Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Non-Muslim Afghanistan di Bawah Kekuasaan Taliban

17 September 2021   04:13 Diperbarui: 17 September 2021   04:21 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasib Kaum Non-Muslim Afghanistan di Bawah Kekuasaan Taliban (tribunnews.com)

Ali adalah warga Afghanistan. Namun, sejak Taliban berkuasa pada Agustus 2021 lalu, Ali tidak bisa lagi hidup tenang.

Ia tidak berani menggunakan nama panjangnya. Ali saja sudah cukup menggambarkan jika ia muslim. Karena jika tidak, maka ia akan menjadi sasaran teror.

Ali adalah minoritas Hazara. Sebagian besar dari mereka adalah penganut Syiah. Dari hampir 40 juta penduduk Afghanistan, jumlah mereka hanya berkisar 9% saja.

Mayoritas penduduk Afghanistan adalah Sunni. Mereka mencapai angka 90%. Sisanya adalah non-muslim yang terdiri dari Sikh, Hindu, dan Kristen.

Ali pantas berkecil hati. Sebelum invasi militer Amerika 2001, kaumnya sudah ditindas dengan brutal oleh pemerintah Islam garis keras Taliban. Kini, setelah pasukan AS ditarik mundur dari Afghanistan, bayangan buruk tersebut kembali muncul.

Mereka tidak yakin jika Taliban yang sekarang telah berubah. Di masa lalu, mereka telah terbiasa menyebarkan pesan maut kepada kaum minoritas yang tidak memiliki keyakinan yang sama.

Kendati demikian, masalah yang dihadapi oleh Ali dan kawan-kawannya masih lebih baik dibandingkan penganut minoritas agama lainnya. Bagi Taliban, non-muslim adalah Kafir. Mereka dianggap membawa pesan yang berbeda dengan kaidah Islam yang diyakini Taliban.

Teror yang disebarkan berupa pembunuhan, pelecehan, hingga perbudakan. Para lelaki dibunuh, kaum wanitanya diperbudak atau dijadikan istri setelah terlebih dahulu dipaksa pindah agama. Sementara anak-anak mereka dipaksa untuk mempertaruhkan nyawa di medan perang.

**

Kekhwatiran inilah dirasakan oleh Khalsa. Ia adalah segelintir Sikh yang masih tinggal di Kabul.  Di Afghanistan, tidak banyak lagi penganut Sikh yang tersisa. Mereka sudah hampir punah. Sebagian besar telah berimigrasi ke India, Amerika, dan Eropa sewaktu Taliban berjaya pada 1990an.

Kaum Sikh dan Hindu sempat menikmati kehidupan yang tenang selama masa pemerintahan sipil pada periode 2000an. Khalsa bahkan terdaftar sebagai salah satu anggota parlemen.

Namun, semenjak penguasa Taliban kembali, kehidupan umat Sikh dan Hindu kembali kocar-kacir. Kini mereka hanya bisa berlindung di wilayah Karte Parwan dekat Kabul. Satu-satunya wilayah yang dirasa "aman."

Dilaporkan jumlah mereka sebanyak 250 orang dan berasal dari beberapa bagian di Afghanistan. Mereka terdiri dari orang-orang yang tidak sempat melarikan diri lagi.

Nasib para minoritas Sikh dan Hindu ini tidak jelas. Setiap saat mereka harus siap didatangi pasukan Taliban. Nyawa mereka sudah tidak berarti lagi.

Bahkan sebelum Taliban benar-benar berkuasa, mereka sudah terbiasa diteror. Pada Maret 2020, sekelompok orang bersenjata menyerbu kompleks keagamaan Sikh di Kabul.

Dalam insiden tersebut, 25 orang tewas. Adalah kelompok ISIS-K yang menyatakan bertanggung jawab. Sebagai aksi balas dendam atas perlakuan India terhadap Muslim di Kashmir.

Menilik sejarah, kaum Sikh dan Hindu telah ada sejak berabad-abad yang lalu di Afghanistan. Jauh bahkan sebelum kehadiran negara di sana. Tetapi, selama sejarah Afghanistan, kaum Sikh dan Hindu tidak pernah dianggap sebagai orang asli Afghanistan. Mereka selalu diposisikan sebagai pendatang minoritas.

**

Ada pula umat Kristiani di Afghanistan. Menurut Kelsey Zorsi dari kelompok advokasi PBB untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, sejauh ini kelompok Kristen-lah yang dianggap paling rentan.

Ditenggarai jumlah mereka sebanyak 10.000-12.000 orang. Sebagian besar dari mereka dulunya beragama Islam. Di Afghanistan, apa yang mereka lakukan adalah kejahatan besar. Hukuman mati ancamannya.

Selama berpuluh-puluh tahun lamanya, mereka harus melakukan aktivitas keagamaan secara sembunyi-sembunyi.

Kebebasan sempat mereka rasakan semenjak Taliban jatuh pada 2001. Dengan standar keamanan yang dihadirkan oleh tentara AS, mereka sudah berani tampil bebas.

Namun, sejak Taliban kembali berkuasa, kehidupan umat Kristiani kembali terguncang. Taliban menjadikan mereka sasaran utama pembunuhan akibat dosa besar yang telah dilakukan. Tidak ada pengampunan lagi bagi mereka yang sudah pindah agama.

Sebagian memutuskan untuk melarikan diri ke daerah perbukitan yang jauh dari jangkauan penguasa. Sebagian lagi tetap berada di kota sembari menyembunyikan identitas mereka. Kendati demikian, mereka juga telah siap untuk mati dengan cara mengenaskan.

Laporan di lapangan menyatakan bahwa beberapa orang Kristen telah dibunuh. Mereka ditemukan melalui sweeping Taliban yang dilakukan di tempat-tempat umum. Aplikasi Alkitab pada ponsel adalah penyebabnya.

Beberapa negara Eropa saat ini telah membuka kemungkinan untuk menampung mereka. Tapi, komunitas ini sulit dijangkau, karena sebagian besar sudah tidak lagi menggunakan telpon genggam.

Sebagian lagi tidak bisa meninggalkan negara tersebut, karena harus melalui pos penjagaan ketat Taliban dalam perjalanan menuju bandara. Identitas di paspor mereka sudah terlanjur tertulis agama Kristen.

Referensi: 1 2 3 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun