan harga yang lebih murah. Bahkan ada pula yang sampai melewati batasan hukum.
Sebuah laporan dari Asia Nikkei pada Maret 2016 lalu, mengungkapkan kisah seorang gadis Vietnam yang diculik untuk menjadi pengantin di China. Hal yang sama terjadi pula pada bulan November 2016, di mana dua wanita China ditangkap karena terlibat sindikasi penyelundupan wanita muda asal Vietnam ke China.
Lantas seberapa serius masalah ketimpangan demografis di China?