Para turis yang datang bebas memilih. Tidak ada tarif, namun harga sesuai "barang." Penyucian pun dilakukan di dalam kompleks kuil. Di luar gedung pemujaan, sudah banyak bilik tersedia.
Para wanita tersebut harus menginap di Kuil Aphrodite, hingga ia berhasil menunaikan kewajibannya.
Wanita dari kaum bangsawan hadir dengan kereta kuda tertutup. Lengkap dengan pengawalan ketat. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk berada di sana. Lelaki mana pun akan tergoda menggauli wanita cantik berdarah biru.
Sementara perempuan yang buruk rupa, kadang harus berada di sana hingga berhari-hari, bahkan mungkin tahunan. Hingga rakyat jelata yang miskin memilih mereka dengan bayaran yang sedikit.
Mengejutkan, uang hasil "melacurkan diri" tersebut kemudian disumbangkan demi kejayaan Kuil Aphrodite.
Dan teryata ritual ini tidak saja terjadi di Phapos, yang menurut legenda adalah kota kelahiran Aphrodite. Tapi, juga di Babylon, Byblos, dan Baalbek, yang sekarang adalah bagian dari wilayah Turki.
Praktik ini terus berlangsung, hingga kekaisaran Romawi berkuasa. Namun, pelarangan ritual Aphrodite tidak serta merta membuat bangsa Romawi lebih bermoral.
Penguasa dan rakyatnya terkenal sama-sama bejat. Ada Nero, Caligula, hingga tragedi Pompeii. Dibanding bangsa Yunani, mereka hanya lebih mengerti bagaimana "menangani" para wanita dan budaknya. Tidak perlu bantuan dewa.
Para lelaki yang superior memiliki izin khusus untuk mengencani semua wanita tanpa kecuali. Izin mereka tidak saja untuk mengunjungi rumah pelacuran di seantero negara, tetapi lebih daripada itu.
Pria Romawi berhak menikmati tubuh budak wanitanya, melakukan praktik poligami, seks bebas, hingga meniduri istri orang lain. Begitu bebas, begitu tak terkendali.
Bahkan simbol superioritas mereka dilakukan dengan cara yang tidak bermoral. Para lelaki yang baru saja menikah dianggap hebat jika bisa melewatkan malam pertama bersama wanita lain.