Tidak terasa 20 tahun telah berlalu. Banyak yang telah berubah, termasuk wajah dunia usaha. Di zaman sekarang, internet menjadi moda utama dan terutama. Toko online hingga bisnis antar jemput, semuanya bisa dikendalikan melalui gawai.
Sulit membayangkan bagaimana bisnis bisa berjalan tanpa bantuan kuota. Tapi, itu dulu. Ada juga masa-masa indah saat internet masih barang ekslusif. Wajah dunia usaha tidaklah suram. Ia masih bisa tersenyum dengan segala keterbatasan.
Khususnya pada bisnis waralaba
Tidak terasa 20 tahun telah berlalu. Masa di mana saya dan dua orang kawan lainnya menjalankan bisnis waralaba jadul. Namanya Video Ezy yang menyediakan jasa persewaan VCD dan DVD.
Sebenarnya bisnis persewaan film bukanlah hal yang baru. Di zaman bapakmu dulu, sudah banyak rental video VHS. Film-film silat Hong Kong mendominasi setiap hiburan rumah tangga. Ditonton ramai-ramai, minum coca-cola pula.
Setelah zaman VHS mulai pudar, muncullah laser disc. Bisnis persewaan yang satu ini agak ekslusif. Baik alat pemutar maupun piringannya tergolong mahal. Investasi usaha hanya bisa dijalani oleh beberapa pengusaha dengan modal besar.
Hingga muncullah VCD yang cukup viral di zamannya. Harga lebih murah, kualitas gambar tidak kalah moncreng. Tetiba koleksi film mulai banyak. Dulunya yang tidak diproduksi oleh laser disc, sekarang mulai muncul. Khususnya film-film serial asing.
Seiring waktu berjalan, bisnis VCD bajakan pun mulai tumbuh subur. Mulai dari lesehan pinggir jalan, hingga mal mahal. Ada pula yang bisa diantar langsung ke rumah.
Video Ezy, Bisnis Persewaan Modern
Video Ezy datang dengan solusi kebaikan. Menyewakan VCD original dengan koleksi film ribuan. Penikmat bisa hemat banyak, tidak perlu lagi membeli VCD asli yang harganya 50.000an. Harga sewa semalam di Video Ezy hanya 5.000 perak saja.
Syahdan, kami pun mendapat lisensi sebagai terwaralaba (franchisee) tunggal di kota Makassar. Modal dikumpulkan, setara dengan dua mobil Avanza baru pada masa itu.
Investasi berupa kontrak ruko, rak pajangan, komputer, peralatan lainnya, dan juga biaya administrasi pembukaan outlet baru. Sementara untuk koleksi film yang akan disewakan telah disediakan oleh pihak pewaralaba (franchisor).
Biaya operasional berupa listrik, pegawai, dan lain sebagainya adalah beban dari pihak terwaralaba. Setiap minggu, omzet dihitung dan pendapatan bruto dibagi sama rata antara pewaralaba dan terwaralaba.
Bagaimana dengan sistem kontrol?
Cukup mudah. Program komputer canggih telah disediakan oleh pusat. Setiap VCD baru yang dikirim ke outlet, selalu disertai dengan piringan CD berisikan daftar film baru. Tinggal dimasukkan ke harddisk, sistem terintegrasi dengan sendirinya.
Uang dari bagi hasil yang dikirim setiap minggu ke Jakarta, juga harus melampirkan bukti cetak laporan dari sistem. Sebulan sekali, pihak toko diwajibkan untuk melakukan audit stok sendiri.
Setiap beberapa saat sekali akan ada tim audit dari Jakarta yang datang menelusuri toko. Tapi, itu hanya untuk terwaralaba "nakal" yang terindikasi memanipulasi data. Kami sendiri tidak pernah mendapat kunjungan.
Bagaimana dengan VCD yang hilang atau rusak? Untuk yang rusak, wajib dikirimkan kembali ke pusat. Dianggap sebagai Force Majeur dan tidak dibebankan kepada pihak terwaralaba.
Untuk yang hilang juga sebenarnya tidak pernah dipedulikan oleh pihak pusat. Katanya, hanya jika pihak pemegang warlaba lokal memutuskan untuk tidak melanjutkan usahanya lagi, barulah audit dijalankan. Selanjutnya, VCD yang hilang akan dibebankan kepada pihak toko.
Bisnis Menggiurkan
Investasi dihitung untuk pembukaan tiga outlet pertama pada beberapa lokasi di kota Makassar. Semuanya dilakukan bertahap setiap 4 bulan sekali. Jadi, targetnya dalam setahun ada 3 outlet. Tapi, kenyataannya malah menjadi 5 outlet.
Ternyata, keuntungan dari investasi ini di luar dugaan. Outlet pertama kembali modal dalam kurun waktu 2,5 bulan saja. Outlet kedua beda tipis, hanya 3 bulan saja. Dan outlet ketiga tidak kalah mencengangkan, 5 bulan lamanya.
Darah muda mengalir deras, ambisi pun terkuras. Kami lantas melakukan ekspansi. Bukan hanya sebagai pemegang lisensi kota Makassar saja, tapi juga untuk daerah yang lebih luas lagi.
Pada tahun kedua, outlet Video Ezy Sulawesi sudah merambah kemana-mana. Ada 6 outlet di kota Makassar, satu di kota Pare-pare, dan satu lagi di Kabupaten Watampone.
Belum cukup, kota Kendari di Provinsi Sulawesi Tenggara pun kami seberangi. Outlet pertama di sana bikin viral warga sekota. Begitu pula dengan di kota Palu, Sulawesi Tengah. Antrian pelanggan jamak terlihat sepanjang hari.
Lalu, pada tahun ketiga bisnis kami merambah ke Kalimantan. Samarinda pun di bawah kekuasaan kami. Begitu pula dengan kota Gorontalo yang belum tersentuh.
Balik Papan urung kami buka, karena sebelumnya sudah ada pemegang waralaba di sana. Begitu pula dengan kota Manado di Sulawesi Utara.
Titik Balik
Tahun ke-4 adalah titik balik. Bisnis mulai turun dan outlet pesaing juga tidak kalah garangnya. Kala itu, selain Video Ezy, ada pula Odiva dan Ultra. Pada tahun ini, kami masih sempat membuka outlet terakhir, tepatnya di Kota Palopo yang jaraknya sekitar 370 km dari kota Makassar.
Biaya bulanan masih bisa tertutupi. Tapi, keuntungan sisa sedikit. Untuk memperpanjang kontrak baru, modal baru harus kami rogoh. Akhirnya, tahun kelima menjadi akhir dari kiprah Video Ezy. Kami memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan.
Anda mungkin berpikir bahwa kemajuan internet telah membuat bisnis waralaba ini tergerus. Tidak, sobat. Video streaming belum sekencang saat ini.
Masalah terbesar adalah kemampuan ekspansi pihak franchisee. Konon pihak Video Ezy internasional di Australia, menuntut lebih banyak.
Selain itu, investasi film baru juga sangat memberatkan. Saya pernah mendengar jika dalam setahun, Video Ezy Jakarta harus memusnahkan ratusan ribu keping yang sudah rusak.
Ini belum termasuk modal yang harus terus dikeluarkan untuk membeli film baru. Industri persewaan ini tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan produksi industri film internasional yang juga sedang naik daun.
Selain itu, film bajakan juga tumbuh subur. Memang pihak franchisee telah bekerja sama dengan Kepolisian RI untuk menumpas cukong-cukong VCD palsu. Tapi, gugur satu tumbuh seribu.
Bisnis VCD bajakan sangat menguntungkan dan terlalu masif. Hanya dengan modal perlengkapan pengganda VCD dan sedikit kenekatan, seorang kawan bahkan bisa membeli sebuah ruko di bilangan Roxy Mas hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Sedikit Penyesalan
Sebenarnya saat awal pembukaan, salah satu teman kongsi mengusulkan untuk tetap pada koridor awal perjanjian. Hanya membuka tiga outlet. Hasil yang didapatkan kemudian diinvestasikan untuk membeli ruko yang kami sewa.
Dalam jangka panjang, properti tentu lebih menguntungkan dari uang deposito. Naiknya bisa berkali-kali lipat. Sayangnya saya dan seorang kawan lagi tidak setuju. Bagi kami cash is the king. Tidak salah juga sih, tapi prestise dan ambisi mengalahkan akal sehat.
Setelah saya pertimbangkan, harga ketiga ruko yang dulunya kami sewa, sekarang sudah bernilai miliaran. Lumayan untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Tapi, waktu sudah berlalu dan penyesalan tidak lagi berguna.
Ada Entry ada Exit
Tidak ada bisnis yang abadi. Tren hanya berkembang sesuai zamannya. Apalagi di zaman now. Produk viral kadang hanya berusia sebulan saja.
Bisnis waralaba memang punya beberapa keunggulan. Istilah bisnisnya adalah entry barrier yang ringan. Calon terwaralaba cukup menyediakan modal dan usaha diharapkan berjalan normal.
Namun, ada entry tentu ada exit. Pertimbangkan resiko terburuk jika bisnis tersebut tidak menguntungkan. Apa yang bisa dilakukan? Minimal modal yang diinvestasikan tidak memberatkan secara finansial.
Dalam kasusku, modal yang disertakan telah berhasil dipanen. Selebihnya adalah uang ekstra dari hasil perputaran usaha. Keputusan untuk menutup gerai sangat tepat. Sebabnya jika terus dipertahankan, modal baru yang digelontorkan belum tentu kembali.
Catatan: Mengenai Exit Strategy akan saya sertakan dalam ulasan artikel lainnya di Kompasiana.
Jangan Setia pada Usaha
Tidak ada bisnis yang abadi. Kepemilikan usaha sebagai terwaralaba memang membanggakan. Namun, ingat tujuan utamanya: Mengambil Profit. Bisnis bukanlah istri. Tidak perlu setia dengannya.
Menentukan target untuk jangka waktu tertentu sangatlah penting. Jika bisnis sudah mulai menurun, jangan segan-segan untuk menceraikannya.
Jaga Euforia
Ingat bahwa target terutama dalam sebuah bisnis adalah kembali modal. Istilah kerennya Break Even Point. Jadi, janganlah menjadi serakah dan juga terlarut dalam euforia. Bisnis utama adalah milik dari pewaralaba. Anda hanya bagian kecil yang terlibat.
Kompetisi berjalan ketat. Jika sudah tidak bisa bertahan, jangan terus bertarung. Anda akan kehabisan energi, tenaga, dan uang.
Untuk pemahaman usaha waralaba yang lebih terperinci, ada beberapa langkah teknis yang bisa diikuti. Dua tulisan dari sahabat Kompasianer Budi Susilo dan Tonny Syiariel bisa dibaca.
Baca juga: Pertimbangkan Langkah-langkah Ini Sebelum Menjalankan Bisnis Waralaba.
Baca juga:Â Lima Tips Memilih Bisnis Waralaba
Nah, ini adalah sekelumit kisahku terlibat dalam bisnis waralaba. Video Ezy Internasional di Australia mengumumkan telah menutup gerai terakhirnya pada 2020 lalu setelah menjalankan usaha ini sejak 1983.Â
Pandemi hanya salah satu penyebabnya. Video streaming telah mengubah peta pertarungan menjadi nyata. Tidak ada lagi VCD atau bisnis persewaan film. Semuanya dikendalikan secara digital.
Namun, memori ini tetap ada. Menjadi pengusaha waralaba ternyata ngeri-ngeri sedap. Termasuk ikutan menghilangkan VCD yang saya sewa dari outletku sendiri. Eh...
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H