Soeharto mengenakan pakaian penganten dengan sebilah keris di punggungnya. Untuk seorang militer yang sudah terbiasa dengan pakaian dinas, perasaan Soeharto tidak tenang.
Selain merasa tidak leluasa dengan pakaian tersebut, suasana keamanan juga belum terlalu kondusif. Peperangan bisa saja meletup setiap saat. Sulardi, adik sepupunya yang menemaninya dari Yogya ke Solo cukup menghibur. Ia menganggu Soeharto sepanjang perjalanan.
Resepsi pernikahan berlangsung pada sore hari. Cukup banyak yang menghadiri, karena keluarga Soemoharjomo cukup terpandang. Sayangnya tidak ada dokumentasi yang mengabadikannya, sebab saat itu situasi tanah air memang masih darurat.
Selamatan dilanjutkan pada malam hari dan hanya bercahayakan lilin. Kota Solo pada hari tersebut harus dibuat redup untuk menghindari kemungkinan serangan udara dari Belanda.
Tiga hari setelah pernikahan, Soeharto kemudian memboyong Siti Hartinah ke Yogya untuk menemaninya bertugas. Sejak saat itu, ibu Tien selalu bersama Pak Harto dalam kebahagiaan, maupun pada masa-masa sulit.
**
Cinta Soeharto kepada ibu Tien takada duanya. Kendati banyak godaan dan juga diterpa isu tak sedap, nyatanya mereka tetap bersama hingga ajal menjemput.
Mereka tidak mengenal pacaran seperti anak muda sekarang. Tidak ada pula penolakan ketika hendak dijodohkan. Namun mereka percaya dengan pepatah Jawa, "witing tresna jalaran saka kulina,"Â yang berarti datangnya cinta karena kedekatan.
Dalam hal ini, Soeharto dan ibu Tien meyakini nikah dulu baru pacaran. Contoh yang baik bagi para jomlo yang menolak dijodohkan.Â
Soeharto mempunyai prinsip bahwa keluarga adalah tanggung jawab yang harus dijalankan. Baginya cinta berwujud lebih luas, yakni menjaga keharmonisan dan ketentraman di antara pasangan.
Cinta bagi suami istri bukan saja bagi kedua orang, tetapi juga bagi keturunannya. Ini adalah wujud kodrat manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.